Mohon tunggu...
Duhita Dundewi
Duhita Dundewi Mohon Tunggu... -

nothing special

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bonus Demografi Kuantitatif vs. Kualitatif

5 Oktober 2018   03:01 Diperbarui: 5 Oktober 2018   03:08 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada 2030 -- 2040, Indonesia akan kelimpahan bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (15 -- 64 tahun) lebih besar dari penduduk berumur di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun, yakni 64 persen dari total 297 juta jiwa. Ini adalah prediksi kuantitatif di mana optimisme pemerintah disebarkan seluas-luasnya agar menjadi optimisme publik. Kebanyakan orang kemudian membayangkan satu dekade lagi Indonesia akan maju melesat seperti Jepang , China, dan Korea Selatan sejak dekade 1990-an sampai sekarang.

Bonus demografi Indonesia yang berdengung hampir dua puluh tahun ini menempatkan generasi milenial jadi perhatian banyak pihak. Prilaku dan preferensi mereka jadi bidang kajian dan penelitian, menjadi faktor yang diperhitungkan dalam perumusuan kebijakan publik, kampanye politik, dan strategi pemasaran produk dan jasa perusahaan besar maupun kecil. Bonus demografi Indonesia, tetap dihitung sebagai objek, ladang garapan, bukan subjek pembangunan; menjadi pasar untuk produk dan jasa perusahaan multi nasional, juga penyuplai tenaga kerja murah untuk pekerjaan rendahan di dalam maupun luar negeri. Demografi Indonesia adalah cermin konsumen, bukan produsen dalam percaturan internasional.

Tahun lalu, Indonesia menggelar loka karya internasional karena urusan bonus demografi ini. Di bawah Tema besar: Peer Learning and Knowledge-Sharing Workshop on Skills Development Strategy Formulation (Jakarta, 22-24, Mei 2017), Indonesia ingin menunjukkan kepada dunia sebagai negara yang siap menghadapi ledakan bunus demografi. Apa rekomendasi yang dihasilkan dari perhelatan besar itu? Perbaikan bidang pendidikan, pelatihan, dan penyediaan lapangan kerja, tok!  

Fundamen pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia adalah sumber daya manusianya. Mari kita buka data-datanya.

World Health Organization (WHO) merilis laporan, ada 7, 8 juta dari 23 juta anak Indonesia di bawah umur 5 tahun atau 35 persennya adalah penderita stunting (bertubuh lebih kecil menurut umur). Sebanyak 18,5 persen bahkan terbilang sangat pendek dan 17,1 persen pendek. Ini semua terjadi karena anak-anak dan bayi Indonesia kekurangan gizi bahkan menderita gizi buruk.

Bank Dunia pun merilis laporannya di bawah judul, 'Beban Ganda Malnutrisi di Indonesia'. Disebutkan, 37,2 persen anak Indonesia di bawah usia 5 tahun dalam kondisi stunting (artinya bertubuh kecil menurut umurnya) dan menderita gizi buruk yang kronis. Fakta ini menempatkan Indonesia pada peringkat kelima tertinggi pengidap stunting di dunia. Laporan itu juga menyebut 19,6 persen anak Indonesia di bawah usia 5 tahun (atau setara 4,4 juta) berberat badan rendah sebagai akibat malnutrisi. 'Di Indonesia, Kesadaran publik tentang isu ini sangat rendah,' demikian laporan Bank Dunia.   

Satu dari tiga anak Indonesia mengidap stunting. Berarti sepertiga dari bonus demografi itu sesungguhnya adalah potensi masalah. Penderita stunting, pada usia sekolah, mengalami kesulitan menerima pelajaran. Segala pengetahuan yang mereka terima di ruang kelas, tak diingatnya lagi begitu meninggalkan kelas. Penderita stunting menderita kompleks ketidakpercayaan diri dalam pergaulan sosial. Dan ketika memasuki usia dewasa terancam pula dengan berbagai penyakit akut.

Stunting karena gizi buruk berimplikasi ganda, yaitu mereduksi produktivitas manusia, dan meningkatkan risiko penyakit yang tidak bisa disembuhkan, seperti penyakit jantung dan diabetes di masa tua. Laporan Bank Dunia itu menyebutkan pula, dalam waktu tiga tahun (2015 -- 2017) di Indonesia, terjadi peningkatan penderita stunting dari 35,5 persen menjadi 37,2 persen.

Di mana pemerintah selama ini?

Silakan buka arsip pemberitaan mengenai stunting di Indonesia. Jejak digital terbuka bagi publik. Mesin pencari sudah cukup canggih. Tinggal masukkan kata kunci 'stunting di Indonesia', akan berhamburan informasi mengenai stunting, sebab-akibat, dan pemerintah yang lebih banyak berwacana daripada bertindak nyata. Jangankan ada rumusan dan pelaksanaan kebijakan menyeluruh untuk menyelesaikan masalah serius itu, intervensi parsial saja terlihat setengah-setengah hati.

JANGAN SAMPAI EMAS JADI KARAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun