Jengkel sih melihat respon-respon Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah dalam debat ke-3 Pilgub Sumut, Selasa (19/6) malam itu. Terutama Edy, pede-nya yang berlebihan tidak ditunjang dengan kemampuan memahami masalah pemerintahan dan pembangunan daerah dengan baik.Â
Edy kerap melantur ketika menjawab pertanyaan dari moderator maupun dari Djarot dan Sihar sebagai lawan debatnya. Edy jelas tidak memahami konsep penegakan hukum dan hak asasi manusia, apalagi hubungannya dengan pemerintahan dan pembangunan daerah Sumut.
Ketika Djarot mempersoalkan parahnya korupsi di Sumut sebagai pelanggaran hukum serius yang dilakukan oleh para pejabat Pemrov dan anggota DPRD, Edy malah bicara soal bantuan sembako bagi orang-orang miskin.Â
Musa alias Ijeck melenceng lebih jauh dengan menyebut soal KTP baru. Djarot memahami bahwa penegakan hukum tidak bisa mengandalkan kesadaran hukum dari para pejabat pemerintah sepenuhnya, melainkan juga harus ada pendekatan sistemik yang bisa mencegah terjadinya korupsi. Korupsi bukan hanya tindak pidana serius, melainkan juga perbuatan yang melanggar hak-hak publik.
Ketidakpahaman Edy akan situasi debat semakin terlihat ketika dia mebicarakan soal perijinan, korupsi, dan e-Budgeting yang diarahkan kepada Djarot. Edy lupa diri dan tidak ingat siapa Djarot. Bagaimanapun Djarotlah yang pernah menjadi gubernur DKI Jakarta.
Kalau saya jadi Pak Djarot, saya akan nasehati Edy Rahmayadi bagaimana cara memahami soal pemerintahan dan pembangunan daerah, atau singkatnya cara jadi gubernur yang baik. Akan saya katakan kepada Edy bahwa masalah perijinan di DKI itu 10 kali lebih besar dari di Sumut, dengan satu atap masalahnya bisa selesai dengan mudah.Â
Saya juga akan katakan, di DKI Jakarta itu masalah korupsi 10 kali lebih besar dari di Sumut, dengan e-Budgeting masalahnya bisa selesai dengan mudah. Memberitahu Djarot soal kedua hal itu sama saja dengan menggarami air laut atau mengajar ikan berenang.
Tapi saya ragu Edy bisa memahami perbandingan itu. Pasalnya, ia tidak punya pengalaman menjalankan pemerintahan dan dan pembangunan daerah sama sekali. Edy, juga Ijeck, kerap berargumentasi tentang daerah asal, padahal baik Edy  maupun Ijeck bukan berasal dari Sumut benar.Â
Edy orang Sabang, Ijeck keturunan Pakistan. Berulang-ulang ia menegaskan soal asal daerah dan tidak menimbang soal perlunya pengalaman yang bersesuaian dengan tantangan pembangunan daerah. Mungkin itu salah satu cara pasangan ini untuk menutupi miskinnya pengalaman dan kompetensi mereka.
Menimbang itu, jika Edy -- Ijeck terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur, sama saja warga Sumut sudah menyerahkan urusan yang sangat penting, sekaligus menyangkut hajat hidup orang banyak, kepada orang yang tidak memiliki pengalaman sama sekali. Sumut yang tengah menghadapi tantangan serius soal korupsi akan sulit mengatasinya.
Sampai di sini kita perlu ingat pesan nabi tentang keharusan menyerahkan segala urusan kepada ahlinya. Dan keahlian tidak bisa didapatkan dengan cara 'ujug-ujug'. Keahlian menyaratkan ketekunan dan kesungguhan pada satu bidang profesi.Â
Profesi militer karir dengan profesi manajer pembangunan dan pemerintahan sipil sangatlah jauh berbeda. Keahlian simetris dengan pengalaman. Edy memang punya pengalaman, tapi bukan pengalaman yang dibutuhkan untuk bisa menjalankan pemerintahan dan pembangunan daerah Sumut dengan baik.Â
Edy masih butuh waktu untuk belajar, sementara Djarot dan Sihar jelas lebih siap memimpin pemerintahan dan pembangunan Sumut 2018 -2023.*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H