Mohon tunggu...
Liese Alfha
Liese Alfha Mohon Tunggu... Dokter - ❤

Bermanfaat bagi sesama Menjadi yang terbaik untuk keluarga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita Berani karena Kita Bersaudara

18 Mei 2018   09:36 Diperbarui: 18 Mei 2018   10:05 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: kompasiana.com

Pagi minggu kemarin, tangan saya yang sedang memegang remote TV berhenti pada satu berita bertajuk Breaking News memberitakan tentang adanya tindak teror yang kembali terjadi. Tiga gereja menjadi sasaran. Dunia kembali menatap negeri ini. Tak habis-habis perilaku teror menghantui anak bangsa ini. Tak sedikit korban jiwa tak bersalah yang menjadi korban. Terlebih banyak luka yang menggores di hati para keluarga korban. Trauma tidak tanggung-tanggung akan merenggut malam-malam nyenyak yang entah kapan akan teratasi.

Ada aksi, ada reaksi. Banyak respon dari masyarakat. Terutama sekali mereka yang mengutuk aksi ini. Bagaimana mungkin ada orangtua membawa anak-anaknya menjadi martir bom. Namun, ada juga yang menyebut ini sebagai konspirasi, rekayasa peristiwa, pengalihan isu.

Come on, guys. Apa mesti harus menunggu korbannya keluarga terdekat kita dulu baru mau mengakui bahwa ini benar-benar tindakan teror. Tidak perlu lah bereaksi sedemian rupa hingga kita kehilangan hati nurani. Ada korban jiwa, harus kita akui. Siapa dalang di baliknya, itu memang harus diusut oleh pihak berwajib.

Lantas jari telunjuk sebagian orang akan tertuju ke agama mayoritas negeri ini. Saya muslim, saya pada awalnya akan menyangkal bahwa mereka bukanlah muslim, mereka pelaku teror bukanlah bagian dari agama ini. 

Agama yang saya anut sedari lahir ini tidaklah pernah membenarkan membunuh, terlebih ada anak-anak yang menjadi korban, karena dalam berperang saja, Islam dengan indahnya mengatur bahwa anak-anak tidak boleh menjadi target. Eh, jangankan manusia, tanaman saja dilarang untuk dirusak. Itulah Islam.

Lalu kemudian alam bawah sadar saya terusik. Data-data yang dijabarkan oleh media, bahwa mereka pelaku teror, sebagian besar yang terjadi di negeri ini, adalah memang benar beragama Islam.

Saya tidak akan menyangkalnya lagi. Namun apakah saya akan diam saja ketika agama saya yang menajdi landasan saya berkehidupan selama ini rusak oleh segelintir manusia tak berotak tak berhati? Tidak. Saya akan kabarkan melalui lisan saya, akhlak, juga mungkin jari-jemari saya, bahwa Islam adalah agama rahmatan lil'alamin. Agama yang cinta kasih, agama yang penuh kebaikan, bukan agama yang mengajarkan kekerasan, bukan agama yang membenarkan tindakan terorisme.

Ya, mereka pelaku teror memang beragama Islam, tapi mereka bukan bagian dari saya, bukan bagian dari kami, bukan bagian dari kita. Memang kelak di hari akhir, akan hanya ada 1 golongan Islam yang Allah akan bukakan pintu surga untuk golongan ini. Saya yakin, bukan golongan ini yang Allah janjikan itu. Surga yang teroris itu tuju, saya yakin bukan surga yang kita semua maksud karena Surga bukan tempat mereka yang membunuh.

Kita semua sepakat tidak ada agama yang membenarkan membunuh. Sebagian menyebut they have no religion. Tapi apapun itu, berhentilah memperkeruh suasana, berhenti memberi panggung bagi mereka yang membenarkan tindakan ini. Tujuan lain mereka adalah menanamkan rasa takut kepada kita semua. Maka berhentilah menyebarkan gambar-gambar menakutkan, foto-foto korban, video yang membuat bulu kuduk kita berdiri menyaksikan kekejama mereka, kebrutalan perilaku terorisme ini. Tagar kamitidaktakut, sejatinya diganti dengan #kamiberani. Karena lawan dari takut bukanlah tidak takut, tapi berani.

Berani menatap hari esok, bahwa bila kita bersatu, maka tidak akan ada lagi tindakan terorisme ini. Berani melihat sekitar. Ayo, lebih perduli kepada apa yang ada di sekeliling kita. Tarik mereka yang menurut kita berubah menjadi anti sosial, padahal sebelumnya adalah orang yang ramah. Lihat kanan kiri, depan belakang, ada tidak tetangga kita yang menutup diri, beraktifitas tertutup. Kita harus berpartisipasi aktif agar paham radikalisme ini tidak masuk ke sendi-sendi masyarakat kita.

Jadi, teman, kita Indonesia, kita bersaudara, saya Islam, saya cinta damai. Jangan sampai mereka berhasil memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa ini. Mari sama-sama menahan diri, menahan lisan kita, menahan jari-jemari kita. 

Jangan menjadi ambil bagian dalam merusak tatanan berbangsa dan bernegara yang selama ini menjadikan kita semua bersaudara, tanpa memandang agama, ras, suku. 

Janganlah kita menembakkan kebenciaan yang tidak tepat sasaran. Hentikan komentar nyinyir, mari kita bersama bergandengan tangan, membarikade setiap orang yang akan menghancurkan bangsa ini. Kita pasti bisa.

kompasiana.com
kompasiana.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun