"Del, dengar yah, kehidupan kampung akan sangat jauh dari kehidupan kota besar seperti ini. Â Jika esok kamu masih bertahan dengan prisip-prisip udikmu, aku pastikan hidupmu akan terlunta-lunta. Â Namun, jika kamu mau sedikit membuka pikiran dan menanggalkan semua prinsipmu maka kehidupan kamu akan jauh lebih layak. Â Bahkan mungkin, kelak kamu lebih segalanya dari aku yang kamu lihat sekarang."
Aku hanya mampu terdiam dan bergelut dengan pikiranku sendiri. Â Pikiran-pikiran buruk mulai bermain di benak. Â Bayang-bayang kehidupan menyeramkkan terus menari di pelupuk mata, firasatku mulai buruk. Â Sementara mobil yang membawa kami terus melaju dengan kecepatan sedang di atas aspal. Â Arus lalu lintas masih cukup padat. Â Sejenak aku melirik jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Â Jam sudah menunjukkan pukul 23.45 WIB. Â Tidak lama kemudian laju kendaraan semakin pelan dan akhirnya terhenti pada sebuah tempat yang begitu gemerlap dengan lampu warna warni yang bergantian menyala, cahayanya cukup menyilaukan mata.Â
      "Nis, ini tempat apaan? Pulang yuk!" Ucapku yang masih enggan untuk turun dari mobil.
      "Del, percaya deh coba aja dulu dan aku yakin kamu akan betah di dalam sana dan lambat laun akan terbisa dengan kehidupan seperti ini,"
      "Tapi, Nis...."
      "Udaaah, hayuuuk!" Ucapnya sembari menarik tanganku dengan pelan.
      Aku terpaksa mengikuti langkah kaki Nisa.  Seketika kepalaku terasa puyeng tatkala aku memasuki tempat yang kami tuju.  Aroma kurang sedap tercium.  Bau asap rokok, aroma farfum pengunjung dan aroma lain bercampur menjadi satu.  Seketika terasa mual, isi perutku terasa meronta-ronta mencium aroma tidak sedap, aku berusaha sekuat tenaga menahan agar isi perutku tak keluar.
      Dengan langkah canggung aku mengikuti langkah Nisa.  Berberapa pengunjung tampak menyapanya, sesekali mereka saling mencium pipi.  Tampaknya Nisa sudah terbiasa dengan tempat seperti ini.  Tubuhku tidak luput dari colekan tangan-tangan pria jahil.  Aku berusaha mencoba untuk menghindar, meski beberapa  diantara tantang-tangan itu  tak mampu aku menepisnya.Â
      "Tuhan, maafkan aku.  Bukan aku yang menginginkan ada di tempat ini."  Gumamku lirih sembari sejenak memejamkan mata.
      Seorang pria berkulit gelap, dengan postur tubuh tinggi besar menghampiri kami.  Tanpa rasa canggung mereka saling mencium pipi di depan mataku.