Mohon tunggu...
Duhita Dundewi
Duhita Dundewi Mohon Tunggu... -

nothing special

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilkada Sumut 2018, Asyiknya Survei Politik tapi Tidak Mendidik

25 Juni 2018   10:49 Diperbarui: 25 Juni 2018   10:53 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, ia bisa menjadi patokan untuk melakukan 'tindak kecurangan' dengan ukuran-ukuran mengikuti hasil survei yang sudah terpublikasi; kedua, hasil penghitungan suara oleh KPU, yang berbeda dengan hasil survei yang sudah dipublikasikan dulu akan memicu kontroversi dan dugaan telah terjadi kecurangan.

Dalam kasus Pilkada Sumut 2018, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA secara konsisten mempublikasikan hasil surveinya dengan prediksi kemenangan untuk pasangan Edy -- Ijeck. 

LSI merilis hasil survei yang mereka lakukan pada 11 -- 15 April 2018. Menurut mereka, elektabilitas pasangan Edy-Ijeck meraih 43,3 persen suara dan Djarot-Sihar 33,3 persen. Menjelang pemungutan suara, LSI kembali merilis hasil survei yang dilakukan pada 8 hingga 12 Juni 2018 dengan menyebut perolehan suara pasangan Edy - Ijeck 45,5 persen, sementara pasangan Djarot -- Sihar 34,7 persen.

Kita wajib waspada dengan rilis hasil survei LSI itu. Publikasinya, selain memiliki muatan propaganda, juga menjadi isyarat bagi kubu yang didukungnya untuk mengeruk suara di kisaran angka-angka yang dirilisnya, dengan cara 'apa saja.' Jika hasil penghitungan suara oleh KPU berbeda, maka rilis hasil survei itu bisa dijadikan sebagai bahan protes yang bisa memicu konflik di Pilkada Sumut 2018.

LSI di Pilkada DKI 2017

Kita perlu mengungkap lagi sepak terjang LSI di Pilkada DKI 2017. Mereka pernah merilis hasil survei Pilkada DKI yang mereka lakukan selama kurun Oktober -- November 2016. Hasilnya melenceng luar biasa. 

Menurut LSI waktu itu, elektabilitas tiga pasangan kandidat dalam Pilkada DKI mengalami perubahan signifikan setelah kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok. Pasangan Ahok dan Djarot elektabilitasnya hanya sebesar 10,6, jauh di bawah Anies-Sandi yang memimpin 31,90 persen dan Agus-Sylvi 30,90 persen. Sisanya, 26,60 persen masuk dalam kategori swing voters atau belum menentukan pilihan.

Pada 4 Maret 2017, KPU memaparkan hasil penghitungan suara tingkat provinsi. Hasilnya, pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylvina Murni memperoleh 937.955 suara atau 17.07 persen. 

Pasangan Ahok-Djarot memperoleh 2.364.577 suara atau 42,99 persen dan pasangan Anies-Sandiaga memperoleh suara 2.197.333 atau 39,95 persen. Akhirnya, pilkada DKI harus dilakukan dua putaran, tanpa pasangan Agus -- Sylvi yang meraih suara paling sedikit.

Silakan hitung sendiri seberapa rendahnya tingkat akurasi hasil survei LSI. Selidik punya selidik, rilis hasil survei itu memang tidak dimaksudkan untuk mengevalusi apalagi prediksi, melainkan sebagai usaha dari salah satu pasangan kandidat untuk mempengaruhi sikap dan pilihan publik. Mereka gagal total, dan sama sekali tidak mendidik publik untuk menjalankan demokrasi secara sehat.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun