Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Barus, Lokasi Masuknya Islam Pertama di Indonesia

13 November 2017   18:11 Diperbarui: 14 November 2017   23:45 7648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keindahan alam Indonesia tak ada habisnya. Setiap daerah punya keunikan tersendiri, sulit dibandingkan satu dengan yang lain, meskipun mungkin bentuk geografis mirip, namun cerita dibaliknya pasti jauh berbeda. Maka hari Sabtu, tanggal 11 Nopember 2017, semangatlah saya terbang dari Bandara Kualanamu Medan ke Sibolga menuju sebuah daerah yang bernama Barus, Tapanuli Tengah. Karena menurut cerita daerah ini adalah tempat pertama kali jejak Islam di Indonesia, sebelum terbentuk kerajaan Samudera Pasai.

Dari Kota Sibolga hanya memakan waktu tak lebih dari dua jam perjalanan darat. Jalan yang dilalui sangat mulus walaupun sebagian masih dalam perbaikan dan pelebaran. Sebelah kanan jalan dihiasi dinding perbukitan atau perkampungan penduduk, sedangkan di sisi kiri jalan disuguhi pemandangan pantai dan hamparan laut lepas dengan pulau-pulau kecil nan indah. Juga terdapat perkampungan nelayan beserta bagan pancang yang berjejer di laut.  Di beberapa desa akan dipenuhi dengan kebun kelapa yang tersusun rapi dan bersih, sebagai ciri khas daerah pantai.

kebun kelapa pinggir pantai, dokumen pribadi
kebun kelapa pinggir pantai, dokumen pribadi
Sesampai di Barus hari sudah malam. Saya ditemani seorang kolega yang memandu perjalanan langsung menuju hotel satu-satunya yang ada di Barus. Hotel kelas melati plus AC dan TV Kabel ini sangat bersih dan asri. Ruangan dan kamar mandi cukup luas, jika di hotel berbintang tarifnya pasti sudah di atas satu juta rupiah, namun di sini, saya hanya merogoh kocek dua ratus ribu rupiah per satu malam.

Makam Mahligai

Keesokkan harinya, mulailah petualangan wisata alam bernuansa religi dilakoni. Target pertama adalah Komplek Makam Mahligai. Sengaja memilih lokasi ini terlebih dahulu, karena tidak begitu tinggi dan masih bisa dicapai dengan mobil. Komplek Makam Mahligai terletak di atas bukit di desa Aek Dakka, Kecamatan Barus,  luasnya sekitar 3 ha. Saat hendak memasuki wilayah pemakaman saya tidak diperbolehkan menggunakan celana pendek dan alas kaki harus dilepas meskipun komplek pemakaman berlapiskan rumput dan jalan setapak bersusunkan batako. Untung saya sudah menyiapkan kain yang dijahit menyerupai celana dan peci yang terselip dalam tas membuat saya tampil bagaikan seorang santri.

tidak diperkenankan celana pendek dan alas kaki harus dilepas, dokumen pribadi
tidak diperkenankan celana pendek dan alas kaki harus dilepas, dokumen pribadi
Di Komplek Makam Mahligai terdapat banyak makam-makam kuno, dengan batu nisan yang terbuat dari batu kali bertuliskan Arab Kuno yang sebagian sudah tidak bisa dibaca lagi. Ada makam Syekh Rukunuddin yang merupakan pendiri istana Mahligai yang terdapat dalam sejarah berdirinya Barus. Lalu makam Al Imam Syekh Khatif, Makam Syekh Muazzam Syah, lalu makam Syekh Zainal Abidin. Karena masih pagi, saya hanya menjumpai satu keluarga peziarah, yang berdoa bersama keluarganya dengan membakar dupa di atas kuburan Syekh Muazzam Syah. Entah apa yang diinginnya, yang jelas saya berharap ia tetap memohonkan permintaannya kepada Allah SWT dengan menjadikan Syekh tersebut hanya sebagai wasilah.

komplek makam mahligai bernisankan batu kali, dokumen pribadi
komplek makam mahligai bernisankan batu kali, dokumen pribadi
bertemu peziarah, dokumen pribadi
bertemu peziarah, dokumen pribadi
Sepagi itu tidak ada penjaga kubur yang bisa memberi penjelasan, hanya beberapa anak-anak kampung sekitar pemakaman yang bermain sambil menjaga alas kaki dan sandal. Mereka tidak bisa bercerita banyak, yang dilakukannya hanya menyuruh melepas alas kaki dan melarang orang yang datang dengan pakaian terbuka. Waktu terus melaju, saya harus meneruskan perjalanan, mengingat lokasi berikutnya akan sangat panjang dan melelahkan.

anak-anak kampung yang bermain di pelataran pemakaman, dokumen pribadi
anak-anak kampung yang bermain di pelataran pemakaman, dokumen pribadi
Makam Papan Tinggi

Makam Papan Tinggi adalah lokasi dimakamkannya Syekh Mahmud  berasal dari Yaman, sebagai orang Islam pertama yang menjejakkan kaki di bumi nusantara. Namanya tertulis di batu nisan yang tinggi dalam Bahasa Arab kuno yang terbuat dari batu alam dengan panjang kuburan sekitar 9 meter. Untuk mencapai makam tersebut saya harus berjalan kaki di tanah datar sekitar 500 meter dari tempat parkir, dilanjutkan dengan menaiki anak tangga yang saya perkirakan tingginya sekitar 300 meter menuju langit. Namun karena tangganya berliku dan sesekali mendatar kemungkinan perjalanan mendaki lebih dari itu.

monumen papan tinggi, dokumen pribadi
monumen papan tinggi, dokumen pribadi
Menaiki anak tangga yang curam dengan mengangkat berat badan 80 kg membuat kaki saya gemetar dan keringat mengucur deras bagaikan diguyur hujan. Pendakian sungguh melelahkan, menurut cerita orang, jumlah anak tangganya ada seribu bilah, itulah tempat tersebut disebut juga "Tangga Seribu". Beberapa kali saya harus berhenti dan meneguk minuman mineral yang dibawa dari bawah. 

Nafas tersengal-sengal, belum lagi rasa ngeri akibat takut ketinggian, untung kiri kanan tangga masih jauh dari jurang dan jurangnya pun ditumbuhi pepohonan serta di tengah-tengah tangga dibuat penyangga dari besi. Sehingga pobia ketinggian berkurang, apalagi saya membulatkan tekad untuk sampai ke puncak bukit tersebut, karena selama ini setiap kali menaiki tangga yang tinggi tak pernah sampai akibat takut pada ketinggian.

menuju anak tangga pertama, dokumen pribadi
menuju anak tangga pertama, dokumen pribadi
Di setengah perjalanan, air minum habis satu botol, saya berhenti sejenak dan membeli air minum lagi pada pedagang yang mendirikan tenda perhentian di situ, harganya lumayan, kalau di "mall sejuta umat" sekitar Rp 3.800,- maka di sini harganya Rp 8.000,-. Tapi semahal apapun air jika sangat dibutuhkan pasti rasa terima kasih menghilangkan kedongkolan akibat harga yang mahal.

keringat mulai mengucur, dokumen pribadi
keringat mulai mengucur, dokumen pribadi
Dengan menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam, sampailah saya ke puncak bukit, sungguh rasa lega yang luar biasa. Di luas dataran tanah sekitar 10 x 10 meter, terdapat sebuah kuburan yang panjangnya sekitar 9 meter dengan ketinggian batu nisan yang terbuat dari batu alam sekitar 1 meter. Sebagaimana makam kuno, di atas tanah perkuburan hanya dihamparkan batu-batu koral kecil. Terdapat tulisan Bahasa Arab di batu nisan yang sudah buram, menurut penjaga makam tulisan tersebut terbaca "Syekh Mahmud".

kuburan syekh mahmud 9m, dokumen pribadi
kuburan syekh mahmud 9m, dokumen pribadi
Luar biasa ciptaan tuhan, di atas bukit ini saya merasakan kebesaran Allah, pemandangan yang indah ke hamparan laut lepas, Samudera Hindia. Pulau-pulau kecil di tengah samudera begitu memesona, Nampak jelas Pulau Mursala dengan air terjunnya yang turun ke laut. Pulau karang yang pantainya dikelilingi oleh hamparan karang laut. Dan pulau-pulau lain yang terlihat berjarak dekat satu dengan lain semakin menambah indahnya pemandangan.

Saat balik badan menghadap ke daratan, saya disuguhi dengan barisan gunung yang tinggi serta kabut yang mengelilinginya pertanda hawa sejuk di sana  sangat kental. Sambil tak henti-henti memuji kebesaran tuhan, saya menggunakan kesempatan membaca Al Fatihah untuk ahli kubur. 

DOKUMENTASI PRIBADI
DOKUMENTASI PRIBADI
Dan lagi-lagi saya menemukan kepercayaan masyarakat yang diluar keyakinanku, yaitu : mereka percaya datang ke sini dengan satu keinginan atau cita-cita dan meniatkannya di hadapan makam, lalu mengikat akar pohon atau dahan dengan plastik yang sebagian besar bekas label minuman mineral. Kelak, jika keinginan mereka terkabul, mereka harus kembali lagi ke sini dan melepaskan ikatan tersebut, jika tidak, maka nikmat yang dia dapat akan hilang kembali.

Tibalah waktunya untuk turun, saya menyempatkan diri berwakaf sebatang pohon yang akan ditanam mengikuti anak tangga dan dilabeli nama pewakaf. Saya tertarik meninggalkan jejak di sini, dengan membawa nama Kompal (Kompasianer Palembang). Perjalanan turun yang membuat kaki gemetar tak hendak pula saya ceritakan, karena itu memang resiko orang yang takut akan ketinggian. Sekian dulu dan semoga bermanfaat.

logo kompal
logo kompal

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun