Tawa para penonton tak tertahankan. Tak terkecuali aku dan Vera. Merasakan himpitan penonton semakin berjubel, aku mengajak Vera menyingkir ke tembok benteng. Ada banyak orang berjualan makanan khas Palembang, seperti Mpek-mpek, Tekwan, Laksan, Celimpungan, Model, bahkan sampai makanan nasional seperti bakso pun ada.
Aku memesan Tekwan. Rasanya lezat dan pedas, aku bersyukur menemukannya. Tiba-tiba mataku tertuju pada tukang bakso yang tak jauh dari situ. Pikiranku langsung teringat Mas Bejo.
“Tadi aku melihat Mas Bejo dikerumunan, makanya aku menarik tanganmu mencarinya, tapi ia tidak ada.” Aku menjelaskan pada Vera kenapa tadi aku menariknya menyeruak diantara penonton.
“Oh…,” kata Vera.
“Mungkin ia sedang ke Palembang juga Bang.” Lanjutnya lagi.
“Mungkin.” Kataku pendek.
Aku mendekati tukang bakso. Lalu aku bercerita bahwa di kampungku ada juga orang yang berjualan bakso. Aku berharap tukang bakso itu mengenal Mas Bejo. Tapi ternyata harapanku hampa. Aku menunggu kemunculan Mas Bejo di situ, siapa tahu ia tertarik untuk membeli bakso atau menikmati panganan lainnya. Entah kenapa dadaku berdebar tak karuan.
Penjual bakso tersenyum. Senyum yang tak biasa. Aku tak peduli, yang jelas senyum lebarnya telah melumerkan kekakuanku yang mencoba tersenyum bercerita banyak. Pada malam ini, saat ada pertunjukan Dulmuluk, hatiku bergetar. Aku tak sengaja datang, dan tak sengaja pula bertemu Mas Mejo yang akhirnya membebani pikiranku.
Aku percaya pada takdir. Tuhan pasti telah memilihkan jalanku. Tapi aku percaya pula bahwa menghindari takdir untuk mendapatkan takdir lainnya juga disebut takdir. Oleh sebab itu aku hendak mengajak Vera pulang. Jantungku berdebaran menyadari Vera tak Nampak lagi. Tiba-tiba wajahku pucat, seperti orang mati. Air mata jatuh dengan sendirinya dari sudut mataku, aku sangat takut kehilangan Vera. Aku memandangi sekeliling beberapa saat dan tidak menemukan apa-apa kecuali orang berjualan dan berlalu lalang.
Catatan :