Tapera, Buat Siapa?
Sebenarnya sejak lama aku ingin nuliskan uneg-uneg tentang uang-uang kumpulan yang dikoordinir oleh pemerintah, seperti iuran-iuran dari potongan gaji pegawai negeri, pajak-pajak yang dikutip dari masyarakat, sampai uang pendaftaran haji.
Namun, selalu terkendala dengan sesuatu yang aku sendiri tidak tau apa itu sesuatu. Tapi baiklah, saatnya aku menuliskannya meski acak dan tak beraturan, karena ini sebenarnya tulisan suka-suka, tapi mudah-mudahan ada manfaatnya.
Untuk lebih memahami tentang pengelolaan uang hasil dari memotong gaji pegawai tersebut, dan sekarang merambah ke pegawai swasta dengan judul Tapera, maka perlu aku kemukakan contoh terlebih dahulu, nih, aku ambil contoh saja, di sebuah Perusahaan BUMN termuka yang nggak pernah merugikan pemerintah, malah membuat pemerintah bahagia dengan sumbangan laba besar setiap tahunnya.
Tersebutlah Di BUMN ini ada potongan gaji pegawai untuk jaminan kesehatan di hari tua. Besarnya iuran yang ditanggung oleh pegawainya hanya 0,81% dari upah pokok, dan yang ditanggung oleh Perusahaan sebesar 2,41% setiap bulannya, sehingga total iuran menjadi 3,22% sebulan dari besaran upah pokok.
Dengan upah paling minimal di BUMN tersebut, maka apabila pegawai dengan gaji terendah bekerja selama 35 tahun, maka iuran yang ia berikan sebesar Rp 7.450.281,- dan akan ditambah dengan iuran yang dibantu oleh Perusahaan sebesar Rp 22.350.895,- sehingga total iuran pegawai tersebut selama bekerja 35 tahun adalah Rp 29.801.176,-. Dan jika dikalikan dengan jumlah pegawai di BUMN tersebut yang tak lebih dari 61.000 orang setiap tahunnya, maka total iuran yang diterima setiap tahun hanya berkisar angka Rp 136 milyar sd Rp 150 milyaran saja. Bandingkan yang akan diterima oleh pemerintah dalam satu tahun dari iuran Tapera tersebut yang berkisar antara Rp 197 Triliun sampai Rp 200 Triliun.
Belum menarik?Â
Nih, lanjutannya, manakala kita mengetahui bahwa dari total uang iuran selama 35 tahun, pegawai tersebut terjamin premi asuransi kesehatan setelah pensiun sebesar Rp 8.510.432,-/bulan selama yang bersangkutan masih hidup. Dan tanggungan premi tersebut bertambah lagi jumlahnya jika pegawai ada pasangan, sehingga premi yang harus dibayarkan oleh Perusahaan tersebut sebesar Rp 17.020.864,-/bulan selama tertanggung masih hidup. Bayangkan jika tertanggung bisa mencapai umur 90 tahun, maka total premi yang harus dibayarkan bisa sampai Rp 300 juta/orang.
Lalu bagaimana uang yang hanya sekian juta bisa bertahan lama membayar premi asuransi bagi para pensiunannya?
Singkat cerita, Perusahaan BUMN tersebut mendirikan sebuah Yayasan yang dinamakan Yayasan Pensiun. Yayasan ini menghimpun dan mengelola semua iuran pekerja BUMN tersebut yang orangnya tak lebih dari 61.000 orang. Iuran yang diterima dikembangkan oleh Yayasan tersebut dengan membeli obligasi pemerintah, melakukan trading, membuat anak Perusahaan bisnis yang artinya akan memberikan deviden bagi Yayasan tersebut. Sehingga bukan hanya iuran tersebut yang berkembang, tapi Yayasan pun menjadi berkembang dan berhasil menghimpun asset hingga puluhan triliun dan mendirikan banyak anak Perusahaan.
Nah, jika pemerintah melakukan hal yang demikian, maka seharusnya Tapera dapat dikembalikan ke pengiur saat mereka pensiun nanti melebihi jumlah iuran yang mereka berikan.Â
Oleh sebab itu perlu adanya Lembaga tersendiri yang tidak korup dan yang dapat mengelola uang iuran tersebut sehingga berkembang, berguna dan tidak merugikan pengiur.
Pertanyaannya untuk iuran-iuran yang lain, jika dilakukan dengan pengembangan oleh pemerintah, dikemanakan hasil pengembangannya selama ini?Â
Ini juga termasuk pertanyaan untuk uang pendaftaran ibadah haji yang ruang tunggunya sampai 30 tahun, seharusnya saat pelunasan haji sudah tidak perlu lagi mengeluarkan uang, malah sangat layak dilunasi oleh pemerintah, juga dapat uang sangu selama menjalankan ibada haji.
Menarik bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H