Mohon tunggu...
Sukma Larastiti
Sukma Larastiti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Perempuan pembaca, petualang, pengamat, dan penulis | Pemilik rumah http://dunialala.com | @slala_la

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kenapa Matematika (Bagian 1)

28 Mei 2013   22:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:53 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: http://blog.p4tkmatematika.org/?p=42

[caption id="" align="alignleft" width="209" caption="sumber: http://blog.p4tkmatematika.org/?p=42"][/caption] Matematika? Banyak orang yang mendengar kata ini lalu merasa tidak nyaman. Bagai memiliki kutu di rambut. Ia ada tapi tidak mudah untuk ditemukan, membuat kulit kepala selalu gatal. Bahkan, ketika kondisi alergi matematika sudah parah, seseorang bisa saja merasa badannya berkeringat dingin, menggigil, dan sesak saat kata tersebut diucapkan (tentu saja efek yang terakhir ini hanya bercanda, tapi barangkali ada yang mengalaminya[?]—haha). Matematika, bagi kebanyakan orang (termasuk saya), barangkali seperti hantu yang siap mengganggu tidur nyenyak setiap malam. Dan itu berlangsung hampir selama 12 tahun lamanya! Menyedihkan. Jujur, sejak awal saya mengenal matematika di kelas dasar saya tidak begitu mengerti dengan apa yang disebut dengan ‘matematika’ itu. Saya masih ingat, saya hanya menikmati masa dimana guru saya sewaktu SD menyuruh saya untuk membawa potongan lidi dan kemudian melakukan perhitungan dengannya. Itu adalah kenangan saya tentang matematika yang saya rasa sampai hari ini masih indah dan membahagiakan. Lidi-lidi itu seolah membawa diri saya kecil menuju dunia ajaib yang berbeda. Keterkejutan-keterkejutan dan rasa penasaran yang nyaman di hati saya. Kemudian, ketika saya menginjak kelas selanjutnya (kelas tiga atau empat? Saya tidak begitu ingat). Saya mulai tidak suka matematika. Saya tidak mengerti kenapa saya harus berhitung dengan pecahan, perkalian, pembagian, penambahan, dan pengurangan. Kenapa? Saya tidak pernah berani menanyakan. Guru hanya berkata kerjakan, kerjakan, kerjakan. Saya takut dipermalukan, ditertawakan, dengan pertanyaan ‘kenapa’ saya. Sementara saya mengerjakan dengan tidak mudah, di mata saya, teman-teman lain mengerjakan matematika dengan mudahnya. Sejak itu saya mulai terhambat di matematika. Saya tergantung di awang-awang dengan tanda tanya. Kenapa? Kegagalan saya bertanya kemudian mengantarkan saya ke kegagalan lainnya. Sampai sekarang. Barangkali, sesungguhnya, saya yang bodoh. Saya hanya bersembunyi di balik ‘kenapa’ untuk tidak mengakui kebodohan saya. Saya bodoh dalam perhitungan matematika. Penyesalan saya, kenapa saya dulu tidak berani mengakui kebodohan saya, sehingga kebodohan itu menjadi bertingkat, semakin tinggi. Tapi saya juga sadar, semakin saya bertumbuh beberapa milimeter, pertanyaan ‘kenapa’ itu turut bertambah tinggi. Semakin menggantung di atas langit. Dan saya tak pernah bisa turun. Kenapa? Akhirnya, setelah dua belas tahun direbus dalam pendidikan sekolah-an, saya melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Nyaris tanpa bisa berbuat apa-apa terhadap keengganan saya untuk menyentuh, berkenalan, dan bercakap dengan matematika. Sialnya, entah kenapa, saya hanya menuruti saran nenek saya untuk mengambil teknik. Tanpa banyak bertanya dan pertimbangan. Dan diterimalah saya di sana. Di dunia yang akrab dengan matematika. Dengan perasaan tidak nyaman, saya mengikuti kuliah kalkulus dan sahabatnya selama tiga semester yang berakhir dengan nilai pas-pasan. Saya hanya bisa bersyukur dalam hati, pertanggungjawaban saya kepada ‘matematika’ tidak terlalu berat. Tapi sungguh dalam hati, matematika adalah ganjalan terbesar dalam hidup saya. Banyak orang bilang matematika itu teka-teki, kuiz. Semua hanya perlu berlatih, berlatih, dan berlatih. Saya tidak percaya. Itu bohong! Apakah matematika ada hanya untuk kuiz semata? Duh, satu kenapa lagi. Sampai hari ini, saya masih bertanya-tanya, kenapa dosen saya dulu memberi tugas untuk menghitung luas kulit bola, dengan diferensial(?) dan integral(?). Kenapa? Simbol  membuat hidup saya semakin sulit. Padahal, hidup sehari-hari saya hanya berurusan dengan penambahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian terutama berhubungan dengan masalah keuangan (satu jawaban untuk tanda tanya saya rupanya). Tidak dengan si  itu. Kenapa matematika? Baca juga di: http://dunialala.com/kenapa-matematika-bagian-1/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun