"dan papa tidak mendidikmu menjadi anak yang mendendam, terlebih kepada orang tua mu sendiri, nak."
Aku terbangun dengan peluh membanjiri badan, mimpi barusan senyata-nyatanya, papa datang, duduk di samping meja kecil, tempat phonograph yang sedang memutar The Jet. Papa seakan tahu apa yang terjadi sama mama dan memintaku ke Indonesia secepatnya.
"Dan kemana mama selama 16 tahun ini, kemana mama saat Indah sakit, kemana mama saat Indah naik kelas, kemana mama saat Indah butuh pengakuan dari dunia, bahwa Indah punya mama, dan kemana mama saat papa meninggal, kemana, dan mama sekarang minta aku ada di dekat mama, kemana suami mama, orang yang merebut mama dariku, dari papa. Orang tak tahu malu itu, orang tak tahu terima kasih itu" aku sudah tak kuat lagi menahan amarah di hadapannya. Mama hanya diam sambil menangis, mungkin sudah tak kuat berkata lagi. Mama sendirian sekarang, laki-laki yang dulu kupanggil om, teman baik papa, sudah pergi entah kemana setelah bertahun-tahun menikah tak jua dikarunia keturunan melalui rahim mama.
Mama memang tak akan bisa memberinya keturunan, karena sejak tahu mama terkena kanker rahim, rahim mama harus diangkat. Dan karena kanker rahim inilah, mama hanya bisa diam di tempat tidur. Mama memutuskan untuk menyetop semua radioterapinya, dan sekarang sel ganas nya sudah menyebar ke organ lainnya.
Aku memang pulang ke Indonesia tapi bukan untuk memaafkannya, aku hanya ingin mama tahu apa yang ada dalam hatiku selama 16 tahun ini, dan pagi-pagi sekali, aku akan terbang lagi ke Jerman.
"Tante harap kamu tidak akan menyesal. Mama Sita telah berpulang dini hari tadi" Pesan sms dari tante Erna sebelum pesawat menuju jerman take-off.
Memang tanpa airmata, namun aneh, rasanya sakit sekali. Dan mama, aku minta maaf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H