Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren – Ternyata Arman?

29 Maret 2016   22:58 Diperbarui: 29 Maret 2016   23:12 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Episode : Ternyata Arman?

Tidak mudah menjadi seorang pelarian. Sebab berkali-kali harus berbohong. Berkali-kali pula bersembunyi di balik nama samaran. Bernegosiasi dengan kebatilan untuk menutupi kebatilan lainnya. Aku, yang saat ini menjadi Faisal, tak pernah menyebutkan nama asliku pada siapa pun.

Pun tak mudah menjadi orang alim. Lantaran riak gelombang kehidupan selalu minta ditentukan. Apakah akan berlanjut atau habis hingga danau mengering.

Namun demikian, menjadi orang lain tidaklah lebih mudah daripada menjadi diri sendiri. Walaupun sebaliknya menjadi diri sendiri juga lebih susah dibandingkan menjadi orang lain.  Ketika jiwa tak seirama dengan raga, ketika perbuatan tak senada dengan hati, ketika itu pula benturan-benturan sebagai manusia tak terpadukan. Orang-orang akan mencibir, juga menjadi perbincangan di warung-warung kopi ataupun di gerobak sayur.

Bertahun-tahun menjalankan kebaikan. Setelah bertahun-tahun keluar dari kebobrokkan. Tetap saja nasibnya serupa. Masih menuai kebencian dan kehinaan. Arman, pemuda yang menjadi pendamping hidup Aisyah, tak henti-hentinya menyelidikiku. Ia selalu curiga dengan setiap gerak gerikku. Bahkan kudengar ia mencari informasi sampai ke Palembang.

Kudengar ia bertambah marah ketika aku menikahi Vera. Aku dibuatnya seperti binatang haram yang dikoarkannya kemana-mana. Aku sudah sering mendengar ejekkan-ejekkan, bahkan langsung dari mulut Arman sendiri. Bukankah dia seorang ustad yang sudah dikader oleh Pak Haji Husin? Bahkan ia menjadi manusia terpuji karena sering mengganti imam shalat hingga mewakili Pak Haji sebagai dai.

Namun dunia mudah terbalik. Suatu ketika aku memergoki Arman terisak. Raganya terhempas terjangan badai prahara rumah tangga. Ia berlari menghindar dari lumpur yang ditamparkan Aisyah ke mukanya. Tangisnya pelan seperti sungai mengalir.

“Aisyah belum bisa mencintaku,” katanya.

“Kau harus bersabar,” nasehatku yang seharusnya kutujukan juga pada diriku sendiri.

“Semua gara-gara kau, Faisal!” Teriak Arman menyalahkanku.

“Arman! Kehidupan kita masih rumit. Kita masih menyulam benang kusut. Tak ada yang mau seperti ini. Aku juga belum mencintai Vera, seperti Kau yang juga belum mencintai Aisyah. Semua sama. Jadi biarkan ia mengalir pada muaranya masing-masing, nanti akan sampai pada waktunya.” Aku meninggikan suara dengan wajah merah padam. Kemarahanku memancing emosiku yang sudah lama terpendam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun