Mohon tunggu...
Nurlina (Tinta Ungu)
Nurlina (Tinta Ungu) Mohon Tunggu... Guru - Guru

Selain aktif sebagai tenaga pengajar juga aktif menulis pada beberpa platform menulis digital. Telah menerbitkan 3 buah buku antologi cerpen dan 1 buah buku kumpulan cerpen solo.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Part 3 Tergilas Roda Kehidupan Kota Metropolitan

23 Agustus 2023   18:05 Diperbarui: 23 Agustus 2023   18:10 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Del, ikut ayu yuk!"

"Kemana Nis?" Tanyaku sembari mengucek mata yang masih terasa ngantuk.

"Udah, ikut aja.  Sana, bersih-bersih dulu.  Oh iya, itu kostum kayaknya cocok untukmu, pakailah itu!" Ucap Nisa sembari menunjuk satu stel kostum yang tergeletak di sampingku. 

"Nis, nggak ah.  Aku pasti akan merasa risih dengan kostum ini." Ucapku sembari mengangkat kostum pemberian Nisa.

"Iya udah terserah.  Aku tunggu di luar, 15 menit lagi kita berangkat!" Ucap Nisa, lalu berbalik badan dan meninggalkan aku.

Aku berdiri di depan cermin, lama aku menatap wajahku sendiri.  Sepintas wajahku cukuplah menarik, dengan lesung pipi yang menghias di kedua pipi.   Dulu, semasa di kampung wajahku jauh lebih menarik di banding Nisa.  Namun, sekarang wajahku tidaklah apa-apanya di banding wajah Nisa.  Sangat tidak pantas untuk aku diperbandingkan dengannya.  Mungkin setelah aku hidup lama di peratauan, wajahku akan lebih menarik dari Nisa.  

"Duh, pikiran macam apa ini.  Del, kamu ada di sini hanya untuk menuntut ilmu.  Tidak dengan tujuan lain.  Ingatlah, kamu bukan terlahir sebagai anak sultan, kamu hanyalah anak pedesaan yang kebetulan mendapat kesempatan untuk menuntut ilmu di kota ini.  Pergunakan kesempatan itu sebaik mungkin."  Gumamku dalam hati, sembari meyakinkan diri aku akan sanggup menaklukan kota metropolitan.

"Hei Del, ngapain melamun.  Hayuuuk!" Suara Nisa menganggetkanku.

"Eeeeeh, iya Del. Maaf." Ucapku sembari bergegas menyusul langkah Nisa.

Kali ini Nisa tidak menggunakan mobil mobil mewahnya, tetapi dengan menggunakan transportasi online.  Kendaraan terus melaju di atasa aspal ibukota, sepanjang perjalanan gemerlap kota terlihat begitu menyilaukan mata.  

"Nis, kita mau ke mana sih?" Tanyaku memecah kesunyian sembari menatap Nisa yang masih sibuk dengan.

"Ud......" Kalimat Nisa terhenti, handphonenya berdering ketika belum sempat menjawab pertanyaanku.

"Ya, halooo."

            "Nis,  lagi di mana?" Terdengar suara di seberang sana.

            "Lagi jalan dengan Adel."

            "Oh iya, mungkin  besok aku udah balik.  Penyelesaian proyek lebih cepat dari perencanaan awal."

            "Oh iya? Asyik dong, Nisa nggak kesepian lagi." Ujar Nisa sembari tertawa lebar.

            "Iya, Sayang.  Udah ya, baik-baik di sana.  Salam sama teman kamu."

            "Okey Sayang.  I love you." Jawab Nisa sembari menutup teleponnya.

            "Nis, yang menelpon tadi itu siapa?" Tanyaku memberanikan diri.

            "Namanya Mas Pras."

            "Pras? Dia siapa kamu?"

            "Suami."

            "Haaah, suami?"

            "Iya, kenapa? Kaget yah?"

            "Nis, kamu sedang tidak sedang bercanda kan?" Ucapku sembari menatap dalam wajah Nisa dan memegang bahu kirinya.

            "Ya nggak lah.  Hidup di kota besar kayak gini, modalnya cukup keberanian aja Del, wajah cantik itu persoalan kedua." Ujar Nisa sembari terkekeh sambil mencolek pipiku.

            Aku menyandarkan bahu pada jok mobil,  mencoba mencubit pipi dan benar saja, aku tidak sedang bermimpi.

            "Del udahlah, nanti juga akan paham semuanya kok."

            "Nis, kita sebenarnya mau ke mana? Tanyaku mulai cemas.

            "Ikut aja Del.  Bentar lagi kita nyampai."

            "Nis, kamu tidak ngapa-ngapain aku kan? Aku aman bersamamu kan?

            "Aman Del, kamu mau kehidupan yang penuh dengan limpangan kemewahan seperti aku kan?

            Aku menggeleng kepala sembari berkata, "Nggak Nis, bermimpi hidup dengan limpahan kemewahan sepertimupun rasanya  aku tak berani.  Jujur, aku justru khawatir dengan kehidupan kamu sekarang, perubahan yang terjadi pada dirimu begitu besar.

            "Ah, itu kata kamu sekarang.  Entah esok, dan aku mau lihat seberapa besar kamu sanggup bertahan dengan prisip kampunganmu itu," Ucap Nisa, disusul kemudian terkekeh-kekeh seolah sedang mengejekku. 

            "Nis...."

Next Part 4

Sumber Gambar 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun