Sepanjang hari hingga larut malam, saya menemani kawan lama dari Kabupaten Kotawaringin Barat yang sengaja datang ke Jakarta untuk menemui saya. Selain kangen (terakhir bertemu di penghujung tahun 1998), "Kami juga sedang mengemban misi menyangkut nasib kampung halaman kami," ungkapnya. Saya tersenyum mendengar kata-kata sloganistis itu. Dia belum berubah, selalu bersemangat mengurusi soal-soal di luar urusan diri sendiri. Apalagi jika itu soal politik.
"Sudah setahun lebih daerah kami, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kobar, mengingkari demokrasi dan menghalang-halangi usaha penegakkan hukum," katanya membuka cerita. "Tampuk kepemimpinan dan kendali pemerintahan dalam keadaan status quo. Pemimpin yang telah menciderai demokrasi, dengan melakukan kecurangan dalam Pilkada Kobar 2010, kalah oleh hukum, tapi pemimpin yang dibenarkan dan sudah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi, tidak juga kunjung dilantik. Padahal SK Mendagri, Rekomendari KPU Provinsi Kalteng, bahkan DPR Pusat sudah mendesak dilaksanakannya pelantikan itu. Dan hanya segelintir elit yang menghalangi pelaksanaannya."
Penuturan yang melompat-lompat itu tidak membuat duduk persoalan yang diceritakannya menjadi jelas dalam pikiran saya. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan yang selalu dijawabnya dengan berapi-api barulah sedikit terang.
Pilkada Kobar 5 Juni 2010 hanya diikuti dua pasangan calon, pasangan Ujang-Bambang berhadapan dengan pasangan Sugianto-Eko. Dalam penghitungan akhir, pasangan Ujang-Bambang memeroleh 55.281 suara. Sementara Sugianto-Eko 67.199 suara. Tapi perolehan suara pasangan Sugianto-Eko yang lebih besar itu diraih melaui berbagai praktik kecurangan. Semuanya terbukti ketika sengekta Pilkada Kobar dibawa ke Mahakamah Konstitusi. MK mengeluarkan empat butir putusan setelah mendengarkan 68 saksi dan memeriksa berbagai bukti yang dihadirkan kubu Ujang-Bambang. MK mengeluarkan empat butir putusannya, yakni mengabulkan permohonan pemohon, membatalkan keputusan KPU Kobar soal penetapan hasil perolehan suara sepanjang berkaitan dengan perolehan suara Sugianto-Eko, mendiskualifikasi Sugianto-Eko, dan memerintahkan KPU Kobar untuk menetapkan Ujang-Bambang sebagai bupati dan wakil bupati terpilih. Putusan ini dibuat MK karena MK menilai telah terjadi praktik politik uang secara masif dan terstruktur yang dilakukan pasangan Sugianto-Eko.
"Namun putusan dari lembaga hukum yang begitu terhormat di negeri ini masih melayang di awang-awang dan tak kunjung mengejawantah di bumi Kobar, sejak 7 Juli 2010," kata kawan saya, sambil menatap langit-langit lobi hotel di bilahan Jakarta Pusat.
"Dan apa alasan pemerintahan pusat, dalam hal ini Mendagri, serta gubernur, menunda-nunda pelaksanaan pelantikan?" tanya saya.
"Kabar menyesatkan tentang bakal terjadinya kerusuhan di Kobar, jika pasangan Ujang-Bambang dilantik." Jeda beberapa saat. "Mendagri lebih suka melemparkan keputusan kepada Presiden. Presiden meminta wakil presiden untuk melaksanakan FGD menyangkut soal Kobar. Rekomendasinya keluar, bahwa pasangan Ujang-Bambang memang harus dilantik. Dikembalikan kepada Mendagri. Mendagri meneruskan ke gubernur. Berhenti lagi di sana. Kau tahu alasannya?" tanyanya.
Saya menggeleng.
"Karena pasangan Ujang-Bambang bukanlah bupati dan wakil bupati yang diusung oleh partainya gubernur," tegasnya.
"Soal kerusuhan itu, benarkah bakal terjadi?"
"Tidak mungkin! Kobar bukan sampit. Tidak ada potensi kerusuhan di Kobar. Orang-orang di kubu Ujang-Bambang dan Sugianto-Eko memiliki hubungan saudara yang erat. Bahkan ada banyak pertalian darah." Jeda lagi sejenak. "Dan ini lihat!" katanya sambil memberikan hand phone-nya.