Mohon tunggu...
Liese Alfha
Liese Alfha Mohon Tunggu... Dokter - ❤

Bermanfaat bagi sesama Menjadi yang terbaik untuk keluarga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bucin, Bukti Cinta Atau Kekerasan?

1 Desember 2019   15:11 Diperbarui: 1 Desember 2019   15:14 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena Bucin atau Budak Cinta sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala. Adanya kisah Romeo dan Juliet, cerita memilukan Layla dan Majnun, bukankah akar permasalahannya adalah cinta. Menelusuri berita-berita online zaman sekarang pun, kisah tak kalah pelik juga masih sering terjadi atas nama CINTA. Pasangan membunuh pasangannya karena cemburu. Remaja  minum racun serangga saat diputuskan pacarnya. Terjun dari Sungai Musi karena ditolak oleh gebetannya. Terlebih semua telah dilakukan dan diberikan atas nama cinta. Belum lagi ada yang tetap bertahan setelah babak belur berharap pasangan akan berubah setelah dimaafkan. Tutup mata atas perselingkuhan pasangan.

Lantas, benarkah semua itu dilakukan karena cinta? Apakah benar cinta semenyakitkan itu, hingga yang dilanda cinta harus menjadi korban perbudakan atas nama cinta?

Kemarin, Women Crisis Center, Biro Psikologi Lentera Jiwa dan Kompasianer Palembang mengadakan sebuah acara, bisa dikatakan forum Diskusi mengenai Fenomena Bucin (Budak Cinta)-Cinta atau Kekerasan? Acara diselenggarakan di Venus Cafe Jl. Sumpah Pemuda Palembang (sebelumnya direncanakan di Grapari Telkomsel) dan dibuka oleh Pembawa Acara, mba Dini, dari Lentera Jiwa dan perwakilan Kompasianer Palembang, Arako, memberikan kata sambutannya. 

dokpri
dokpri
Kasus Bucin

Mendengar kata Bucin jelas saja menarik minat para pemuda, terbukti yang datang kebanyakan adalah remaja dan dewasa muda. Ibu Yeni Roslaini Izi, Direktur Eksekutif Women Crisis Center Palembang, sebagai pembicara pertama membeberkan fenomena gunung es budak cinta ini. Banyak yang tidak menyadari bahwa menjadi budak cinta adalah salah satu jenis kekerasan yang korbannya kebanyakan adalah perempuan. Acara ini juga menjadi rangkaian acara #16HariAntiKekerasanTerhadapPerempuan yang menjadi agenda Women Crisis Center. Rangkaian acara #16HariAntiKekerasanTerhadapPerempuan dimulai dari tanggal 25 November-10 Desember. Puncak rangkaian acara akan diadakan tanggal 10 Desember bertepatan dengan Hari HAM. Dan melakukan kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu pelanggaran Hak Azasi Manusia.

dokpri
dokpri
Women Crisis Center berperan pada pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan, yang prinsip penanganannya atas dasar keinginan korban itu sendiri. Pendampingan yang diberikan bisa dari segi hukum, psikososial, medis, rumah aman- sesuai keinginan korban. Banyak yang meminta bantuan WCC, sebagai lembaga non pemerintahan, dalam menghadapi pelaku kekerasan yang kebanyakan adalah pasangan korban itu sendiri. 

Contoh Kasus

1. Kekerasan dalam pacaran- S dan M kenal sejak kelas 2 SMA dan sudah 5 tahun pacaran. Setiap kali marah dan cemburu, M akan memukul S. S sebagai wanita yang mencintai pasangannya merasa memang S yang salah hingga pantas untuk dipukul oleh M. S kemudian berhati-hati sekali agar M tidak sampai marah kepada S, mengalah biar M bisa berubah. Namun kebiasaan ternyata tidak akan pernah berubah. M akan terus marah bahkan memukul tanpa alasan yang jelas. S mengancam putus,M berjanji berubah. Begitu terus, terulang lagi. Teman-teman S sudah menyarankan untuk meninggalkan M, tapi M malah mengancam akan bunuh diri. S luluh.

2. P pacaran dengan L sudah 4 tahun. L selalu meminta dibeliin barang sama P. Kadang-kadang L juga memaksa berhubungan badan, alasan sebagai bentuk cinta kata L. Mereka memang sudah ada rencana menikah. Kemudian P hamil, L menghidar, setiap kali dimintai tanggung jawab, bukannya bertanggung jawab L malah marah memaki P sebagai wanita murahan. 

Dua contoh kasus di atas adalah kasus yang ditangani oleh WCC. Lihat. Siapa yang menjadi korban. Perempuan. Lihat alasan mereka bertahan dan mau melakukan apa yang diminta, apalagi kalau bukan cinta. Cukuplah dikatakan "budak" bila mau saja melakukan apapun yang diminta, disuruh walaupun tahu itu bukanlah hal yang baik.

Bentuk-Bentuk Kekerasan

Kekerasan dalam hubungan antar manusia, disini yang dibahas adalah hubungan asmara, dibagi menjadi lima bentuk kekerasan.

  1. Kekerasan sosial-membatasi pergaulan pasangan
  2. Kekerasan psikologis-meremehkan, merendahkan, selingkuh
  3. Kekerasan fisik-menyakitkan pasangan secara fisik mulai dari menampar, menendang, memukul
  4. Kekerasan seksual-aktifitas seksual yg sifatnya maksa, menyakiti pasangan
  5. Kekerasan ekonomi- tindakan memanfaatkan pasangan secara sepihak

Bentuk kekerasan yang sering terjadi namun jarang disadari adalah kekerasan sosial dan psikologis. Namun tahukah bahwa dampak yang dirasakan kemudian akan sama bahkan lebih besar dari kekerasan fisik yang diterima. Mba Diana Putri Arini, M.Psi.Psikolog, sebagai pembicara kedua dari Lentera Jiwa memisalkan seekor gajah kecil yang dirantai di salah satu kakinya. Awalnya gajah kecil meronta menarik rantai berharap lepas, lama kelamaan gajah merasa bahwa dia tidak akan mampu. Namun gajah kecil lalu tumbuh menjadi besar, harusnya mampu menarik rantai dari tonggaknya. Tapi tidak, gajah tadi yakin rantai tadi sama kuatnya dengan rantai sebelumnya, dan kekuatan dirinya pun sama dengan kekuatan dirinya sebelumnya, maka ia berhenti berusaha.

Remehan, sikap merendahkan, awalnya memang menyakitkan untuk semua orang. Tapi untuk yang sudah "terbiasa" dan akhirnya benar-benar "percaya" bahwa dirinya rendah, tentu akan mematahkan semangat hidup seseorang. 

"Siapa lagi yang mau sama kamu kalau bukan aku!"

"Kamu tuh sudah gak perawan lagi, wanita murahan!"

"Jelek gini, untung ada yang mau!"

"Gendut amat sih!"

Lihat kalimat-kalimat merendahkan di atas. Sounds familiar? Baik sebagai pelaku ataupun korban, stop. Itu adalah salah satu bentuk silenced violence-jangan dianggap biasa. Atas nama cinta.

Perempuan Sering Menjadi Korban

Kenapa sih korban kekerasan kebanyakan adalah perempuan? Banyak faktor yang melandasi. Konstruksi budaya- posisi laki-laki yang dianggap lebih tinggi dari perempuan adalah faktor yang paling sering menjadi pemicu. Hal ini dibuktikan dari nilai previlage di sosial, budaya dan agama sehingga menjadi masalah bila ada ketimpangan kekuasaan. Relasi kekuasaan-perempuan tidak bisa memberikan posisi tawar. Kekerasan terjadi karena adanya penyalahgunaan ketimpangan kekuasaan tadi.

Dinamika psikologis antara laki-laki dan perempuan juga menjadi alasan kenapa perempuan sering menjadi korban. Laki-laki yang menjadi pelaku kekerasan sebenarnya adalah mereka yang merasa inferior terhadap dirinya sendiri sehingga membutuhkan kompensasi dengan melakukan tindakan kekerasan, apapun bentuk kekerasannya. Perempuan pada dasarnya memiliki sikap non asertivitas-gak enakan yang ujungnya mudah dimanfaatkan. Ketika sudah memutuskan bersama seseorang, perempuan cenderung bergantung secara emosional. Dan kebanyakan perempuan yang menjadi korban adalah mereka yang rendah diri. Terlebih untuk perempuan yang tidak mandiri secara finansial, perasaan takut karena menjadi korban kekerasan diikuti perasaan tidak mau lepas karena merasa butuh dengan pasangan. Takut kehilangan perasaan nyaman meskipun tidak aman.

Choosing Your Husband is Also Choosing Your Future

Untuk yang saat ini merasa sangat cinta dengan pacarnya, namun ternyata kalian mengalami kekerasan, Speak up, please. Kamu harus berani keluar dari siklus kekerasan yang ada kamu di dalamnya. Ingat siklus kekerasan: Kekerasan terjadi-minta maaf-periode tenang, bulan madu-ketegangan muncul, konflik-Kekerasan terjadi lagi. Akan begitu terus. Kamu harus berani bicara, kumpulkan bukti, minta bantuan. Bisa konseling.

Pelaku kekerasan biasanya adalah korban kekerasan di masa lalu, jadi hal pertama yang harus mereka lakukan adalah konseling perilaku. Dia tidak akan berubah selagi tidak ada motivasi yang kuat dalam dirinya sendiri. Dan ingat, jangan sok menjadi pahlawan dalam kehidupan seseorang. "Kasian mba, siapa tahu dia akan berubah karena saya" No! Bukan begitu cara kerjanya. 

Mba Diana dari Biro Psikologi Lentera Jiwa menyebutkan ciri-ciri laki-laki yang kemungkinan akan menjadi pelaku kekerasan, yaitu punya latar belakang sebagai pelaku, jadi sebelum memutuskan bersama, tidak ada salahnya untuk tahu bagaimana dan adakah sejarah tindak kekerasan dalam hidupnya. Biasanya pelaku kekerasan cenderung tidak memberi ruang kepada pasangan untuk memberikan pendapat dan memiliki masalah dalam pengendalian emosi.

Dan untuk yang berpotensi korban adalah mereka yang berasal dari keluarga yang pernah mengalami "abuse", hilangnya figu ayah dalam tumbuh kembangnya dan kurang asertive dlm menyampaikan pendapat.

Elemen Cinta Produktif

Jadi, apakah setiap orang yang merasakan cinta itu disebut Budak Cinta? Oh tentu tidak!

Mereka yang melakukan apapun atas nama cinta untuk pasangannya tanpa merasa sakit, tanpa adanya perubahan dalam kesehariannya, tidak ada ketakutan berlebih ketika berhadapan, melakukannya dengan senang hati, apa yang dilakukan membuat perasaan bersama menjadi tambah nyaman. tambah sayang, melakukannya tanpa terpaksa dan kepatuhan dalam batas wajar, bisa didiskusikan dan semua dilakukan atas dasar peduli, hormat, tanggung jawab dan egaliter, maka itulah cinta yang produktif.

Cinta jenis inilah yang harus diusahakan dalam hubungan. Jadi, jangan mau jadi BUCIN-Budak Cinta.

kompal-5b5fe4c45e13734d04791cd2-5ca708853ba7f76bdf03d7d4.jpg
kompal-5b5fe4c45e13734d04791cd2-5ca708853ba7f76bdf03d7d4.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun