Keindahan alam Indonesia tak ada habisnya. Setiap daerah punya keunikan tersendiri, sulit dibandingkan satu dengan yang lain, meskipun mungkin bentuk geografis mirip, namun cerita dibaliknya pasti jauh berbeda. Maka hari Sabtu, tanggal 11 Nopember 2017, semangatlah saya terbang dari Bandara Kualanamu Medan ke Sibolga menuju sebuah daerah yang bernama Barus, Tapanuli Tengah. Karena menurut cerita daerah ini adalah tempat pertama kali jejak Islam di Indonesia, sebelum terbentuk kerajaan Samudera Pasai.
Dari Kota Sibolga hanya memakan waktu tak lebih dari dua jam perjalanan darat. Jalan yang dilalui sangat mulus walaupun sebagian masih dalam perbaikan dan pelebaran. Sebelah kanan jalan dihiasi dinding perbukitan atau perkampungan penduduk, sedangkan di sisi kiri jalan disuguhi pemandangan pantai dan hamparan laut lepas dengan pulau-pulau kecil nan indah. Juga terdapat perkampungan nelayan beserta bagan pancang yang berjejer di laut. Â Di beberapa desa akan dipenuhi dengan kebun kelapa yang tersusun rapi dan bersih, sebagai ciri khas daerah pantai.
Makam Mahligai
Keesokkan harinya, mulailah petualangan wisata alam bernuansa religi dilakoni. Target pertama adalah Komplek Makam Mahligai. Sengaja memilih lokasi ini terlebih dahulu, karena tidak begitu tinggi dan masih bisa dicapai dengan mobil. Komplek Makam Mahligai terletak di atas bukit di desa Aek Dakka, Kecamatan Barus, Â luasnya sekitar 3 ha. Saat hendak memasuki wilayah pemakaman saya tidak diperbolehkan menggunakan celana pendek dan alas kaki harus dilepas meskipun komplek pemakaman berlapiskan rumput dan jalan setapak bersusunkan batako. Untung saya sudah menyiapkan kain yang dijahit menyerupai celana dan peci yang terselip dalam tas membuat saya tampil bagaikan seorang santri.
Makam Papan Tinggi adalah lokasi dimakamkannya Syekh Mahmud  berasal dari Yaman, sebagai orang Islam pertama yang menjejakkan kaki di bumi nusantara. Namanya tertulis di batu nisan yang tinggi dalam Bahasa Arab kuno yang terbuat dari batu alam dengan panjang kuburan sekitar 9 meter. Untuk mencapai makam tersebut saya harus berjalan kaki di tanah datar sekitar 500 meter dari tempat parkir, dilanjutkan dengan menaiki anak tangga yang saya perkirakan tingginya sekitar 300 meter menuju langit. Namun karena tangganya berliku dan sesekali mendatar kemungkinan perjalanan mendaki lebih dari itu.
Nafas tersengal-sengal, belum lagi rasa ngeri akibat takut ketinggian, untung kiri kanan tangga masih jauh dari jurang dan jurangnya pun ditumbuhi pepohonan serta di tengah-tengah tangga dibuat penyangga dari besi. Sehingga pobia ketinggian berkurang, apalagi saya membulatkan tekad untuk sampai ke puncak bukit tersebut, karena selama ini setiap kali menaiki tangga yang tinggi tak pernah sampai akibat takut pada ketinggian.