Adakah arsitektur Indonesia yang “sebenarnya”? Pertanyaan ini terus menggelinding dalam debat-debat panjang arsitek di Indonesia, namun hingga kini masih juga tak terjawab. Begitu banyaknya sejarah tradisi arsitektur di Indonesia memperumit pencarian identitas arsitektur Indonesia sesungguhnya. Arsitektur Indonesia tidak hanya dipengaruhi tradisi vernakular Indonesia yang berkembang sejak zaman pramodern, namun juga oleh tradisi Islam, Cina, Hindu, dan kolonial atau indis yang kemudian dibawa para pendatang ke Indonesia.
Terdiri dari sekumpulan esai arsitektur di Indonesia, buku ini, Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur di Indonesia, hendak mengupas keanekaragaman arsitektur yang ada di Indonesia. Isi buku ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, merupakan 12 esai yang dihasilkan dari lokakarya di Leiden dan Rotterdam, Negeri Belanda, tanggal 12-14 Desember 2005. Dan bagian kedua berisikan foto dan gambar arsitektur indis di Indonesia koleksi NAI (Netherlands Architecture Insitute).
Makna
…”setiap lukisan atau pahatan, atau objek seni rupa mana pun yang menggunakan simbol, atau dengan kata lain memiliki ‘makna’, akan selalu terlihat seperti teka-teki bagi mereka yang tidak memahaminya; hanya karya seni realistis sederhana saja yang tidak terlihat seperti teka-teki.” (Surat Henry Th. Karsten kepada Pangeran Mangkunegara VII).
Arsitektur memiliki makna keindahan. Keindahan yang terpancar pada wajah bangunan dan juga pada penataan ruangnya. Namun, pemaknaan arsitektur tak hanya berhenti pada sisi artistik yang tampak di luarnya. Lebih dari itu, karya arsitektur adalah karya seni nekawajah, yang padanya dibenamkan kisah tentang kekuatan, kekuasaaan, strata ekonomi dan sosial.
Pada zaman pendudukan Belanda, berbagai bangunan dengan langgam arsitektur Empire, indis, dan Nieuwe Bouwen dibangun di Indonesia. Arsitektur ini menggeser arsitektur vernakular Indonesia dan meresap dalam-dalam pada bangunan perkantoran, villa dan rumah tinggal, gereja, toko, dan hotel.
Bangunan pemerintahan dan lembaga-lembaga publik ditandai dengan langgam indis, sementara langgam Nieuwe Bouwen sering dipergunakan untuk bangunan yang berkaitan dengan modal dan ekonomi. Arsitektur membagi dirinya sendiri menjadi beberapa kelompok sosial. Ia telah menjadi sebuah identifikasi etnis, alat politik, dari penguasa negeri (Pratiwo, 2009).
Identitas
Arsitektur terus bergerak menjelajahi ruang dan waktu. Ia berhenti, tenggelam, berubah sesuai zaman tempatnya berada. Tergantung pada siapa yang berkuasa. Tradisi vernakular berjalan, dihapus kekuatan kolonial. Saat Indonesia merdeka, yang kolonial itu berganti, tenggelam pada modernitas yang baru. Semua yang berbau kolonial dihilangkan, dimarginalkan. Seolah sejak awal ia tak pernah ada.
Dalam tulisan berjudul Presiden Soeharto tentang Ha-Na-Ca-Ra-Ka dan sangkan paraning dumadi , Presiden Soeharto mengatakan, “Prinsip hidup nenek moyang kita telah ada sejak sebelum kedatangan Hinduisme, Buddha, sebelum Islam, sebelum Kristen, dan sebelum datangnya ideologi…Maka bila kita ingin mendapatkan kebenaran, kenapa kita harus mencari dalam ideologi lain, entah sosialisme, komunisme, Marxisme, atau bahkan liberalisme dan agama…”
Arsitektur Indonesia pun mengalami penerjemahan kembali. Penerjemahan kepada pemandangan kehidupan nenek moyang. Kehidupan desa. Namun, tanpa disadari, sesungguhnya arsitektur pada zaman Orde Baru mengambil, membawa, arsitektur indis kedalamnya, yang dinamakan dengan arsitektur nasional modern.
Abidin Kusno dalam tulisannya, menyatakan bahwa eksperimen dengan pengambilan kembali arsitektur kolonial merupakan sebuah kategori “Indonesia” yang ditandai dengan heterogenitas yang terbuka dan kebebasan moral. Disini arsitektur kembali menerima pemaknaannya yang baru.
Pada akhirnya, arsitektur “sebenarnya” Indonesia tak dapat dilepaskan dari berbagai pengaruh yang diterimanya sejak zaman pramodern hingga masa sekarang. Buku ini dengan baik mengisahkan perjalanan arsitektur Indonesia tak hanya sebagai rupa ruang dan artistik saja. Arsitektur telah dimaknai dalam perjalanan sejarah kekuasaan dan intrik politik di dalamnya.[]