Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[TantanganNovel100HariFC]Cintaku Tertinggal di Pesantren - Mas Bejo

28 Maret 2016   14:25 Diperbarui: 29 Maret 2016   13:44 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Episode : Mas Bejo

Malam semakin larut. Angin dingin menium mencekam. Tulangku terasa ditusuk. Kubuka kelopak mataku. Sayup-sayup terdengar orang berbisik. Hujan menetes perlahan. Burung malam telah usai berkisah dalam nyanyian. Di sudut ruangan  Vera terpekur. Matanya memejam dengan tangan merentangkan doa. Tetes demi tetes air mata itu mengalir.

“Ya Allah, aku mencintai suamiku. Aku mencintainya karena-Mu. Berilah hamba waktu lagi untuk mengabdi kepadanya. Aku telah melupakan kepedihan yang diperbuatnya padaku. Aku telah melupakan dosa-dosa yang ia lakukan. Aku sudah memaafkan segala kehinaan yang menderaku karenanya.” Vera mulai terisak.

“Kalau keikhlasnku ini Engkau hitung sebagai amal ibadahku, yang akan Engkau ganjarkan di sorga-Mu kelak, maka aku mohon, tunjukkanlah pahala itu untuk mengabulkan permohonanku saat ini. Panjangkanlah umur suamiku Ya Allah, berilah ia kesempatan untuk menatap anak yang ada dalam kandunganku ini….” Kulihat badannya berguncang hebat.

Lalu Vera tersungkur. Isaknya semakin menjadi. Sajadah basah tergenang air mata. Aku perlahan memiringkan tubuhku. Tanganku menggapai besi pembatas tempat tidur. Ingin sekali memeluknya. Mendekapnya, sekedar memberikan rasa nyaman, bahwa aku selalu ada melindunginya.

“Vera….” Aku memanggilnya serak hampir tak kedengaran.

Benar saja. Ia tetap bergeming. Suaraku tak sampai ke telinganya. Atau karena pikirannya yang melayang jauh, membuat ia tak mendengar yang ada di sekitarnya.

Aku meraih sendok yang terletak di lemari obat samping tempat tidurku. Kujatuhkan sendok itu. Bunyinya membuat Vera tersentak. Lalu ia berlari ke arahku. Tak henti-hentinya ia memeluk dan menciumku penuh keharuan. Kegembiraan hatinya ia perlihatkan dengan senyum penuh rasa syukur.

“Abang sudah siuman….” Katanya dengan mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke wajahku.

“Alhamdulillah Ya Allah, Engkau telah mengabulkan doa-doaku….” Lanjutnya lagi.

Ia kembali menangis dan memelukku sesegukkan. Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya. Aku juga tak bisa berkata apa-apa. Seluruh jiwa ragaku lemah dan lemas. Hanya semangatku untuk tetap hiduplah yang membuat aku bisa menggerakkan tangan membelai pundaknya.

Menurut Vera, aku sudah seminggu tergeletak di rumah sakit. Aku pingsan tanpa pernah sekalipun tersadarkan. Hanya keajaiban dan kehendak Allah jualah harapan untuk melihatku hidup kembali. Dokter sudah menyerah. Bahkan mereka sudah menyarankan agar aku dibawa pulang saja.

Tapi Vera tidak menyerah. Ia yakin doa-doanya siang malam didengar oleh Allah. Ia yakin air mata yang ia keluarkan disepanjang doanya dilihat Allah. Ia yakin ketulusan dan keikhlasannya merawat selama sakitku disukai Allah. Maka, ia pun tak akan berhenti berikhtiar untuk kesembuhanku.

Ia mendatangkan tabib tanpa memberitahu pihak rumah sakit. Karena biasanya rumah sakit akan melarang mendatangkan pengobatan alternatif. Ia mengerjakan semua anjuran tabib. Bahkan disaat tabib ingin membeli rempah-rempah bahan obat dengan harga mahal pun, Vera tak segan-segan menguras tabungannya demi sembuhnya diriku.

“Banyak yang besuk Abang, mereka kirim salam dan mendoakan kesembuhan Abang.” Kata Vera memulai kata tatkala isaknya reda.

“Siapa saja Ver?” Tanyaku bersemangat ingin menghiburnya.

“Yang pasti, ada Pak Haji Husin sama Ibu. Ada Aisyah sama Arman. Bahkan Mas Bejo tukang bakso depan pesantren pun sering besuk.” Vera menjelaskan.

Mas Bejo langgananku ngebakso saat istirahat dari pekerjaan membangun masjid pesantren. Ia satu-satunya tukang bakso di daerah itu. Logat Jawanya yang kental membuat Mas Bejo cepat terkenal. Orang-orang di desa Gumai merasa lucu dan terhibur dengan bahasanya. Mas Bejo baru saja datang ke desa itu. Kira-kira tiga bulan yang lalu. Ia meninggalkan anak istrinya di tanah Jawa. Suatu ketika aku pernah bertanya kenapa ia jauh-jauh merantau hanya untuk berjualan bakso?

“Nek Jawa wis akeh pedagang bakso.” Katanya.

Walaupun masih rada aneh dengan jawabannya. Tapi aku menerima alasan tersebut. Cerita yang kudengar bahwa di tanah Jawa tak ada bangkrutnya orang berjualan bakso. Karena semua orang di sana suka bakso. Bahkan bakso sudah menjadi menu sehari-hari, sama dengan mpek-mpek bagi orang Palembang.

Mas Bejo punya badan kekar dan tenaga kuat. Sesekali ia membantu mengangkat bahan bangunan. Ia sangat ikhlas mengerjakannya. Ketika aku hendak memberinya upah karena melihat begitu antusiasnya ia memindahkan batu batu yang tercecer ke tumpukan seharusnya, ia menolak dengan ucapan yang menyentakku.

“Yen aku trima upah maka aku emoh bisa pahala.”

Aku tersenyum. Berkali-kali aku ucapkan terima kasih. Berkali-kali  pula aku membayar lebih uang baksonya dan menolak kembalian yang ia berikan. Itulah caraku untuk membalas kebaikan-kebaikannya.

“Kalau aku terima kembaliannya, kapan lagi aku bisa berbuat baik pada Mas Bejo.” Kataku meniru kalimatnya menolak upah.  

Ia  pun tertawa sambil bilang bahwa aku orang gendeng, menolak upah dengan menolak kembalian belanja itu sangat beda.

“Mas Bejo sering tidak berjualan hanya untuk  menjaga Abang malam-malam, ia tidur di bangku panjang bangsal.” Tiba-tiba Vera menyentakkan lamunanku.

Aku tak kuasa menahan tangis. Di saat ini, disaat hanya Vera satu-satunya keluarga yang kumiliki.  Disaat semua orang dijangkiti sikap egois. Masih ada orang yang memperhatikanku. Tiba-tiba saja aku merasakan kedekatan emosi dengan Mas Bejo. Seperti keluarga sendiri. Ingin aku segera bertemu dengannya.

 

[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren  

[TantanganNovel100HariFC] Pelarian

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun