Aku Ardi. Aku lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang sangat bahagia. Aku dan abang semata wayang mendapat kasih sayang orang tua lebih dari kata berlimpah. Semua "kebutuhan" terpenuhi, terlepas dari "keinginan" yang masih dikesampingkan. Â Kala libur kerja, ayah selalu menghabiskan waktu bersama kami, terutama aku -- si bungsu, jika terpaksa pergi keluar rumah ia pasti memboyongku.
Kediaman kami sangat tenang, hidup di Sarolangun -- sebuah kota kabupaten di provinsi Jambi membuat kami bisa memiliki tanah pekarangan luas. Meski rumah sederhana, namun halaman dipenuhi aneka ras tetumbuhan, mulai dari bebungaan hingga pepohonan yang tertata rapi, ayah juga membangun gazebo di belakang rumah, sebagai arena aku bermain bersama abang dan terkadang menjadi tempat berkumpul anak-anak sebaya. Di sudut pagar sebuah kolam ikan hias ber-air mancur yang senantiasa mengalir menjadi daya tarik tersendiri.
Semakin hari, aku semakin besar. Â Aku mulai bergaul keluar rumah, bersama teman sepermainan atau teman sekolah. Kepercayaan diriku boleh dikata cukup tinggi. Mungkin karena aku dikaruniai tuhan ketampanan natural, tubuh proporsional -- imbas dari hobi basket dan renang. Alhasil, aku sering muncul layaknya ketua geng di setiap perkumpulan teman-teman yang kulibati. Dan imbas lainnya, aku selalu tampil ceria penuh kegembiraan dalam kesadaran suka cita.
Pertama kalinya aku mengalami mimpi basah, mimpi bercinta dengan wanita muda yang tidak aku kenal siapa orangnya -- telah menyadarkanku bahwa aku memasuki masa akil baligh. Lalu timbul perasaan-perasaan lain terhadap lawan jenis, apalagi jika melihat paras cantik nan menawan. Aku ingin punya pacar, yang dapat mendengar aku bercerita, yang bisa menemani saat jalan-jalan di keramaian, yang photonya bisa aku simpan di dompet dan ditunjukkan ke teman-teman sebagai tanda aku seorang pejantan.
Suatu ketika, bersama David - teman sekolahku, kami berlibur ke Thailand. Turut serta pula seorang temannya, Lucky, yang sebelumnya aku kenal hanya melalui cerita David. Karena harus berhemat, kami memutuskan menyewa satu kamar hotel saja, dengan tambahan ekstra bed. Awalnya, aku biasa-biasa saja dengan Lucky, karena menurutku sebagai lelaki tidak ada salahnya tidur satu kamar, namun lama-lama aku menjadi risih, Lucky sering mencuri pandang padaku, yang lebih membuatku gerah, secara diam-diam ia merekamku dengan kamera hape, saat aku hendak mandi. Waktu itu aku hanya mengenakan handuk.
Sekeluarnya aku dari kamar mandi, ia kembali merekamku secara sembunyi-sembunyi. Aku tahu itu, karena terlihat dari bayangan cermin. Kuperhatikan matanya tajam memandang, nafasnya turun naik, layaknya orang yang sedang bergelora. Lama ia terpaku, aku pun heran dibuatnya, "ada apa dengan anak ini?" Pikirku.
Aku menegurnya, ia tersentak dan segera menyimpan hape ke balik selimut. Kuminta ia menghapus rekaman itu. Karena biar bagaimanapun, malu jika videoku dilihat oleh orang lain, apalagi di dadaku sedang tumbuh bulu-bulu halus. Untunglah Lucky merasa bersalah  dan takut atas ulah tersebut, lalu aku meminta hapenya dan disaksikan David menghapus video itu. Lucky tak henti-hentinya minta maaf.
Aku sudah memaafkan, tapi setelah kejadian itu aku jadi murung. Apa yang dilakukan Lucky sangat mengganggu pikiranku. Perjalanan menyusuri pantai seperti Sea Sand Sun, U Pattaya, Dor Sahda, Renaissance dan Ocean Marina Yacht Club tidak cukup membuatku gembira full.Â
Meski daerah ini sangat tenang, karena keberadaannya diapit oleh pantai di sisi selatan dan gunung di sisi timur, namun bayangan andai rekaman videoku dengan sehelai handuk beredar luas sangat membuatku tidak nyaman. Meski sudah dihapus, tetap saja jiwaku meradang, hatiku terguncang, emosiku menerjang, marahku menggarang.
Namun demikian, aku tergoda untuk terus melanjutkan pelancongan, terutama saat kami memutuskan pergi ke Coral Island atau Koh Larn, selain penasaran dengan snorkelingnya yang dalam dan karang laut beserta ikan terindahnya, juga aku penasaran ingin menikmati terbang layang yang ditarik oleh speed boat dengan landasan kapal laut yang besar. Aku berusaha melupakan kelakuan Lucky, aku anggap dia orang gila dan aku tidak mengenalnya. Biarlah yang lalu biar berlalu. Toh tidak ada yang rusak pada diriku.
Setelah kembali ke hotel aku sudah tenang, kuanggap tidak pernah terjadi apa-apa. Namun, aku tetap harus hati-hati, kalau mau mandi, atau ganti pakaian kulakukan di kamar mandi. Ketika tidur aku menggunakan celana panjang, padahal biasanya selalu kuganti dengan celana pendek bahkan terkadang hanya bersempak saja. Kejadian itu sangat membekas, meski  tak tahu apa yang dialami oleh Lucky, tapi aku dapat menyimpulkan ada yang salah dengan anak ini. Dan sejak itu aku tak mau bertemu Lucky, meski sesekali ia ikut nimbrung di kelompok kami karena undangan David, tapi aku menganggapnya sudah tidak ada.