Dan
Nafas yang kuhirup berada di tengah helaan panjang intrik kehidupan
Aku membujurkan kaki telanjang di bawah rerindang pohon karet yang tak henti mengucurkan getah putih dari tikaman belati
Aku dijuluki Manusia Karet
Entah – apa karena pekerjaanku sebagai buruh penyadap karet, atau karena wajah keriputku yang bisa ditarik menyerupai karet?
Aku tak peduli itu
Yang jelas
Sekarang aku – bahkan seluruh masyarakat sekelilingku sedang menerima azab atau mungkin balas dendam dari para karet
Saatnya hitung-hitungan
Tentang mekar tawa yang pernah ia suguhkan
Tentang sumringah senyum kelopak yang pernah ia berikan
Hingga waktu berjingkat bahagia menggugurkan resah dan derita hidup layak tak berkesudahan
Begitu mendendamnya ia
Mengunggah fana dimana-mana – di tengah kota maupun di desa
Aku lupa pada masa lalu yang mestinya memikirkan waktu kini
Tak ada kuncup yang tak berbunga hingga tiba musim petik
Tak ada waktu yang berjalan mundur ke masa silam
Dan tak ada akibat yang terjadi tanpa adanya sebab
Karet – telah membanting harganya sendiri
Dan menyeret kaki-kaki tua menuju jurang
Tanpa tahu dimana perjalanan akan berakhir
Karena titian tidur tiada pernah bangun walau sekedar berselang
Lihatlah
Para penghuni bumi pun runtuh bersama tangan takdir
Tak ada lagi pedang terhunus menghujam pohon karet layaknya dendam pendekar kelana
Tak ada lagi surai cahaya yang menyusup di sela-sela dedaunannya
Tak ada lagi tawa-tawa manusia menangkup hari diantara pepohonannya
Semua termangu
Menunggu karet membangkitkan jaya
Sampai manusia tak lagi pandir
Dan lahir untuk bangkit kembali
Aku pun
Masih membujurkan kaki telanjang di bawah rerindang pohon karet yang tak henti mengucurkan getah putih dari tikaman belati
yang kini
Tak ada makna lagi
 Â