Dan mataku tak mau beralih dari pesan elektronik yang tampak di layar laptopku. Sejak semalam, pesan ini menyita waktuku, aku baru tertidur setidaknya lebih dari pukul 04.00. Stuttgart sedang musim panas, pendingin ruangan seakan tak berfungsi meski sudah sudah diset paling kecil.
Malam di musim panas Stuttgart merupakan malam yang singkat, dan aku akan kembali menapaki hari-hari panjang sebelum tidur adalah obat dukaku. Sebenarnya, panas musim panas ini tak begitu panas, karena di negeri ku dahulu, temperaturnya tak jauh beda dengan temperatur sekarang, tapi pesan itu, pesan itu yang membuatku merasakan panas yang luar biasa, di sini, di hati ini, pesan yang membuka luka yang telah kukubur dalam-dalam, setidaknya saat sadarku.
Aku duduk di bawah rindangnya pohon besar di taman kota, tak jauh dari Stuttgart Hauptbahnhof. Sengaja ku pilih tempat duduk ini, karena aku bisa melihat lalu lalang ramai, keluar masuk stasiun kereta utama kota ini. Aku suka melihat mereka yang sibuk, atau sekedar berwisata ke kota ini, kota lembah dengan lembah anggur di sekitarnya. Tak jauh dari tempat dudukku, ada satu atraksi jalanan yang dikerumuni banyak orang, mungkin sulap, tak jelas juga aku melihatnya karena tertutupi kerumunan.
"Ndah, apa kabar? Ini tante Erna. Maaf tante cuma mau kasih tau, mama Sita sakit. Semoga Indah berkenan pulang ke Indonesia"
Bunyi pesan dari tante Erna. Adik mama, iya mama. Orang yang terpaksa aku hindari hingga ke negeri ini. Entah darimana tante Erna mendapatkan alamat emailku. Aku tak perduli, aku hanya membenci keadaan ini, aku sudah bahagia Tuhan, setidaknya bahagia karena jauh darinya. Kuputuskan membiarkan pesan itu, tak berbalas, namun kuputuskan untuk tetap menempati satu tempat di inbox-ku.
Hari-hariku ku sibukkan dengan mengurus desain baru mobil yang menjadi label kota ini, mobil dengan lambang bintang perak bersudut tiga itu. Tak ada alasan untuk buatku bermalas-malasan. Sesekali memang pesan itu mengusikku. Rindu tak kupungkiri menyelinap dalam resah bila mama memang sedang sakit berat. Namun, rasa kecewa dan sakit hati yang teramat yang telah mama goreskan lebih dari 16 tahun lalu cukup menguasai hari-hariku dan berhasil membuat benci ini meluap-luap. Dan saat-saat seperti ini, aku begitu ingin memeluk papa, kangen sekali rasanya.
"Hallo, Guten tag"
"Indah" deg! Suara di seberang telpon seperti tak asing lagi meski sudah lama tak terdengar. "Kamu pasti udah baca pesan tante kan?" tanya tante Erna tanpa ba-bi-bu.
"Maaf tante, mama sudah memilih, dan Indah pun sudah memilih, dan di sini tempat Indah. Andai boleh memilih untuk dilahirkan dari rahim mana Indah dilahirkan, Indah gak akan memilih mama." kumatikan telpon sebelum orang di seberang mendengar isakku. Lama sekali aku menangis, dan aku butuh papa, saat ini.
"Papa, aku tahu papa selalu bersama Indah, Indah kangen, maafin Indah kalau Indah harus bersikap seperti ini, Indah bukan papa yang bisa dengan mudahnya memaafkan mama"
Sore ini setelah puas menangis, aku keluar rumah menuju Schlossplatz, sekedar windows shopping. Wisatawan banyak sekali kutemui di pinggir jalan, ada yang menuju museum, ada yang berhenti menonton atraksi sepanjang Koenigsstrasse, pawai anggur pun sebentar lagi akan lewat. Puas dari Schlossplatz, aku menuju Flohmarkt, kali ini aku berhasil mendapatkan piringan hitam Chubby Checker, dengan single The Jet-nya, lagu favorit papa.
"dan papa tidak mendidikmu menjadi anak yang mendendam, terlebih kepada orang tua mu sendiri, nak."
Aku terbangun dengan peluh membanjiri badan, mimpi barusan senyata-nyatanya, papa datang, duduk di samping meja kecil, tempat phonograph yang sedang memutar The Jet. Papa seakan tahu apa yang terjadi sama mama dan memintaku ke Indonesia secepatnya.
"Dan kemana mama selama 16 tahun ini, kemana mama saat Indah sakit, kemana mama saat Indah naik kelas, kemana mama saat Indah butuh pengakuan dari dunia, bahwa Indah punya mama, dan kemana mama saat papa meninggal, kemana, dan mama sekarang minta aku ada di dekat mama, kemana suami mama, orang yang merebut mama dariku, dari papa. Orang tak tahu malu itu, orang tak tahu terima kasih itu" aku sudah tak kuat lagi menahan amarah di hadapannya. Mama hanya diam sambil menangis, mungkin sudah tak kuat berkata lagi. Mama sendirian sekarang, laki-laki yang dulu kupanggil om, teman baik papa, sudah pergi entah kemana setelah bertahun-tahun menikah tak jua dikarunia keturunan melalui rahim mama.
Mama memang tak akan bisa memberinya keturunan, karena sejak tahu mama terkena kanker rahim, rahim mama harus diangkat. Dan karena kanker rahim inilah, mama hanya bisa diam di tempat tidur. Mama memutuskan untuk menyetop semua radioterapinya, dan sekarang sel ganas nya sudah menyebar ke organ lainnya.
Aku memang pulang ke Indonesia tapi bukan untuk memaafkannya, aku hanya ingin mama tahu apa yang ada dalam hatiku selama 16 tahun ini, dan pagi-pagi sekali, aku akan terbang lagi ke Jerman.
"Tante harap kamu tidak akan menyesal. Mama Sita telah berpulang dini hari tadi" Pesan sms dari tante Erna sebelum pesawat menuju jerman take-off.
Memang tanpa airmata, namun aneh, rasanya sakit sekali. Dan mama, aku minta maaf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H