Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Bibir Pantai Anyer

13 April 2016   09:30 Diperbarui: 13 April 2016   10:39 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dokumen pribadi"][/caption]Di bibir pantai

Lunglai sudah cerita kita

Tak mampu kita rangkai kesetiaan

 

Angin mendesir

Merampas tiap aksara

Atas namaku dan namamu

Sirna segala

 

Kepercayaan yang direbut

Ombak menghapus nama yang kita goreskan di atas pasir

 

Dirimu,

Kemana angin membawamu

Dari sisa lara yang kita punya

 

Sungguh segenap luka

Yang kau tanamkan buatku berlari tanpa henti di buru bayangmu

 

Pagi ini aku melangkah lagi ke bibir pantai itu. Kaki-kaki jenjangku berhenti di bongkahan batu karena dihinggapi lelah. Debur ombak di Pantai Anyer mengobarkan tanya pada keringnya hati setelah kehilanganmu. Dulu, aku dan kamu selalu menyampaikan keinginan-keinginan berdua, bahkan keluh kesah pun teruntaikan di sini. Berbicara pada angin, pada laut, pada nyiur yang melambai hingga seisinya dengan pekik nyaring.

“Pergilah!” Katamu dengan suara tercekat.

Aku hanya menunduk lesu, berlalu membawa kata yang tak akan kembali setelah berucap janji suci di bulan Juni lalu. Aku memilih kamu karena aku mencintaimu. Aku memilih kamu karena aku ingin selalu ada untukmu. Tak pernah terbayangkan akan luka yang mengiris senyap setajam bilah belati dari perjalanan kita.

“Aku tak kan kembali di waktu selanjutnya.” Jawabku.

Rinai hujan tak memadamkan bara api yang terus membakar kegetiran. Rembulan badai tak menghalangi rintik hujan yang berterus datang. Aku meninggalkan keping-keping hati yang berserakan dihempaskan pedih cinta yang karam.

“Aku tak pernah berniat selingkuh.” Suaraku bergumam lirih.

Tapi aura Durgandini berkilat tajam menyelam di gelapnya sanubari, yang menenggelamkan kepercayaan manakala seorang lelaki kaya menebar janji manis mengeluarkanku dari kemiskinan yang membelenggu. Ia memangsa humus suburkan radang-radang nestapa yang kamu ciptakan. Kebaikanmu hanya menghasilkan papah berujung derita yang akhirnya mematikan rasaku padamu.

Sebenarnya aku menyadari bahwa cinta ini masih menggelung di lubuk hatiku. Terang membara di relung hidupku, mencerna kepercayaan yang kau berikan waktu demi waktu. Tapi kamu selalu meninggalkanku, sepanjang hari, sepanjang minggu hingga berbulan lamanya.

“Aku harus mengumpulkan uang untuk biaya anak kita kelak.” Katamu memandangku layu.

Katamu, mencari nafkah tak cukup di bibir saja. Mencari nafkah tak bisa di ladang saja. Mencari nafkah tak dapat berdiam di tempat. Mencari nafkah harus pergi keluar sehingga rumah cinta kita tertutup rapat. Dan kamu tak berkabar seakan meminang minggat dari hatiku yang sekarat.

Sejak itu, sebutir waktu yang pernah hinggap di kepingan hidup kita berdua, mulai menceritakan mendung, kabut, bahkan asap tebal yang menghalangi penglihatanku. Paras-paras masa lalu yang pernah kita rajut bersama surga rembulan terang, perlahan meredup di lubuk penantian nan panjang.

Aku mulai merasakan kesepian, terkadang harus melukis malam di terang cahaya rumah-rumah pinggiran bibir Pantai Anyer tempat kita biasa bertemu. Lalu datanglah lelaki itu saat kurobek malam dengan pecah tangis pilu menahan rindu padamu. Ia mampu menaikkan mahkotaku hingga kupersembahkan cinta yang seharusnya hanya untukmu. Ia juga melantunkan tembang-tembang harapan yang dulunya pernah kamu nyanyikan untukku. Ia pun membelah ranting-ranting temaram di hatiku yang menggantungkan dongeng-dongeng pelipur lara milikmu.

“Maafkan aku Kang….” Bibirku tercekat diantara desah berkeringat yang kualirkan di rintik kebencianmu yang siap menghujamku.

Setelah itu, kejadian demi kejadian terus menggeliat menari di sela rintik hujan. Kesepian dan kerinduan akan nafas cinta kita telah menggiringku menyelimuti kelam dengan lentera jahanam. Tak ada kunang-kunang yang menerangi malamku. Tak ada aroma wewangian yang menyerbak mengharumkan penciumanku. Tak ada kata-kata mutiara yang meluruskan pikiranku. Semua terjadi dan berlalu.

Entah, sudah berapa banyak langkah kaki ini menyepak waktu yang bertumpuk pada dosa. Sampai suatu ketika kamu pulang membawa sekeranjang cinta yang sudah usang. Kuceritakan pedih yang melekat pada mendung bergundah bak awan hitam. Kuberdiri lantang mencari mimpi-mimpi yang  terbuang. Kurentangkan lembaran dari sisa guratan waktu yang menggoda kewanitaanku.

Aneh, kamu hanya diam tak terelakkan oleh sikap dewasamu. Kamu tak menyumpahi rembulan yang tak punya malu pada hangat matahari yang mengguyur sekujur hidupku. Kamu tak mengolok kepandiranku yang mengacak benak angan mengambil ruang-ruang nafas yang kau semaikan padaku. Kamu tak hiraukan takdirku yang bersikukuh menyeruak di kisi-kisi waktu abadi berharap kamu membenciku karena memporakporandakan milikmu selama ini.

“Pergilah!” Katamu dengan suara tercekat.

Tersebar tangis pada malam itu yang merajukku pada tergelincirnya janji suci. Debur ombak Pantai Anyer seolah menari mengolok alam pikiranku yang berhiaskan taman-taman gulita tentang percintaan yang ternoda. Aku berkemas, meninggalkan nyanyian hati yang sedari dulu berngiang-ngiang menyenandungkan rindu pada kehidupan abadi. Burung camar telah melesat pergi menaburkan bercak-bercak noda pelantun asmara gaduh.

Aku tak mengira hidupmu menuju redup di senjakala tak bergairah. Di kejauhan saat kuulang memandang kamu ke belakang, kulihat kamu membiarkan gelombang besar Pantai Anyer menelan ragamu tanpa kamu berusaha untuk berlari sekedar menyelamatkan diri. Aku terpukul dengan pekik nyaring berhambur mengejarmu. Tapi sia-sia, kamu lenyap diantara gelombang yang beriak-riak seolah memperolokku yang tak setia pada janji suci.

“Maafkan aku Kang… kamu telah ditakdirkan mengisi ruang hidupku, di dalam hatiku. Tapi aku yang melesat letih menyia-nyiakan bunga mekar oleh matahari surgamu tak kuasa menolak angin sepoi-sepoi penabur redup mata hatiku.”

Aku masih mencintaimu. Tetap mencintaimu. Sampai kapan pun, di sini, di bibir Pantai Anyer ini aku menunggumu kembali pulang dari kepergianmu yang panjang digulung ombak Laut Selatan. Kembalilah Kang. Kembali….

====0000====

#Karya Kolaborasi Prosa dan Puisi: Ay Mahening dan Dues K. Arbain, diikutsertakan dalam event #BulanKolaborasiRTC

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun