Mohon tunggu...
ITAH M. MAFAHIR
ITAH M. MAFAHIR Mohon Tunggu... -

man jadda wa jada

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kamu Rangking Berapa?

11 Desember 2013   08:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:04 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“ Rangking berapa Bu….?’

“Aduh nilainya ada yang tidak tuntas, ya?”

“ Apa selain bimbel, perlu privat ya, Bu?”

“ Hanya ingin sekedar tahu saja Bu, anak saya rangking berapa agar tahu diantara teman-temannya ketinggalan apa nggak?”

Apakah Ayah Bunda pernah melontarkan pertanyaan di atas kepada guru atau Wali kelas anak-anak kita? Insya Alloh pernah ya Bunda…Karena Itulah beberapa kalimat yang rutin hampir setiap saat dilontarkan orang tua wali murid kepada penulis yang Alhamdulillah berprofesi sebagai guru, ketika pengambilan rapor bayangan atau rapor semester satu,  apalagi rapor kenaikan kelas. Tidak hanya di sekolah penulis, tapi penulis  yakin di sekolah lain juga begitu. Sebenarnya secara sekilas pertanyaan dan kalimat-kalimat di atas adalah bentuk perhatian dan kepedulian orang tua terhadap pendidikan atau lebih pasnya masa depan anak. Tapi sayangnya jika akhirnya membandingkan dengan temannya yang lebih pintar dan tidak menghargai usaha keras sang anak, belum ketika tanpa sadar orang tua memberi label-label negativ kepada anak, dan lebih parah lagi ketika orang tua berambisi sang anak meraih nilai-nilai tinggi sampai akhirnya zona nyaman anak tidak lagi diperhatikan, itu yang akhirnya membuat anak trauma dan belajar adalah hal yang tidak menyenangkan  serta menjadi beban karena banyak aturan atau target-target yang kita tetapkan dan yang lebih parah jika akhirnya buah hati kita menempuh 1001 cara agar nilainya bagus tanpa berfikir caranya terpuji atau tidak yang penting mama bangga dengan dirinya (misalnya mencontek, menyuruh teman mengerjakan, dll)

Pembaca yang budiman, anak kita bukan robot, mereka bukan manusia dewasa yang berbadan kecil, mereka punya dunia sendiri, masa perkembangan berfikir yang berbeda dengan kita orang dewasa atau orang tua. Kenapa hal ini saya sampaikan ? karena tanpa kita sadari sering kita bersikap seperti itu. Ini terbukti ketika ada seorang ibu yang menyampaikan betapa gigihnya sang anak dan betapa suportnya sang ibu sebagai orang tua, dengan menjelaskan anaknya tiga kali ikut Bimbel dalam satu pekan, setelah itu ikut les bidang studi yang di UN kan ditambah les jarimatika, les piano dan bahasa asing. Masya Alloh, hatiiku menjerit  sambil bergumam dalam hati wah, anak usia SD sudah seperti anggota dewan sibuknya.

Kalau kita baca dan cermati, bukankah tujuan pendidikan Nasional sesuai UUD 1945 pasal 31 ayat 3 menyebutkan: “ Pemerintah mengusahakan dan meyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa . Di pasal 31 ayat 5 menyebutkan , “Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” UU no. 20 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuahan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Kalau kita ingin menganalisa  lebih lanjut tujuan pendidikan di atas dengan jujur kita akan mengakui bahwa memang idealnya hasil belajar itu tidak hanya tergantung nilai angka tetapi harus berbanding lurus dengan akhlak (moral) dan ibadahnya. Atau lebih familiar di sebut karakternya. Karena jika disimpulkan dari tujuan-tujuan pendidikan di atas maka proses pendidikan bertujuan mendidik anak menjadi Cerdas dan Sholeh (berkarakter).

Oleh sebab itu sebagai orang tua dan guru yang bijak, kita harus menanamkan pendidikan karakter sejak dini, karena karakter itu perlu puluhan tahun agar mengakar dan mengkristal dalm kehidupan sehari-hari, berbeda dengan pengetahuan umum bisa dengan privat/kursus/bimbel dalam hitungan  pertemuan, pekan atau bulan.

Karena karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.

Itu artinya pendidikan karakter berarti juga melakukan usaha sungguh-sungguh, sistematik dan berkelanjutan dari kita semua untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan  kita bahwa masa depan yang lebih baik akan terwujud jika masing-masing kita apalagi generasi penerus bangsa ini memiliki karakter yang kuat diantaranya beriman, bertaqwa, rajin beribadah, sopan, santun, gigih, pantang putus asa, kerja keras, kerja sama , tanggung jawab, optimis, bersatu dan selalu rukun, semangat, memiliki rasa percaya diri yang tiinggi, apalagi nilai-nilai kejujuran. Jadi mulai sekarang mari cara pandang dan mindset kita tentang hasil belajar  kita ubah bahwa : “ Kunci Sukses, Jangan Hanya Berorientasi Pada Nilai Angka Saja ….!”

Jadi  Ayah Bunda yang berbahagia, kita jangan bertanya lagi kamu rangking berapa ya…..?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun