Pernah lihat iring-iringan pengantar jenazah di Jakarta? Coba perhatikan kalau ada iring-iringan jenazah, kadang-kadang ada satu orang paling depan yang membuka jalan. Biasanya dia naik motor. Dia akan berhenti di lampu merah mengatur jalan, setelah jenazah lewat orang ini akan jalan lagi ke paling depan membuka jalan di lampu merah berikutnya, terus-menerus seperti itu sampai jenazah tiba di pemakaman.
Apa yang dialakukan orang ini setelah sampai di pemakaman? Orang ini akan langsung pulang, tidak ikut menguburkan jenazah. Dia bukan saudara atau keluarga dari orang yang meninggal. Inilah orang-orang yang mewakafkan waktunya untuk mengantarkan jenazah ke pemakaman.
Salah satu orang yang menjadi pelakukanya yang sempat saya ajak ngobrol adalah Pak Iwan.
Dulu, Pak Iwan punya Warung Makan di Ramamangun. Tapi 3 tahun lalu terpaksa Pak Iwan menjual rumah makannya untuk membiayai anaknya kuliah di ITB.
"Dulu saya bisa menyisihkan sebagian penghasilan dari usaha saya untuk infak ke mesjid. Sekarang karena penghasilan saya pas-pasan untuk membiayai hidup dan biaya kuliah anak satu-satunya di Bandung, sulit buat saya untuk menyisihkan uang buat infak. Saya hanya bisa mewakafkan waktu dan tenaga saya. Karena pekerjaan saya kurir, saya berusaha untuk menjadi pengatur jalan setiap ketemu iring-iringan jenazah di jalan sampai ke pemakaman." Begitu Pak Iwan menjelaskan.
"Bukannya penghasilan Pak Iwan pas-pasan? Kok Bapak malah mewakafkan waktu Bapak? Apa gak lebih baik Bapak mencari usaha sampingan untuk menambah penghasilan Bapak?" Tanya saya penasaran.
"Ah, tidak usah. Sudah seperti ini saja saya sangat bersyukur. Saya bahagia bisa menyekolahkan anak  di ITB biarpun pekerjaan saya hanya seorang kurir. Mungkin juga karena pekerjaan sampingan saya mengantar jenazah sehingga Allah SWT memudahkan jalan anak saya bisa kuliah di sana. Kalau saya punya pekerjaan sampingan, belum tentu anak saya diterima di ITB." Pak Iwan menjawab dengan penuh yakin.
"Apakah Bapak tidak takut terlambat mengantar surat atau barang dari kantor ke tujuan gara-gara mengantar jenazah dulu?" Tanya saya lagi.
"Alhamdulillah selama ini tidak pernah terjadi. Yang paling berat malah kalau terjadi hujan. Di mana-mana macet, kadang banjir. Tapi saya banyak sholawat aja, alhamdulillah Allah SWT selalu melindungi dan memudahkan pekerjaan saya." Jawab Pak Iwan lagi.
"Anak dan istri Bapak tahu gak kalau Bapak punya pekerjaan sampingan nganter jenazah?"
Biar Allah SWT saja yang tahu. Saya tidak mau amal saya rusak gara-gara istri atau anak saya tahu. Ini kan urusan saya dengan Allah SWT. Kalau Bapak tidak memperhatikan saya juga tidak akan ada yang tahu pekerjaan saya yang satu ini." Pak Iwan menutup pembicaraan sambil pamitan mau meneruskan perjalanannya.
Sepanjang jalan setelah ngobrol dengan Pak Iwan saya jadi mikir, orang yang tidak punya uang aja bisa berwakaf. Â Apa yang sudah saya wakafkan?
Ndang Sutisna,Â
Duniahalal.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H