Masih hangat dipikiran kita saat ini ketika berbicara tentang tambang. Mulai dari penolakan penduduk Sidoarjo terhadap pengeboran gas lanjutan yang dilakukan Lapindo, penolakan pendirian pabrik Semen di Rembang padahal ijin sudah disetujui, kisah Salim Kancil di Lumajang hingga sekelumit keresahan Dahlan Iskan tentang posisi serba salah pemerintah ketika akan membeli saham PT Freeport. Sikap traumatik warga direspon secara nasional melalui blow up media hingga menimbulkan kesan domino terhadap kehidupan tambang. Maka munculah prasangka miring dan nyinyir terhadap semua aktifitas pertambangan.
Potensi konflik diatas seyogyanya dikelola dengan baik oleh seluruh komponen. Pemerintah mempunyai tanggung jawab utama. Pemerintah menjadi nahkoda negara harus dapat mempertemukan peerusahaan, masyarakat, dan media agar tercipta kesepahaman. Kesepahaman ini yang nantinya menjadi modal membangun negara sesuai amanat konstitusi yakni untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 2 UUD 1945).
Mencermati makna kemakmuran di era ini rata-rata orang akan membayangkan harta berlimpah, fasilitas serba modern, dan segalanya yang mengarah pada imajinasi kehidupan kota. Jika hanya imajinasi ini yang ada di dalam pikiran kita, kita telah menjadi masyarakat materialis yang memuja kefanaan. Loh?
Mengapa saya sebut kefanaan? Sesuai lokasi geografis Indonesia berada pada jajaran gunung api dan persimpangan kerak bumi. Lazimnya Indonesia disebut Ring of Fire. Masih ingatkah dengan Tsunami Aceh, letusan Merapi, Kelud, dan Gempa Tahunan? Kalau menengok lebih jauh ingatkah dengan letusan Tambora pada 1815 selama 3 hari 2 malam yang meluluhlantahkan perdaban Bima dan menggelapkan Eropa? Kronik lokal mencatat :
“...tatkala itulah di Tanah Bima datanglah takdir Allah melakukan kodrat dan iradat atas hamba-Nya. Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, kemudian maka berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang, kemudian maka turunlah kersik batu dan abu seperti di tuang, lamanya tiga hari dua malam... Setelah itu maka teranglah hari, maka melihat rumah dan tanaman sudah rusak semuanya. Demikianlah adanya itu, yaitu pecah gunung Tambora menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat...” (Bo’ Sangaji Kal, naskah 87)
Meskipun mematikan, bencana memiliki nilai positif. Pasca bencana itu membawa angin segar bagi kehidupan baru. Tanah yang subur, munculnya spesies tumbuhan dan hewan baru, hingga terkuaknya berbagai biji logam ke permukaan tanah. Akhirnya manusia tergiur dan kembali mengeksploitasi alam secara serakah kemudian berakhir bencana. Siklus ini akan terus berulang dalam deretan waktu yang tidak bisa ditentukan. Alam telah memiliki mekanisme tersendiri untuk memulihkan dirinya (Einstein).
Nah, melihat kondisi diatas lantas apakah kita hanya diam tidak memanfaatkan (mengeksploitasi) anugrah yang telah Tuhan berikan? Tentu tidak. Pemenuhan kebutuhan manusia diera modern amatlah kompleks. Berkali-kali sejarah telah memberi rambu atas kesalahan yang pernah dilakukan orang sebelum kita. Tapi seberapa dalam kita mempelajarinya? Atau jangan-jangan kita malah belum menemukan khasanah itu?
Akhir-akhir ini dunia akademis mulai menggali kembali khasanah sejarah teknologi nenek moyang kita. Setidaknya kelompok ini mulai diinisiasi oleh Pusat Studi Kebumian dan Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Mereka mulai mengadakan penelitian bagaimana pendahulu kita mengelola alam dengan teknologi canggih. Pada suatu seminar yang bertajuk “Geologi dan Katastrofi Purba” menyimpulkan beberapa poin :
1. Legenda diciptakan ketika orang modern tidak mampu memahami teknologi masa lalu
2. Sejarah bangsa Indonesia tidaklah linier seperti para evolusionis rumuskan, melainkan siklus dari Purba-modern-hancur-purba-modern-hancur dst. Bergerak sesuai sunnatullah siklus bumi
3. Adanya indikasi pemakaian pembangkit energi besar masa lalu sebagai pemicu energi kecil yang disebut “Gaduliung” di bekas lokasi kerajaan Majapahit
4. Bangsa kita tidak perlu kembali ke titik nol (purba) setelah mengalami masa hancur dengan syarat bangkit kembali mempelajari artefak yang ditinggalkan pendahulu.
Lantas apa hubungannya dengan keberlangsungan CSR pertambangan?
Selama ini program CSR erat kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi penduduk sekitar, pembangunan insfrastruktur, pemberian dana bantuan, hingga pemajuan bidang pendidikan. Seperti penulis amati dalam laporan peserta bootcamp sebelumnya bahwa PT Newmont Nusa Tenggara tengah mengelola berbagai pemberdayaan masyarakat diantaranya Coconet, pembangunan gedung sekolah, pemberian beasiswa, hingga pembangunan insfrastruktur fisik jalan. Program bootcamp ini sebagai salah satu bentuk CSR edukasi PT Newmont Nusa Tenggara kepada masyarakat luas untuk melihat langsung proses sustainable mining.
Jika kita gambarkan, komunikasi CSR berlangsung dua arah dengan dominasi. Seolah-olah perusahaan sebagai agen sah penggerak dan penentu ekonomi masyarakat sekitar. Dalam bahasa lain masyarakat telah ditaklukan oleh perusahaan. Takluk dapat dikatakan ketidakberdayaan seseorang atau kelompok terhadap kekuasaan yang mendominasi. Perasaan tidak berdaya ini menimbulakan dampak ketergantungan masyarakat pada perusahaan. Masyarakat sebagai objek yang harus didekte dan diajari bagaimana bisa survive hidup di sekitar tambang. Perusahaan telah berperan mengajarkan dan menghantarkan masyarakat menuju perdaban yang lebih baik.
Namun, bagaimana logika itu kita balik. Sejauh mana masyarakat mengajarkan kepada perusahaan tentang khasanah lokal yang telah terbangun? Atau dalam kata lain, sudahkah perusahaan belajar dari sejarah masyarakat disana?
Tentu sejauh ini penulis belum menemukan apa yang telah perusahaan pelajari dari masyarakat.
Mari sejenak kita melihat kembali program CSR yang ditawarkan. Di website resmi www.ptnnt.co.id ada beberapa poin yang digaris bawahi dalam pengembangan program CSR yakni bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Pada poin ketiga, makna budaya sering direduksi oleh awam sebagai seni inderawi seperti tari-tarian, musik tradisional, makanan, rumah adat, pakaian dan bentuk budaya materiil. Kesalahpahaman ini timbul karena ketercerabutan nilai subtantif yang ada dibalik ritus-ritus tersebut. Maka tidak salah jika PT Newmont Nusa Tenggara dinilai telah mampu mengcounter segala nafas kehidupan tak terkecuali budaya dengan mendirikan pusat kesenian rakyat. Alih-alih sebagai pemberian wadah pemerhati seni, namun ada upaya jelas untuk meningkatkan pariwisata demi pemasukan daerah. Motif ekonomi lagi yang muncul.
Apresiasi CSR terhadap budaya seyogyanya tidak semata karena Pariwisata. Budaya merupakan cara masyarakat untuk melakukan kehidupan. Ini yang perlu dicari dan dikelola dengan baik. Karena didalam budaya tersebut terdapat sistem nilai yang luar biasa. Sistem itu menggerakkan identitas kulutural, aktivitas spiritual, dan praktek-praktek sosial yang menyimpan artefak-artefak pendahulu. Pada artefak inilah kita belajar ajaran pendahulu.
Ke arah harmonisasi
Selama ini penilaian sesorang terhadap pertambangan banyak timbul dari prasangka. Prasangka yang timbul akibat bentukan media dan jarak komunikasi. Prasangka perusahaan untuk membangun CSR dalam masyarakat masih sebatas melihat budaya materiil. Prasangka masyarakat sekitar yang beranggapan bahwa keadaan kemiskinan akibat pertambangan. Untuk menolong kemiskinan tersebut masyarakat senantiasa menuntut perusahaan.
Prasangka dapat didialogkan dengan tidak mengambil jarak komunikasi. Artinya komunikasi seyogyanya dilakukan dua arah tanpa saling mendominasi. Perasaan saling membuka diri untuk belajar. Demikian nanti akan timbul kesepahaman. Kesepahaman yang dibangun akan menciptakan kondisi perasaan saling memiliki dan menjaga. Jika ini dipenuhi maka akan tercipta sebuah peradaban yang maju. Maju tidak hanya dalam arti fisik material, namun juga tatanan nilai luhur bangsa dapat tercounter dengan baik.
Inilah harmonisasi yang diharapakan.
Semoga!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI