Mohon tunggu...
Durohim Amnan
Durohim Amnan Mohon Tunggu... Penulis - Pecandu

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Hak Angket Hanya Sebatas Narasi

23 Maret 2024   03:29 Diperbarui: 23 Maret 2024   03:29 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Penggunaan hak angket untuk menyelidiki kecurangan pemilu yang beberapa waktu lalu sempat hangat diperbincangkan, rupa-rupanya ditinggalkan hanya sebatas narasi. Partai politik yang bertanggung jawab atas isu itu tampak lebih sibuk mengkalkulasikan suara elektoral. Buaian politisi terhadap penggunaan hak angket sebagai hak konstitusional anggota DPR pada akhirnya layu sebelum berkembang.

Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas 26-28 Februari 2024, sekitar 62,2 % masyarakat menginginkan agar hak angket digunakan dalam rangka menyelidiki dugaan kecurangan pemlu 2024. Data tersebut bisa dibaca sebagai upaya masyarakat mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Lacurnya, keinginan itu tidak sejalan dengan kepentingan partai politik yang hanya memaknai pemilu sekedar hitung-hitungan kuantitatif bukan kualitatif.

Masyarakat tidak punya intensi terhadap kemenangkan maupun kekalahan dalam kontestasi pemilu. Masyarakat hanya ingin melihat bagaimana pemilu dijalankan sebagaimana mestinya. Keinginan itu sejalan dengan amanat konstitusi bahwa penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umumm bebas, rahasia, jujur, dan adil. 

Untuk membuktikan apakah penyelenggaraan pemilu telah sesuai dengan amanat tersebut, dibutuhkan ruang bersama yang bisa dilihat dan diawasi oleh masyarakat itu sendiri. Ruang itu bernama "hak angket".

Pengentalan pragmatisme politik

Partai politik pengusung dan pendukung hak angket kelihatannya masih menghitung kalkulasi politik bilamana hak angket benar-benar digulirkan. Kalkulasi politik semacam itu dapat dibaca sebagai pragmatisme politik. Keuntungan apa yang akan didapatkan jika hak angket terlaksana atau kerugian seperti apa yang dirasakan partai politik pengusung/pendukung hak angket. Penulis hakkulyakin, pembicaraan semacam itulah yang sedang menghiasi perdebatan rapat-rapat partai politik belakangan ini.

Dalam politik, pragmatisme adalah hal yang biasa. Namun jangan kemudian pragmatisme itu berubah menjadi oportunis yang sekedar membulatkan agregasi keuntungan politik menjadi satu-satunya mata uang. Politik harus didasarkan pada nilai (value), dimana nilai itu akan bermuara pada pengakomodasian kepentingan rakyat untuk memetakan arus politik formal. Jangan dibalik seakan-akan politik oportunis mendahului politik etis.

Platform seperti hak angket seharusnya digunakan sejak jauh-jauh hari ketika kecurangan pemilu sudah mulai terendus. Penggunaan hak angket tidak saja memberikan legitimasi terhadap hasil pemilu 2024, melainkan juga semacam cerminan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia telah bekerja didalam bingkai kepemiluan.

Sejalan dengan pemikiran James A. Robinson, mengutip dalam bukunya Why Nation Fail? (2014) bahwa salah satu faktor negara dianggap berhasil ketika sistem politik bekerja secara demokratis. Hak angket merupakan bagian dari sistem politik dan sistem ketatanegaraan. Ketika keduanya berpartisipasi secara aktif mengontrol suatu penyelenggaraan negara, dalam hal ini pemilu, maka boleh dianggap negara tersebut sebagai negara berhasil, dan begitu sebaliknya.

Pertaruhannya sekarang adalah maukah partai politik menanggalkan egonya dalam bentuk kepentingan jangka pendek itu, demi mewujudkan sistem politik yang demokratis. Sudikah partai politik yang mempunyai kuasa di parlemen yang selama ini di cap sebagai stempel pemerintah itu tergerak nuraninya menunaikan harapan rakyat itu lewat penggunaan hak angket. Saat ini pluit tanda dimulainya permainan ada di tangan partai politik. Tinggal memilih, apakah selamanya rela dicap sebagai sarang dan sumber kebobrokan negara atau berpindah kepangkuan masyarakat dalam upaya membenahi bangsa.

Rekonstruksi peradaban demokrasi

Langkah untuk memulai peradaban baru demokrasi berada didepan mata. Kinerja parlemen yang selama satu dasawarsa belakangan sama sekali tidak terlihat, setidaknya bisa tertutupi dengan dimulainya inisiasai hak angket. Tidak ada satupun penggunaan hak angket dalam periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (2014-2024), kecuali hak angket mempersoalkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus e-ktp dimana hal itu berseberangan dengan suara masyarakat.

Demokrasi hanya dapat berjalan apabila mekanisme check and balances dihidupkan. Mekanisme pengawasan legislatif terhadap eksekutif dalam sistem presidensial sangat berarti, dikarenakan dalam sistem ini, Presiden seolah menjadi Raja dengan segudang kekuasaannya yang amat rentan terperosok ke dalam jurang otoritarianisme.

Sebagian pihak mengatakan, narasi untuk menggunakan hak angket adalah narasi memecah belah dan membuat keriuhan. Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan bahwa demokrasi pada hakekatnya adalah keriuhan. Demokrasi memungkinkan mekanisme pengawasan masyarakat terhadap penguasa lewat perwakilannya. Demokrasi tidak bekerja dalam ruang yang hampa. Keriuhan itu jangan disamakan dengan perpecahan, apalagi menuding bahwa demokrasi membuat bangsa ini kelelahan.

Demokrasi hadir untuk menolak kesewenang-wenangan penguasa, seperti halnya kelahiran demokrasi di waktu lalu. Hak angket bertujuan meluruskan praktik bernegara yang diselewengkan oleh penguasa lewat pelbagai modus dan mobilisasi. Apabila kekuasaan benar-benar adil menggunakan seluruh instrumennya dalam Pemilu lalu, lantas apa yang perlu ditakutkan. Menggunakan narasi seolah-olah hak angket hanya memperkeruh keadaan sama dengan mengingkari prinsip demokrasi itu sendiri.

Sembari menunggu waktu purnabakti, alangkah bijaknya Presiden Jokowi ikut serta membangun peradaban demokrasi di ujung pemerintahannya melalui dukungan terhadap penggunaan hak angket. Tidak ada yang perlu dikhawatikan bilamana Presiden betul-betul bersikap adil selama proses pemilu 2024 berlangsung. Justru dukungannya untuk menggulirkan hak angket akan selalu di ingat sebagai legasi bahwa Presiden Jokowi merupakan seorang demokrat.

Apakah partai politik mampu membendung hawa nafsu kekuasaannya melalui pelaksanaan hak angket, atau masuk kedalam jurang yang sama seperti tabiat partai politik selama ini. Tidak kalah menarik pula, apakah Presiden Jokowi berani menjawab tantangan publik terhadap anggapan yang selama ini menudingnya sebagai seorang yang otoriter melalui langgam politik cawe-cawe. Kita tunggu pasca pengumuman hasil perhitungan suara yang dilakukan oleh KPU.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun