Mohon tunggu...
Andrea Abdul
Andrea Abdul Mohon Tunggu... Dosen - Wadah Dialektika

A big passion for Defense studies, and a Consultant of Intelligence and Security Studies, also International Issues.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Sebuah Opini; Terroris - Radikal - Agama

1 Agustus 2012   20:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:20 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selayang Pandang

Konflik global antarumat manusia yang terjadi dalam satu abad ini telah menyadarkan kita, betapa umat manusia telah hidup dalam permusuhan dan pertikaian.  Selalu saja, ada konflik antarumat manusia di seluruh penjuru dunia.  pertikaian antar agama dan paham adalah salah satu instrumen konflik global yang terjadi di muka bumi.  Perang Irak-Iran, Perang Arab-Israel, Perang Teluk, Perang Afghanistan, dan terakhir Peristiwa 11 September dan Tragedi Bali adalah bukti keterkaitan agama dengan konflik politik dunia global.

Sengketa perbatasan, klaim wilayah, pelanggaran zona ekonomi eksklusif dan sebagainya, baik antara negara-negara tetangga maupun antara Indonesia dengan negara tetangga merupakan masalah yang perlu diselesaikan secara “damai”. Meskipun sengketa antara Indonesia dengan Malaysia mengenai kepemilikan pulau-pulau Sipadan dan Ligitan telah diselesaikan (walau menimbulkan banyak masalah di dalam negeri) di Mahkamah Internasional, tetapi tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan muncul sengketa-sengeketa perbatasan atau klaim wilayah dengan negara-negara tetangga lainnya yang dapat menjadi konflik terbuka.

Kondisi ini semakin memperkuat solidaritas agama lintas teritorial negara.  Umat manusia benar-benar diikat oleh keyakinan agama untuk membela saudara-saudara seagama mereka di negara lain, bukan lagi solidaritas kemanusiaan kaum tertindas.  melainkan sudah menjadi isu agama secara global.

Inilah yang selama ini terjadi di negara-negara Muslim (sebuah contoh kasus saja) ketika terjadi benturan dengan sesama Muslim, dan bahkan dengan dunia non-Muslim, Konflik politik berubah menjadi konflik agama oleh karena agama digunakan sebagai basis dukungan politik. Fenomena ini menunjukkan betapa tata dunia yang damai  belum menjadi kesadaran hidup global antar umat beragama.  Impian dunia yang damai seakan sirna oleh ego politik, ekonomi, dan agama umat manusia.  Di sinilah, agama kehilangan makna otentiknya sebagai petunjuk jalan menuju kedamaian.  Sebab, agama sekedar memperkuat makna teologis yang ekslusif dan intoleran.  tetapi yang terjadi adalah radikalisasi umat beragama yang menjurus kepada Terorisme, bukan kulturalisasi yang inklusif dan toleran. Sebelum masuk kedalam topik saya akan mengenalkan dulu apa yang dimaksudkan dengan Teroris dan relasinya dengan kejahatan Transnasional. Selanjutnya sebagai sebuah contoh, saya akan mengambil sebuah kasus "mengapa agama Islam 20 tahun kebelakang di ‘topengkan’ berwajah radikal dan berpaham teror", termasuk fokus bahasan yang menjurus ke radikalisasi dan aksi terror di Indonesia.

Apa itu kejahatan transnasional (antar negara) dan terorisme? Dalam pemahaman dari berbagai sumber maka dapat diambil kesimpulan seperti yang saya sajikan dibawah ini;

TRANSNATIONAL CRIME AND TERRORISM

In all countries the practice of terrorism involves the commission of some criminal acts. The activities of terrorist groups are linked to transnational crime in two distinct ways:

·the terrorist activity is itself a criminal activity and may impact on more than one jurisdiction; and

·the terrorist groups commit other transnational crimes in advancing their objectives.

At its core an international terrorist act is a crime, and thus responses need to be co-coordinated under a robust and principled international legal framework. Focusing on the criminal aspects of terrorism provides governments with the legal mandate to act against terrorist activity by using all appropriate agencies to uphold the rule of law. Improved co-ordination of government resources to combat terrorism is not an argument for the weakening of the separation of coercive powers between agencies of the state. It also recognizes that combating terrorism and transnational crime at times will involve a whole of government approach that may well include the private security industry, non-government groups and the community.

Recent changes in global politics have seen attitudes towards the sponsorship of terrorist type groups by some states shift significantly. The loss of such support for some terrorist groups, and their ongoing need for funds, has seen a closer relationship between terrorist groups and criminal activities develop. Recent probes into terrorist groups show they are engaged in a range of criminal activity for profit, such as the manufacture and international supply of drugs, people smuggling and money laundering. These illicit activities provide funds to support the terrorist organizations in the achievement of their objectives. Further equipment, arms, and potentially even weapons of mass destruction, are known to have been sought by terrorist groups from transnational criminals who operate illegal markets for a range of dangerous commodities.

Persoalan Yang Mencuat

Apakah mungkin Islam sebagai agama khususnya di Indonesia yang 80% penduduknya memeluk agama tersebut, sudah berubah corak dari Islam yang berwajah damai menjadi Islam berwajah teroris?, dan menjadi radikal dikarenakan aspek globalisasi, dengan asumsi bukankah mayoritas masyarakat muslim di Indonesia justru menunjukkan watak yang moderat dan damai?, sehingga hal ini sangat perlu untuk diluruskan. Dimaksudkan agar masyarakat dunia dapat memberikan penilaian positif tentang krisis multi-dimensi di Indonesia, akan banyak berpengaruh terhadap politik dan kehidupan ekonomi-nya walau tidak secara ‘menyeluruh’.

Sebuah Opini

Radikalisme agama dalam sejarahnya selalu menjadi pijakan teologis umat manusia. Meskipun Karl Marx dan Nietzsche berpandangan sinis terhadap agama, akan tetapi agama tidak pernah kehabisan pengikut.  Agama tidak pernah hilang ditelan modernisasi. Ini berbeda dengan tradisi yang bisa musnah dimakan oleh arus deras laju modernisasi. Namun demikian, agama sekarang ini mulai terdesak peranannya oleh rasionalitas manusia modern, yang serba canggih. Karena itulah, tantangan agama di masa modern, adalah semakin berkurangnya peran agama di dalam komunitas masyarakat.

Pada gilirannya, fenomena ini menjadikan pengikut agama mendefinisikan eksistensi agamanya untuk mensikapi modernitas yang serba-rasional dan sekuler. Itu sebabnya, di dalam komunitas agama ada yang frustasi dengan penyingkiran agama oleh proses modernisasi yang rasional dan sekuler.  Munculnya fundamentalisme dan radikalisasi agama adalah bagian dari dialektika yang negatif antara agama dengan modernisasi. Hal ini tampak sekali dari pengalaman umat Islam di beberapa kawasan dunia yang banyak melahirkan radikalisasi akibat serangan bertubi-tubi ‘Barat’ lewat demokrasi, ‘HAM’, dan isu gender ke negara-negara Muslim. Tak pelak lagi, banyak bermunculan sikap penolakan terhadap konsep modern Barat secara radikal akibat tidak tersedianya doktrin agama yang eksplisit (bukan berarti tidak ada) tentang itu.

Karena konsep modern Barat justru mengkritik dan menyerang doktrin agama yang berasal dari Tuhan. Inilah yang menjadikan umat beragama mengalami proses radikalisasi terhadap agamanya dengan karakternya yang keras, agresif, dan militan. Secara psikologis, sikap radikal umat beragama seringkali merupakan ungkapan yang tidak disadari dari sikap kekacauan (chaos) dan ketegangan dalam tubuh agama itu sendiri.

Kecemasan akibat tuntutan sekuler yang sering tak terhindarkan, ketidakpastian dogmatik akibat keragaman interpretasi, serta krisis identitas akibat persaingan sosio-kultural global yang tajam dan sebagainya, mudah memantul secara terselubung dalam bentuk-bentuk fanatisme dan kekerasan religius terhadap pemeluk agama lain (bisa diartikan dengan aksi menyerang/Terror). Yang dianggap musuh itu bisa jadi sebenarnya hanyalah simbol-simbol dari kekacauan (chaos) tanpa bentuk dalam diri mereka sendiri  Dengan demikian, radikalisasi adalah sikap ketidakberdayaan melawan pengaruh luar yang begitu dahsyat tanpa bisa melakukan apresiasi konstruktif. Maka dari itu, radikalisasi ummat seringkali diekspresikan melalui sikap penolakan, pengkafiran, dan kekerasan.  Hal ini tentu saja menunjukkan betapa problem internal ummat untuk berinteraksi dengan kenyataan sosial tidak mampu diselesaikan dengan baik.

Pengalaman Umat Islam Indonesia yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dalam percaturan politik di kawasan Asia Tenggara memiliki peran yang sangat strategis.  Karena itu, Islam di Indonesia dewasa ini memiliki daya tarik yang luar biasa bagi beberapa pengamat sejak lengsernya Orde Baru, dan bahkan sejak Tragedi 11 September, yang telah menajamkan konflik Islam-Barat. Kecenderungan ini sebenarnya lebih disebabkan oleh gejala bangkitnya gerakan Islam di Indonesia yang semakin bercorak radikal.  Secara internal, sikap gerakan Islam yang memperjuangkan syariat Islam menjadi hukum negara dan secara eksternal, bersikap anti-Barat (Amerika Serikat) melalui aksi protes, unjuk rasa, atau demontrasi, telah menjadikan asumsi kelompok di luarnya menyebut sebagai gerakan radikal.

Semenjak kejatuhan Pemerintahan Suharto, kelompok Islam radikal menemukan momentumnya untuk melakukan akselerasi politik secara kultural (ormas Islam) dan struktural (partai Islam).  Peminggiran yang dilakukan rezim penguasa lama tampaknya menjadi semangat untuk melakukan gerakan di saat yang tepat.  Munculnya, FPI, Laskar Jihad Ahluusunah Waljama'ah, Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan lain sebagainya, yang dirancang sebagai gerakan kultural dan maraknya pendirian partai-partai Islam, seperti PUI (Partai Umat Islam), PKU (Partai Kebangkitan Umat), Partai Masyumi Baru, PPP, PSII (Partai Syarikat Islam), PSII 1905 (Partai Syarikat Islam 1905), Masyumi (Partai Politik Islam Masyumi), PBB, PK, PNU (Partai Nahdlatul Ummat) dan PP (Partai Persatuan) sebagai gerakan struktural telah menjadi imajinasi bangkitnya Islam secara lebih tegas.

Dua strategi gerakan ini menjadi penting ketika rezim yang berkuasa memberikan angin kebebasan setelah lama gerakan Islam dipinggirkan secara politik oleh rezim Orde Baru.  Hasilnya, adalah partai-partai Islam (PPP dan PBB) memperjuangkan Piagam Jakarta melalui jalur konstitusional demokrasi (parlemen), sedangkan ormas-ormas Islam radikal memperjuangkan syariat Islam melalui jalur kultural; dakwah Islam dan aksi unjuk rasa, baik ke parlemen maupun ke istana negara.  Kolaborasi ini tampaknya menjadi kekuatan untuk melakukan perubahan secara bertahap di dalam system sosial dan kenegaraan bangsa Indonesia.  Pada gilirannya, atribut, slogan, dan nama-nama Islam begitu ramai diteriakan sebagai bagian dari pentas kekuatan dan pentas perjuangan.

Pergerakan Islam radikal memang sedang merambah ke wilayah-wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim di seluruh dunia.  Indonesia dan Malaysia, yang secara statistik berpenduduk mayoritas Muslim telah mengalami gejala globalisasi Islam radikal.  Realitas ini berhubungan erat dengan perkembangan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abu Bakar Janjalani di Filipina, Laskar Jihad dan Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Ikhwanul Muslimin, dan lain sebagainya di Indonesia, dan Kelompok Mujahidin Malaysia (KMM) sebuah organisasi di bawah payung PAS di Malaysia.  Mereka dianggap telah mengembangkan operasi selama beberapa tahun terakhir, menghimpun dana, melatih milisi, materi dan pengalaman untuk melawan Barat dengan Teror ditujukan pada kepentingan Amerika Serikat, di samping memperjuangkan Islam secara radikal. Karena itu, oleh media Barat, mereka sering disebut kelompok Islam fundamentalis.

Agama Tanpa Konflik

Berpijak pada realitas radikalisasi umat yang begitu kuat, maka sudah saatnya kita berkewajiban mengembalikan pesan otentik agama sebagai wahyu yang kultural.  Hal ini dilakukan agar agama dapat diimplementasikan di dalam dunia yang selalu berubah. Sebab, seringkali agama dimanipulasi untuk mengukuhkan eksistensinya dengan masa lalu tanpa merespons secara kreatif dengan dunia modern.  Padahal, agama yang tidak mengikuti makna konstekstualnya akan kehilangan eksistensi dirinya yang akomodatif terhadap perubahan. Bukanlah, agenda agama-agama sejak awal diwahyukan adalah berdialog dengan problem sosial umat manusia? Karena itulah, mendialogkan agama dengan problem-problem sosial adalah suatu keniscayaan, karena agama tidak lahir dari ruang hampa.  Ketika agama tidak disampaikan melalui budaya, ia akan memicu munculnya ideologisasi "semu" terhadap agama, yakni sikap keberagamaan yang berlebihan dan radikal. Hal ini terjadi karena masyarakat tidak diajari untuk memahami, tetapi meyakini agama. Agama hanya menjadi lambang eksistensi. Ia lahir bukan dari sebuah refleksi kesadaran yang sesungguhnya, melainkan lebih merupakan upaya penguatan (status quo) agama itu sendiri.

Dengan demikian, penghayatan umat terhadap agamanya adalah kunci pokok terjadinya proses radikalisasi. Di sinilah urgensinya meng"kultural"kan agama dalam kehidupan sosial umat manusia agar dapat memahami dan menyadari agamanya sebagai jalan kultural menuju perdamaian.  Jika agama hanya dijadikan instrumen politik, maka agama akan dimanipulasi untuk kepentingan politik yang sifatnya sesaat.  Akankah, agama yang diturunkan oleh Tuhan sebagai jalan hidup manusia menjadi jalan kematian manusia?  Tentu saja tidak!  Manusia ingin hidup bahagia, sejahtera dan damai. Maka, jalan yang ditempuh dalam beragama bukan lagi jalan kekerasan yang merusak, tetapi jalan kedamaian yang membahagiakan.  Inilah sesungguhnya pesan otentik kepada umat manusia.  Karena itu, setiap perbedaan agama bukan menjadi masalah bagi kita sebagai umat beragama, melainkan justru memperkaya pluralitas umat manusia.

Semakin kerasnya kehidupan umat manusia dengan tontonan konflik dan perang yang melibatkan faktor agama, maka para pemuka agama memiliki peranan penting untuk mengambil bagian dalam usaha perdamaian dunia.  Mereka bisa tampil sebagai suatu kekuatan untuk memformulasikan etika global yang diharapkan dapat menunjang kelangsungan perdamaian dunia.  Meminjam komentar Hans Kung, cendekiawan asal Jerman, tidak akan ada suatu tatanan dunia (global system) yang sukses jika tidak dilengkapi dengan etika dunia (global ethic).  Komitmen inilah yang pernah dilakukan para pemuka agama, ketika pada tahun 1993 untuk pertama kalinya dalam sejarah agama-agama, 6500 anggota Majelis Parlemen Agama-agama Dunia bertemu di Chicago, Amerika Serikat, untuk menciptakan (Declaration Toward a Global Ethic), deklarasi menuju tercapainya suatu etika global.

Deklarasi ini sama halnya dengan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan pada tahun 1776 di Amerika Serikat yang merupakan langkah awal menuju kehidupan moral bangsa. Deklarasi etika global ini pun menandai awal dari usaha panjang untuk mengorientasikan penduduk dunia menuju sikap saling pengertian, saling menghargai, dan kerjasama. Deklarasi ini berupaya untuk memadukan serta memberi tekanan kepada persamaan-persamaan yang terdapat dalam ajaran moral agama-agama dunia masa kini.

Belakangan ini tudingan Indonesia sebagai sarang terorisme terus diperbincangkan. Dari bocoran laporan dinas intelijen Amerika Serikat, CIA, yang disebarluaskan majalah terkemuka Time, dijelaskan dalam dokumen yang didasarkan atas pengakuan Umar Al Farouk, seseorang yang diduga sebagai agen tertinggi jaringan Al-Qaeda di Asia Tenggara, menyebutkan keterkaitan organisasi Islam di Indonesia ke dalam jaringan terorisme. Perhatian kita tentunya akan tertuju kepada Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, dan Majelis Mujahidin, yang selama ini dicurigai memiliki keterkaitan dengan jaringan Al-Qaeda.

Apakah mungkin Islam di Indonesia sudah berubah corak dari Islam yang berwajah damai menjadi Islam berwajah teroris? Bukankah mayoritas masyarakat muslim di Indonesia justru menunjukkan watak yang moderat dan damai? Karena itulah, dikatakan adanya indikasi jaringan terorisme internasional, Al-Qaeda, berkeliaran di Indonesia, provokasi yang dilancarkan AS beserta media internasionalnya bisa menjadi bumerang. Paling tidak ada dua akibat yang ditimbulkan dari tudingan Indonesia sebagai sarang teroris. Pertama, jika Islam terus disudutkan, ditekan, dan dicurigai oleh kelompok di luarnya, bukan berarti semakin memperlemah dan menyudutkan gerakan Islam. Justru yang terjadi adalah gerakan Islam menjadi semakin radikal dan siap mati untuk melawan atas nama agama.

Radikalisasi umat Islam akan menemukan bentuknya untuk melakukan perlawanan dan bahkan ini bisa dijadikan momentum untuk menggerakkan umat bersikap radikal. Sejarah telah membuktikan, ketika dahulu di masa rezim Suharto, Islam ditekan secara sporadis sebagai 'ekstrem kanan', tidak menyebabkan gerakan Islam mati dan hancur, malah semakin menunjukkan corak radikal. Itulah yang terjadi pada gerakan radikalisasi Islam dan dijadikan momentum strategis untuk melakukan perlawanan kepada Barat yang selalu memojokkan Islam.

Kelompok Islam yang sudah cukup moderat berubah haluan menjadi radikal melawan kebijakan AS. Kelompok moderat yang sudah susah payah menjelaskan kepada masyarakat internasional bahwa Islam di Indonesia tidak didominasi oleh kelompok radikal menjadi berbalik mengecam provokasi yang menyudutkan Islam. Investasi jangka panjang bagi perkembangan Islam yang semakin moderat menjadi hancur berantakan akibat propaganda sepihak yang dilakukan Amerika Serikat.

Radikalisasi umat tak bisa dibayangkan jika didukung oleh semangat nasionalisme. Hal ini terjadi ketika ada intervensi asing terhadap kedaulatan dalam negeri. Nasionalisme yang dibungkus oleh agama sangat efektif untuk menggerakkan perlawanan terhadap kepentingan asing. Itu sebabnya, radikalisasi bisa timbul di kalangan kaum sekuler yang disulut oleh intervensi asing yang dianggap merecoki urusan dalam negerinya.

Dalam konteks inilah, provokasi menyudutkan Islam bukanlah cara yang tepat untuk memperteguh semangat moderasi di kalangan muslim. Radikalisasi Islam mesti dicairkan secara lebih asli/genuine dan otentik dengan melakukan gerakan dakwah yang menyuguhkan semangat moderasi, toleran, dan damai. Hal ini dilakukan melalui gerakan kultural yang bisa menyadarkan kepada umat bahwa Islam sebagai agama tidak mengajarkan tindakan terorisme.

Potensi konflik yang secara langsung maupun tidak langsung dapat merupakan ancaman bagi Indonesia seperti sengketa perbatasan, klaim wilayah, pelanggaran zona ekonomi eksklusif dan sebagainya, baik antara negara-negara tetangga maupun antara Indonesia dengan negara tetangga adalah merupakan masalah yang perlu diselesaikan secara damai. Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia mengenai kepemilikan pulau-pulau Sipadan dan Ligitan telah diselesaikan di Mahkamah Internasional, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan muncul sengketa-sengeketa perbatasan atau klaim wilayah dengan negara-negara tetangga lainnya yang dapat eskalasi menjadi perang terbuka.

Masalahnya, para elite politik Indonesia selalu menyatakan bahwa ancaman eksternal bagi Republik Indonesia, terutama dalam bentuk penyerangan langsung, “nyaris nihil” (menyedihkan!). Selama bertahun-tahun, doktrin, postur, dan kebijakan pertahanan Indonesia dirancang untuk menghadapi ancaman internal (insurgensi, separatisme, konflik horizontal dan sebagainya). Ini terlihat dari penekanan terhadap kekuatan darat dibandingkan dengan kekuatan laut dan udara selama pemerintahan 2003 - 2008.

Awal abad ke 21 memunculkan suatu fenomena “baru” dalam keamanan dalam negeri yaitu ancaman terorisme internasional, laporan-laporan tentang penerbangan liar pesawat-pesawat tak dikenal yang keluar masuk wilayah udara Indonesia, penyelundupan senjata untuk kelompok-kelompok yang bertikai melalui perairan Indonesia yang sangat luas, tembak menembak dengan pasukan Australia di perbatasan dengan Timor Lorosae, sebenarnya ancaman eksternal adalah suatu kemungkinan yang nyata. Selain ancaman tradisional seperti insurgensi, separatisme dan konflik horizontal,

Pada awalnya serangkaian peristiwa pemboman di beberapa kota di Indonesia sejak tahun 2001 - 2011 diduga dilakukan oleh kelompok teroris lokal, tapi penyelidikan pasca peledakan bom di Bali bulan Oktober 2002 menunjukkan adanya suatu jaringan teroris transnasional yang beroperasi di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Jaringan ini diduga mempunyai kaitan dengan berbagai kelompok teroris di kawasan lain. Ancaman baru ini tentu saja memerlukan penanganan yang serius dan komprehensif. Selain perlu adanya kebijakan pemerintah yang tegas dan tepat, termasuk perundang-undangan dan peraturan hukum yang jelas, diperlukan juga peningkatan kemampuan intelijen serta kemampuan satuan anti terorisme.

Peningkatan profesionalisme sangat terkait dengan kesejahteraan personil, peralatan dan persenjataan serta pendidikan dan pelatihan. Tentu saja semua ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini, rasanya tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk meningkatkan pertahanan dalam waktu dekat. Apalagi masalah pertahanan merupakan isu politik yang cukup sensitif. Sebenarnya, bukan saja pemerintah AS yang melakukan penilaian miring terhadap Islam, tetapi juga para intelektualnya yang bersikap skeptis. Elaine Sciolino, misalnya, pernah menulis artikel di New York Times edisi 21 Januari 1996, dengan tema, “The Red Menace is Gone. But Here's Islam “yang mendorong pembaca untuk memandang Islam sebagai 'ancaman hijau' (the green menace), yakni bahaya terhadap kepentingan Barat. Komentar miring seperti ini terus dilancarkan secara akademik, seperti yang dilakukan Bernad Lewis dan Samuel P Huntington, yang pada gilirannya memunculkan ketegangan emosional antara dunia Islam dan Barat.

Sebuah Kesimpulan

Penilaian seperti inilah (dari komentar – komentar intelektual Barat) yang menciptakan rasa permusuhan yang berlarut-larut di antara kedua belah pihak. Pihak AS mencurigai aksi terorisme dilakukan kelompok radikal di dunia Islam, sebaliknya pihak Islam mencurigai AS dan sekutu-sekutunya ingin menghancurkan Islam dengan melancarkan propaganda yang amat berlebihan. Bahkan, labelisasi Islam sebagai agama teroris telah menggerakkan perlawanan luar biasa dari umat Islam di mana pun. Dalam konteks inilah, provokasi yang dilancarkan AS beserta media internasionalnya bisa menjadi bumerang. Paling tidak ada tiga akibat yang ditimbulkan dari tudingan Indonesia sebagai sarang teroris.

Pertama, Jika Islam terus disudutkan, ditekan, dan dicurigai oleh kelompok di luarnya, bukan berarti semakin memperlemah dan menyudutkan gerakan Islam. Justru yang terjadi adalah gerakan Islam menjadi semakin radikal dan siap mati untuk melawan atas nama agama. Radikalisasi umat Islam akan menemukan bentuknya untuk melakukan perlawanan dan bahkan ini bisa dijadikan momentum untuk menggerakkan umat bersikap radikal.

Kedua, Bukan tidak mungkin, kelompok Islam yang sudah cukup moderat berubah haluan menjadi radikal melawan kebijakan AS. Bukankah ini yang tidak kita inginkan? Kelompok moderat yang sudah susah payah menjelaskan kepada masyarakat internasional bahwa Islam di Indonesia tidak didominasi oleh kelompok radikal menjadi berbalik mengecam provokasi yang menyudutkan Islam. Investasi jangka panjang bagi perkembangan Islam yang semakin moderat menjadi hancur berantakan akibat blunder yang dilakukan AS.

Ketiga, Radikalisasi umat tak bisa dibayangkan jika didukung oleh semangat nasionalisme. Hal ini terjadi ketika ada intervensi asing terhadap kedaulatan dalam negeri. Nasionalisme yang dibungkus oleh agama sangat efektif untuk menggerakkan perlawanan terhadap kepentingan asing. Itu sebabnya, radikalisasi bisa timbul di kalangan kaum sekuler yang disulut oleh intervensi asing yang dianggap merecoki urusan dalam negerinya.

Referensi

1]Yunanto, S.  Security Sector Reform In Indonesia – A Collective Evaluation On Armed Force Of Indonesia. Terrorism and paradigm  12207, 2005.

[2 Anak Agung Banyu Perwita, Dr.  Sistem Pertahanan Dan Keamanan Negara – Mencari Format Komprehensif. Tatanan dalam radikalisme 15288, 2002.

[3] Stiftung, Friedrich Ebert.  Demokrasi Di Asia. Sebuah Benua antara Diktator Dan Demokrasi, Jakarta, February 2003.

[4] Alford, M.W., What Is Terrorist Cell Methodology??(WITCM) at the Age of Globalization, (October 24, 2005) 6-374.

[5] Anthes, G., The Future Islam. Grow, (March 7,2005) 1336

[6] Aron, J., Impact Of Radicalism In Asia Pacific, NATO Security Committee Report, January 2006.

[7] Rollins, Jhon. Sun Wyler, Liana. International Terrorism and Transnational Crime: Security Threats, U.S. Policy, and Considerations for Congress. Congressional Research Service, 7-5700, www.crs.gov, R41004, (March 18, 2010)

[8] Loise, Shelley I. Organized Crime, Terrorism, and Cybercrime. http://www.crime-research.org/articles/Terrorism_Cybercrime/ (diakses Juli 30, 2012. 10.22 WIB)

[9] Terrorism, and Organized Crime. http://traccc.gmu.edu/topics/terrorism-and-organized-crime/ (diakses Juli 30, 2012. 12.45 WIB)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun