Nah, hutan, berdasarkan definisi dari KLHK, 2018, adalah suatu wilayah dengan luasan lebih dari 6.25 ha dengan pohon dewasa lebih tinggi dari 5 meter dan tutupan kanopi lebih dari 30%, inilah yang selama ini menyerap gas CO2.
Kalau hutan habis, menumpuklah itu CO2 di seluruh lapisan atmosfer. Memang, tidak hanya hutan yang mampu menyerap CO2, semak pun bisa. Tapi perbandingan CO2 yang bisa diserap oleh hutan dan semak adalah 1:13.33. Kebayangkan kalo semua hutan kita habis.
Di atas adalah grafik deforestasi hutan yabg terjadi di Indonesia. Secara tren memang mengalami penurunan. Selain karena adanya moratorium pemanfaatan lahan, sudah semakin menipisnya lahan yang bisa dibuka juga menjadi salah satu penyebab pastinya. Pantas saja pada akhirnya terjadi bencana di mana-mana.
Lalu, apakah yang bisa kita lakukan?
Sumba pada tahun 2025 akan menggunakan 100% energi terbarukan dari Pembangkit Listrik Tenaga Angin. Hal ini merupakan salah satu program yang dicanangkan sebagai penggunaan alternatif energi.
Penggunaan mobil berbahan bakar listrik juga menjadi solusi futuristik yang menjanjikan.
Kearifan lokal seperti saat perayaan Hari Raya Nyepi di Bali. Terbukti mampu menurunkan kadar emisi 50% dari yang biasa dihasilkan per harinya di kota tersebut.
Pemanfaatan dan penggabungan tekhnologi dan kearifan lokal adalah hal menarik yang bisa dikembangkan untuk mengurangi emisi yang dihasilkan oleh manusia.
Lebih lanjut kita juga harus mengembalikan fungsi hutan dalam lanskap berkelanjutan seperti yang disampaikan ibu Dr. Atiek. Hutan tidak hanya sebagai "kumpulan pohon tinggi" tapi harus juga dipandang sebagai sebuah lanskap, ada kehidupan yang menyertainya.
Adanya kehidupan manusia di sekitar hutan inilah, yang mau tidak mau harus dipikirkan sebagai solusi yang berkelanjutan.