Telepon genggamku berdering, sebuah nomor baru tertera di layar handphone.
"Assalamu'alaikum... Dengan siapa yah?" tanyaku
Hening, tak ada suara di seberang sana.Â
"Manusia aneh." gumamku.
Handphone berbunyi lagi, sejenak aku melirik. Â Sebuah pesan via WhatsApp
[Maafkan aku. Rendra]
Deees ... Seketika aliran darahku begitu cepat, detak jantungku berdetak tak karuan. Â Setelah dua tahun, dengan susah payah aku menata kepingan hati yang telah retak karenanya. Â Kini Rendra kembali hadir setelah memilih untuk pergi dan menorehkan luka yang begitu dalam padaku.Â
[Teruntuk kamu yang telah mampir, lalu  memilih untuk pergi.  Terima kasih karena kamu pernah hadir menorehkan cerita indah, lalu pergi membawa luka.  Izinkan aku untuk menata hati lebih baik lagi tanpa bayang-bayang dirimu.  Bahagialah dengan caramu tetapi, jangan pernah menggadaikan kebahagiaan orang lain demi nafsumu.  Jangan pernah menorehkan lagi luka di hati yang telah sembuh.  Tuhan menegurku lewat goresan luka yang kau torehkan. Namun, Tuhan begitu sempurna dengan mendekapku dalam kasihnya lewat iman yang dihembuskan pada denyut nadi dan aliran darahku.  Hanya ada nama Tuhan dalam tiap denyut nadiku, tak ada lagi namamu dalam doaku.  Aku pernah jadi teristimewa lalu terbuang, karena itu izinkan aku bahagia dengan caraku, agar aku tak terluka lagi untuk kedua kalinya karenamu.  Jangan pernah kembali.  Dea] Send.
Menata hati tidak semudah ketika menorehkan luka. Sejenak aku menarik napas panjang. Â Aku menatap kepingan kartu handphoneku yang nasibnya telah berakhir dengan sebuah gunting tajam. Â Malam ini, aku harus merelakan kepingan-kepingan kartu handphoneku nangring di tempat pembuangan sampah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H