Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Batang Asai, Surga Tersembunyi di Sarolangun

12 September 2018   17:20 Diperbarui: 12 September 2018   17:22 1762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negeri Indonesia tak ada kurangnya. Apalagi kalau berbicara pesona alam, tak harus keluar negeri. Indonesia punya semuanya. Hanya saja masih banyak potensi yang perlu digali dan dikelolah dengan maksimal. Namun bagi pecinta alam sejati, pilihan nuansa asri dan orisinil pasti lebih menantang.

Itulah sebabnya, aku dengan sebelas orang lainnya, yang gagal bercita-cita membentuk team kesebelasan sepak bola, yang kini beralih profesi menjadi pencinta alam, lebih memilih tempat-tempat sulit nan terpencil, selain ingin mendapatkan sensasi yang luar biasa dari ke-Maha Agungan Sang Pencipta, juga ingin menunjukkan pada dunia, bahwa Indonesia sangat berpunya segala rupa.

Kali ini kami menuju bumi Sarolangun, yang menurut khabar dari mulut ke mulut, keindahan alamnya tak kalah dengan wilayah lain di Indonesia Raya. Pilihan jatuh pada Sungai Batang Asai, yang berada di wilayah Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Sarolangun, merupakan bumi yang kaya akan tambang padat, seperti batubara, emas, batu koral putih, pasir dan lain-lain.Perjalanan dari Sarolangun menuju Sungai Batang Asai sangat menantang. Ruas jalan yang tanjakkan dan turunannya berkelok menjadi uji nyali tersendiri, baik bagi sopir mobil maupun penumpang di dalamnya. Kami membutuhkan waktu sekitar empat jam tanpa berhenti. 

Setelah melewati Desa Lubuk Resam, mulailah bersapa dengan perkebunan penduduk serta hutan liar. Sesekali menjumpai rumah penduduk yang berjarak cukup jauh antara satu dengan lainnya. Ada juga perkampungan Suku Anak Dalam yang rumahnya sudah dibangun layak oleh pemerintah daerah.

jalan yang dilalui berliku, licin dan menanjak, dok. pribadi
jalan yang dilalui berliku, licin dan menanjak, dok. pribadi
 

Setelah melewati desa  Rantau Panjang perjalanan kian ekstem. Jalanan liar dan menggoda, berlapis tanah  berselimutkan bebatuan di tepi jurang cukup menaikkan adrenaline. Di beberapa titik terdapat longsoran tanah sehingga jalan menyempit dan licin. Belum lagi adanya pohon tumbang yang menghalangi jalan. Tapi perjuangan harus ke puncaknya, kami tak bergeming untuk terus melanjutkan perjalanan hingga tercapai apa yang kami cari.

Tiba di desa Batin Pangambang sudah pukul dua belas malam. Kami bermalam di rumah salah satu penduduk yang sudah kami hubungi terlebih dahulu. Aku sempat berbincang dengan ibu Ratna, pemilik rumah - sebelum tidur. 

Ia tinggal sendirian, karena anak-anaknya sudah merantau ke kota Sarolangun dan Bangko. Ia bercerita bahwa ia mempunyai anak lima, tapi  tiga orang lainnya serta sang suami  sudah menghadap yang esa, karena penyakit yang sama, jantung.

tidur bergelimpangan di rumah penduduk, dok. pribadi
tidur bergelimpangan di rumah penduduk, dok. pribadi
 Menurut Ibu Ratna, penduduk Desa Bathin Pangambang berasal dari suku Jawa Mataram dan beragamakan Islam. Sehari-harinya mereka menyebar di kebun-kebun sehingga desa menjadi sepi. Kebun kopi, karet dan bersawah merupakan sumber pencarian, sebagian bertambang emas secara tradisional. 

Sedangkan berternak dan mencari ikan sekedar untuk makan saja, sehingga habitat ikan di Sungai Batang Asai masih terjaga.  Mereka juga menanam sayur mayur di pinggiran sawah seperuntukkan melengkapi lauk pauk.

nampak dari dataran tinggi, dok. pribadi
nampak dari dataran tinggi, dok. pribadi
dinding sungai yang bebatuan, dok. pribadi
dinding sungai yang bebatuan, dok. pribadi
bercengkrama dengan air, dok. pribadi
bercengkrama dengan air, dok. pribadi
Bahasa Daerah menggunakan Bahasa Melayu, meski logat Jawanya masih kental. Kebanyakkan para remaja setamat SMP melanjutkan sekolah dan kuliah ke kota, alhasil, lulus kuliah tak mau pulang kampung, mereka lebih tertarik bekerja di kota.

Keesokkan pagi, selesai shalat subuh kami bersiap menuju lokasi.  Tujuan pertama adalah Bukit  Seruling, berjalan kaki sekitar 1 jam dari desa Muara Air Dua. Sepanjang jalan kami bertegur sapa dengan penduduk yang lalu lalang, berkulit sawo matang, memanggul cangkul, menyelipkan pisau di pinggang atau mebawa pakaian kotor ke sungai. Dengan senyum sangat ramah, setiap berjumpa pasti menyapa. Begitu mendengar tujuan kita, tanpa diminta mereka menunjukkan arah.

tak kalah dengan bukit lawang sumut, dok. pribadi
tak kalah dengan bukit lawang sumut, dok. pribadi
Sepanjang jalan desa - sudah dicor beton oleh pemerintah, ia mengikuti aliran Sungai Batang Asai. Airnya sangat jernih. Riak air bernyanyi indah di atas dan di sela bebatuan kali. Sungai ini cocok untuk arung jeram. 

Aman bagi anak-anak, karena dangkal dan bebatunya bersahabat. Jika dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin Bukit Lawang di Sumatera Utara akan mendapat saingan berat. 

Bagaimana tidak, sungai ini berdindingkan batu asli buatan tuhan, pohon-pohon yang tumbuh di pinggirannya beraneka rupa dengan bunga beragam warna,  burung-burung siap menyambut pagi dengan nyanyian khas masing-masing jenis. Ikan yang masih aman berkembang biak juga menjadi daya tarik tersendiri. Sementara orang hutan juga sesekali menampakkan diri. Ia keluar dari titik tertentu yang diyakini merupakan area habitatnya.

jalan yang ditempuh, dok. pribadi
jalan yang ditempuh, dok. pribadi
jalan yang ditempuh, dok. pribadi
jalan yang ditempuh, dok. pribadi
bertemu pacet, dok. pribadi
bertemu pacet, dok. pribadi
Perjalanan menuju Bukit Seruling kian menanjak. Kaki lelah. Nafas tersengal. Jantung berdegup kencang. Keringat basah mengguyur seluruh badan. Belum lagi binatang penghisap darah yang sangat mengganggu perjalanan, pacet. 

Terkadang ular mendesis di sela-sela rumput ataupun pepohonan. Sesekali kami harus mengibaskan golok membersihkan jalan dari akar-akaran, rerumputan dan pohon-pohon kecil. Yang tak kalah serunya, manakala kaki harus berpijak pada akar pohon menggantung di tepi jurang. Sungguh, gamang dibuatnya.

jalan di tepi jurang, dok. pribadi
jalan di tepi jurang, dok. pribadi
pendakian yang menantang, dok. pribadi
pendakian yang menantang, dok. pribadi
Begitu tiba di puncak Bukit Seruling, seluruh jerih payah terobati. Hilang begitu saja. Kini, tinggal menikmati keindahan alam ciptaan tuhan. Udara dingin nan sejuk mendekati delapan belas derajat celcius. 

Embun yang menyerupai awan. Pandangan luas menatap ke bawah dan bukit-bukit sekitarnya. Begitu luar biasa, rasa bersyukur atas kesempatan menikmati alam yang tak biasa. Maka, nikmat tuhan manakah lagi yang kau dustai? Lalu, setelah pukul tujuh lewat, awan mulai menghilang dan kami pun beranjak turun. 

negeri di awan, dok. pribadi
negeri di awan, dok. pribadi
negeri awan, dok. pribadi
negeri awan, dok. pribadi
matahari menyembul malu-malu, dok. pribadi
matahari menyembul malu-malu, dok. pribadi
Ibu Ratna sudah menyambut  bersama sehidangan sarapan pagi. Beliau memasak nasi, dengan lauk pauk khas desa. Pucuk ubi disantan sedikit. Gilingan cabe hijau berdampingan dengan tempoyak. Ikan asin berlapis  cabe merah. Telor dadar dan ikan sungai bakar. Lengkaplah sangu perut untuk perjalanan berikutnya.

Kami meneruskan perjalanan menuju air terjun Bukit Berantai, namanya Telun Tujuh, karena ada tujuh jatuhan air. Letaknya lebih jauh. Harus menempuh dua jam lebih jalan kaki, harus mendaki ke puncak yang lebih tinggi, harus melewati dua buah desa  yang letaknya menanjak di kaki bukit. Namun, alam pedesaan yang indah dikelilingi oleh sawah bertingkat dan dihiasi oleh batu-batu besar di persawahan semakin menambah semangat untuk sampai ke tujuan.

Di sini, lagi-lagi kami harus melintasi semak belukar dan hutan belantara yang hanya sesekali terjamah oleh keperkasaan manusia. Kali ini medannya lebih menantang. Selain karena kecuraman tanjakkan, juga licin dan rerumputan tajam-berduri senantiasa mengintai. Kelelahan menjadi momok utama. Meski sudah minum bergelas-gelas mineral, tetap saja nafas tersengal dan tenaga melemah. Dua ratus meter lagi mencapai tujuan, tiga orang anggota kami menyerah. Mereka memutuskan tidak melanjutkan pendakian.

jalan yang ditempuh, dok. pribadi
jalan yang ditempuh, dok. pribadi
Aku memaklumi itu. Terkadang phisik tak sama. Aku pun merasakan apa yang mereka rasakan, namun selalu kuyakini bahwa dengan tekad yang kuat apapun pasti bisa. Meski umur sudah mendekati angka lima puluh satu tahun, tapi semangat yang menyala menjadi tambahan tenaga untuk segera tiba ke tujuan yang telah terencana. Bathinku selalu memompa nyali itu.

Alhamdulillah, pukul dua belas lewat tiga puluh menit, kami tiba di tujuan. Sebuah pemandangan yang langsung mempengaruhi energi jiwa, yang berefek pada geliat tubuh membuat kekuatan kami pulih kembali. Hilang semua rasa lelah, hilang semua rasa lemah, hilang semua kepenatan jiwa dan keletihan akibat digeluti pikiran "kapan sampainya".  Pemandangan di depan matalah penyebab semua itu. Sebuah keagungan tuhan sudah dipertontonkan.

Air terjun yang kencang dan besar. Deras menerjang bebatuan yang berdiri tegak hingga berpuluh meter ke atas. Di sekelilingnya tumbuh anggrek liar dengan bunga warna ungu, kuning dan putih. Aneka spesies keladi  hidup segar mengatur diri sendiri. 

Pohon-pohon menjulang tinggi, sangat memesona pandangan mata. Ada satu jenis pohon yang saya suka sekali memandangnya. Pohon Duren. Kokoh menantang di setiap sudut mata. Bahkan pohon-pohon duren yang kecil bertumbuh rapat di sela bebatuan, pertanda buah duren di sini tak pernah terjamah tangan manusia. Ah, andaikan datang dikala musim duren tiba, mungkin aku tak mau pulang lagi.

air terjun yang eksotik, dok. pribadi
air terjun yang eksotik, dok. pribadi
keelokkannya tak terbantahkan, dok. pribadi
keelokkannya tak terbantahkan, dok. pribadi
indahnya ciptaan tuhan, dok. pribadi
indahnya ciptaan tuhan, dok. pribadi
Tapi apa hendak dikata. Kami berpacu dengan waktu. Jadi kata "pulang" mau tak mau harus dilakukan. Segeralah kami beranjak dari kolam air terjun. Kuucapkan selamat tinggal pada ikan-ikan di sana yang sempat bermain di sela-sela kaki, selamat tinggal juga buat bunga-bunga liar yang tumbuh di bebatuan, tak lupa buat para spesies liar lainnya yang tak bisa disebutkan satu persatu.

Ada pengalaman seram ketika pulang. Tak seberapa jauh langkah kami dari air terjun, terdengar harimau mengaum. Suaranya sangat dekat, sepertinya tengah menghadang jalan. 

Lalu anggota team di depan berbicara kepada harimau tersebut : "permisi nek, mohon maaf kami hanya mau lewat,  kami tidak mengganggu nenek". Lalu terdengar suara auman harimau menjauh, kami lewat meski dengan kaki gemetar dan nafas merintih disertai pori-pori merinding.

pohon durian yang tumbuh liar, dok. pribadi
pohon durian yang tumbuh liar, dok. pribadi
Sesampai di kampung, kami menceritakan kejadian tersebut, menurut penuturan penduduk setempat harimau tersebut adalah penjaga air terjun. Ia hanya menyapa dan tidak mengganggu kalau tidak merasa terganggu. Lalu cerita berkembang, bahwa daerah tersebut berhantu dan jin. Masih ditemukan benda-benda gaib, seperti kemunculan desa lain yang tiba-tiba. 

Banyak orang minta ilmu putih untuk jaga diri, pemanis, pelet, ilmu kebal, silat kemenyan (membakar kemenyan saat latihan), silat harimau (harimau akan datang saat tamat belajar), dan lain-lain. Untungnya saat mendengar cerita tersebut kami akan melakukan perjalanan pulang ke Sarolangun. Andai saja mendengarnya sebelum berangkat, mungkin cerita sudah berubah.

logo kompal, milik kompal
logo kompal, milik kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun