Akulah tikus. Yang hidup dan mencari makan di rumah tuan besar. Aku tidak sendirian, banyak tikus-tikus lain yang menumpang hidup di rumah tuan besar. Bahkan bukan hanya golongan tikus saja, di sana ada  kecoa, kumbang, burung gereja, walet,  hingga kucing yang muncul sesekali.
Suatu ketika tuan besar ingin mengadakan pehelatan untuk memilih penghuni rumah paling populer. Â
Aku, sebagai tikus  senior di rumah tersebut menyambutnya dengan gembira. Apalagi pesta besar  digelar di negeri Kucing, yang selama ini gemanya hanya kudengar lewat cerita saja.
"Aku harus ikut, dan harus menjadi pimpinan rombongan, agar kelak semakin populer dan tuan rumah semakin sayang padaku," pikirku.
Kali ini pilihannya ke kota para Kucing, kota bersahaja tempat segala macam budaya.
Pertemuan ini sangat penting dan menurut para tikus itulah even kebersamaan, maka semua tikus penghuni rumah tuan besar bersorak gembira. Â Mereka antusias menyambut gelaran tahunan tersebut. Mereka ingin memahami kehidupan para kucing yang selalu menjadi momok menakutkan bagi mereka.
Salah satu tikus senior yang sudah malang melintang di rumah tuan besar, bahkan sengaja dipelihara tuan besar untuk selalu meramaikan rumah besar tersebut, seperti  biasanya langsung  mengambil inisiatif menjadi pahlawan. Kalau di dunia manusia, ia sudah dinobatkan menjadi non panitia terbaik, karena tidak terdapat dalam susunan kepanitiaan, tapi aktifnya luar biasa. Ia mengkoordinir tikus-tikus yang ingin menghadiri pertemuan  tersebut, lengkap dengan segala cuit-cuitannya yang tajam.
Mulailah ia kasak-kusuk khas tikus, dibujuknya sang tuan besar untuk menyediakan alat transportasi gratisan, lalu ia sibuk menghubungi tikus-tikus lainnya, bahkan dengan garang ia mendesak para tikus untuk menjawab setiap pesan yang ia sampaikan.
Ia pun menawarkan jasa baiknya dengan mencari motel tempat menginap para tikus kelak. Semua yang mau menginap harus membayar lunas sebelum hari keberangkatan.
Maklumlah, bukan panitia tentu saja tidak mau merugi jikalau ada yang gagal bayar. Lah, panitia di dunia manusia saja maunya cari untung. Apalagi tikus.
Mungkin, kalau manusia yang melaksanakan tidak perlu dituntut lunas sebelum tiba di penginapan, karena manusia lebih bijaksana. Zaman modern  sekarang ini mana ada orang membeli kucing dalam karung. Separah-parah penginapan, biasanya hanya meminta uang jaminan untuk satu malam, sisa malam berikutnya saat chek out. Tapi yah sudahlah, namanya juga dunia para tikus.
Lalu perjalanan pun dimulai. Semua tikus yang sudah mendaftar masuk satu persatu ke dalam gerobak labu, alat transportasi yang disediakan tuan besar. Terdapat satu tikus yang tak berkhabar. Maka beranglah tikus senior yang dengan susah payah mengkoordinir tikus dari seluruh penjuru mata angin. Ia mengeluarkan kata-kata yang memang selayaknya keluar dari mulut  tikus. Apalagi tikus yang biasa bermain dicomberan atau got-got pasar tradisional. Cuit-cuitannya sangat kejam dan tajam tak berperasaan.
Mendengar cuitan edan tersebut, salah satu tikus kecil tersinggung. Ia merasa cuitan tersebut tak pantas, apalagi yang dituju tidak berada di gerobak labu tersebut. Lalu ia layangkan protes, namun protesnya sia-sia, tikus senior lebih berkuasa. Ia merasa dirinya sudah lama besar bersama tuan besar yang memelihara mereka selama ini.
Tikus kecil hanya berharap, saat tiba di motel kelak semua menjadi adem. Semua merasakan kamar tidur yang setara, fasilitas yang sama, ada ac, kamar mandi dan kasur yang empuk karena sumbangan yang diberikan juga tarifnya tak berbeda. Atau mungkin kalaulah harus bergelimpangan di sebuah aula yang luas pun tak mengapa, asalkan semuanya sama.
Namun, harapan tinggal harapan. Si tikus senior tidak mengatur itu, ia hanya mengumpulkan recehan dan memesan motel yang tak jelas juntrungannya. Padahal informasi dapat dicari di dunia maya, semua terpampang jelas baik kondisi maupun harga. Olalala, perbuatan tikus memang tidak sehebat manusia. Ia hanya berpikir satu arah, atau tidak mengarah sama sekali. Karena tikus tetaplah tikus.
Lalu  tikus kecil merasa tak adil, kenapa yang lain dapat kamar yang lengkap, sementara dia hanya berada di kamar sisa yang tak menyuguhkan apa-apa. Protesnya tak digubris. Malah si tikus senior diam dan menghindar tanpa pernah memberikan penjelasan apalagi sekedar basa basi menyampaikan maaf. Memang, meminta maaf tak semudah yang diungkapkan dalam sebuah tulisan. Meminta maaf  perlu keberanian. Yang tentu saja hanya dimiliki oleh manusia, bukan tikus.
Lalu, tikus senior merasa dirinya semakin besar. Ia melihat bayangannya di cermin. Ia bangga sekali. Lama-lama bayangan itu berubah menjadi seekor kucing. Yang semakin besar dan bermata lebar. Ia lupa kalau matanya sudah rabun. Dikibas-kibaskannya ekornya, ia bergoyang. Makin lama makin banyak tikus-tikus memperhatikannya. Mencuit-cuit kepadanya. Memujinya. Bahkan ada yang berbisik di telinganya, bahwa ia sekarang semakin perkasa. Sehingga tikus senior tersebut merasa yakin bahwa dirinya kini adalah seekor kucing.
Saking senangnya tikus senior tersebut mengerat dengan kuat. Ia gigit recehan uang kertas. Ia bawa lari kain serbet berbau ikan asin. Dan ia terus berteriak tentang kejahatan dan kepicikkan tikus kecil yang telah merepotkannya. Keseluruh tikus yang memujinya ia katakan bahwa tikus kecil yang memprotesnya  tak layak masuk dalam gerombolan para tikus. Katanya, itu tikus sok hebat, sok terkenal, sok hidup di dunia kaum high class. Padahal tikus tetaplah tikus.
Semakin hari ia merasa semakin besar kepalanya. Ia berencana ingin menghabisi tikus kecil yang katanya telah mencederai kehebatannya. Yang katanya telah berani memberontak kepemimpinannya. Ia khawatir tikus kecil tersebut akan menggeser kedudukannya di rumah tuan besarnya kelak.
Untuk menguji kehebatannya ia dengan gagahnya memasuki dunia para kucing. ia merasa dirinya sudah menjadi kucing. dikumpulkannya  kucing-kucing liar. Dihasutnya mereka untuk menangkap para tikus. Saat ia sudah berada di tengah-tengah kucing, ia tidak sadar bahwa sesungguhnya bahaya mengintai dirinya sendiri, karena tikus tetaplah tikus. Dan para kucing berpesta pora menghabisi daging tikus senior yang malang itu tanpa menyisakan apa-apa lagi.
Salam Kompal Selalu....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H