Seusai menamatkan pendidikan pada jejang strata satu, keputusan orangtua menjemput untuk kembali ke kampung halaman rasanya terlalu cepat. Â Impian aku untuk sejenak menghabiskan waktu di kota sembari mencari pekerjaan yang layak setelah aku menyandang predikat sebagai sarjana, harus aku kubur dalam-dalam. Â
Mengalah pada apa yang telah menjadi keputusan keduanya, adalah hal yang terbaik saat itu. Â Rasanya ingin memberontak pada apa yang bukan menjadi pilihanku, tetapi semua percuma.
Stress, begitulah perasaanku saat itu. Â Menghabiskan waktu hanya berdiam diri di sebuah perkampungan yang sangat jauh sentuhan tehnologi. Tawaran pekerjaan untuk mengabdikan diri pada instansi pemerintahan, tidak cukup menolong. Â Aku hanya bertahan hingga 5 bulan, dan akhirnya memilih untuk resign. Â
Setelah resign dari kantor, aku mencoba mencari pinjaman modal untuk membangun bisnis. Â Namun, lagi-lagi semua berjalan tidak sesuai dengan ekspektasi. Â Lambat laut modal habis, tanpa tahu keuntungan yang aku dapatkan. Â Hingga akhirnya tidak ada pilihan kecuali menutup usaha. Â Aku tidak akan mungkin menambah modal dengan mencari pinjaman baru, sementara pinjaman awal belumlah lunas.
Pernah terlintas dibenak untuk mengakhiri hidup saja menghadapi situasi genting. Â Cemoohan orang-orang kampung yang memandang gelarku sia-sia, keadaan ekonomi yang semakin menghimpit menambah beban batin tersendiri. Â Ditambah lagi tuntutan orangtua, tak ada kebebasan berpendapat dan mengambil keputusan sendiri. Â Tumbuh dewasa hanyalah persoalan perputaran waktu, tetapi kedua orangtua masih saja memandangku sebagai bocah yang tidak dapat hidup mandiri dan tak sedikitpun mampu berdiri tegak di atas kaki sendiri.
Aku masih saja terpaku memandang langit malam yang bertaburan bintang. Â Sesekali bintang-bintang terjatuh. Â Tepat ketika bintang terjatuh dari langit, kata orang-orang, saat itu adalah waktu yang tepat untuk memohon pengharapan untuk kehidupan lebih baik. Meski tidak sepenuhnya aku percaya akan hal itu. Â Kerap kali aku melakukan hal yang sama, saat cahaya itu terjatuh ke bumi, tetapi tetap saja kehidupanku jauh dari kata kehidupan yang layak.
Cahaya bintang yang tampak berkilauan menjadi pemandangan indah.  Dari balik jendela kamar,  aku banyak menghabiskan waktu untuk sekadar menghitung bintang-bintang yang terjatuh ke bumi.  Embusan angin malam  yang sesekali menerpa membuat bulu kuduk terasa merinding.  Terasa sangat dingin, aku memejamkan mata, sembari menghirup udara malam.Â
Kamu masih percaya akan bintang jatuh yang mampu mengabulkan permohonan kamu? Nyatanya kehidupan kamu tidak lebih baik kan? Berapa banyak pengharapan yang kamu ucap kala itu, dan semua sia-sia, tidak mampu mengubah kehidupan kamu juga kan? Â Garis takdir kamu tidak akan berubah hanya karena permohonan kamu pada bintang.
Ah, rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya pada kesunyian malam. Â Berharap angin membawa pesan kepada Sang Pencipta, mendengar, lalu mengabulkan rintihan hatiku. Â Namun, kini aku tak lagi pernah berharap pada bintang terjatuh. Â Rasanya semua itu bohong, tak ada pengharapan yang terkabul karena bintang terjatuh. Â Itu semua hanyalah dongeng belaka. Â Keputusanku meninggalkan kampung halaman untuk sejenak menepi dari segala permasalahan yang mendera batin telah bulat. Â Aku harus pergi mengadu nasib, dengan harapan suasana perkotaan dapat mengantar aku akan kehidupan yang jauh lebih layak. Â Waktu bergulir, aku masih saja sesekali mengahabiskan waktu untuk sekadar duduk memandangi langit perkotaan yang bertaburan bintang. Â Cahayanya tak sekilau bintang pedesaan yang berbalut kegelapan malam. Â Perkotaan menghadirkan gemerlap lampu perkotaan yang tak pernah padam. Â Gemerlap bintang tampak redup karena pantulan cahaya gemerlap perkotaan. Â Tak ada lagi bintang terjatuh, dan aku tak lagi memohon pada bintang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI