Kalau saya penasehat komunikasi Edy Rahmayadi, sejak debat pertama, saya akan ingatkan dia untuk bicara soal-soal yang benar-benar dipahaminya. Jika tidak ada yang dikuasainya menyangkut pemerintahan dan pembangunan daerah, saya akan pilihkan beberapa pokok masalah penting. Saya akan buatkan Kartu Tanya -- Jawab, yang bisa dia bawa ke mana saja, untuk dibacanya pada waktu-waktu luang. Saya juga akan melatih Edy secara intensif bagaimana cara membangun argumentasi yang baik dalam public speaking.Â
Edy perlu memahami retorika dasar, karena yang harus dihadapinya saat kampanye bukan lagi para prajurit dalam pasukannya, melainkan publik. Prajurit satu kesatuan, dalam jumlah sangat banyak sekalipun, mental dan alam pikirnya sama, yaitu siap menerima perintah. Sementara persepsi publik sangatlah beragam.
Tapi bisa jadi, ada penasehat komunikasi yang sudah melakukan itu, namun tidak berhasil meyakinkan Edy. Sang jendral sudah terlalu percaya diri dengan pencapaian karirnya di dunia mliter. 'Saya sudah jadi jendral, kenapa harus mendengarkan nasehat ahli komunikasi?' Mungkin itu yang ada dalam pikirannya. Itu juga yang jadi sebab kenapa tidak ada isi debatnya yang mengacu pada buku visi, misi, dan program kerja yang sudah disusun oleh tim pemenangannya. Dia kerap menyebut kata 'martabat' yang seringkali kehilangan konteks-nya.
Maka jadilah Edy kelihatan lucu dalam tiga kali debat publik yang sudah dilakoninya. Edy tak paham sama sekali dasar-dasar pemerintahan sipil, apalagi konsep-konsep pembangunan. Edy tidak paham bidang-bidang pembangunan, seperti soal pembangunan sumber daya manusia, pembangunan ekonomi, konsep-konsep good and clean government, pemerintahan dan birokrasi, juga soal penegakan hukum dan HAM. Dalam topik debat yang berbeda-beda, Edy mengucapkan hal-hal yang sama. Ketika kehabisan argumentasi, dia kembali pada argumentasi andalannya, dengan menyebut Djarot sebagai orang luar Sumut, dan dirinya adalah orang Sumut. Padahal faktanya Edy sendiri bukan orang Sumut.
Kalau saya jadi Pak Djarot, saya akan ingatkan Edy untuk membuka mata dan pikirannya. Saya akan nasehati Edy untuk belajar dasar-dasar pemerintahan sipil dan pembangunan. Saya tidak akan ragu untuk mengatakannya di muka publik dalam acara debat terbuka. Biar publik tahu sejelas-jelasnya kualitas dan kompetensi calon gubernurnya. Edy tidak layak pilih.Â
Saya akan katakan, masalah perijinan di DKI Jakarta itu 10 kali lebih besar dari di Sumut. Jika saya sudah bisa meneyelesaikan kerumitannya hingga terwujud pola perijinan satu atap di DKI, tentu saja jauh lebih mudah di Sumut. Begitu juga soal korupsi yang sudah sangat akut di Pemprov Sumut, potensinya di DKI jauh lebih besar, tapi dengan prinsip-prinsip good and clean government, korupsi di DKI bisa dicegah.
Edy tidak melihat itu. Wajar. Karena pengalamannya nol di pemerintahan sipil. Ijeck, calon Wagubnya, juga tidak melihat itu, seperti yang diperlihatkannya dalam debat terakhir. Ijeck bahkan lebih parah, menganggap korupsi di Sumut perlu dimengerti, bukannya dicegah atau diberantas. Ini bisa dipahami, karena Ijeck 'diduga' terlibat dalam kasus korupsi yang melibatkan oknum pejabat di Pemprov dan DPRD Sumut, yang menghebohkan itu.
Diam-diam saya bersyukur. Sosok semacam Edy Rahmayadi memang perlu ditampilkan dalam pentas Pilkada. Biar publik bisa melihat, bahwa setiap profesi punya kualifikasinya sendiri. Seseorang yang sukses di satu bidang profesi, belum tentu sukses pada profesi lainnya. Edy Rahmayadi adalah prajurit yang sukses menempuh jenjang karir militer hingga masa pensiunnya sebagai Letnan Jendral. Karir itu tidak didapatnya dari pengalaman perang.Â
Dia hanya mengikuti pendidikan-pendidikan dan latihan-latihan militer. Kalaupun ada satu misi militer, masih terbilang yang minor-minor saja. Dia boleh jadi gapai dalam menguasai wilayah secara terotorial, tapi bisa dipastikan dia tidak menguasai konsep dan medan pembangunan, apalagi pada banyak bidang.
Akhirnya saya perlu mengingatkan, dalam pengalaman demokratisasi di banyak negara, kaum militer lebih sering jadi penentang demokrasi daripada pendukungnya. Militer yang kemudian menjadi demokratis pastilah sangat istimewa. Tapi saya tidak melihat adanya tanda-tanda bakal tumbuhnya gaya kepemimpinan yang demokratis dalam sosok Edy maupun Ijeck. Saya melihat kemampuan dan gaya kepemimpinan yang demokratis dan maju ada dalam sosok Djarot -- Sihar.*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H