Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Hitam Sang Narapidana

22 Maret 2014   06:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:38 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Aku Faisal.

Aku tersenyum. Rajutan wajah manismu menghujam ulu jantungku. Menyentak disetiap helaan nafas. Tatapanmu begitu indah, binarnya menerangi hingga ke jiwa. Tapi itu dulu. Saat luka ini belum menganga. Kini semua telah hilang. Kenangan manis hanya berupa pilu yang mengiris rindu.

Masih ku ingat saat aku mengenal kamu di pengajian itu, Aisah. Kamu melintas di depanku sambil membawa baki minuman. Rupanya kamu anak Pak Haji Husin, pemilik pondok pesantren tempat aku belajar mengaji. Kamu begitu bersahaja sehingga membuat aku langsung jatuh hati. Tapi aku harus tahu diri, juga harus punya malu. Karena kamu bukan perempuan sembarangan.

Kamu memiliki segala yang diinginkan para wanita. Kecantikan, kesalehaan, kehormatan, harta, keturunan baik-baik dan tentu saja kasih sayang melimpah dari orang tua. Mana mungkin Pak Haji Husin mau menerima pinanganku untukmu.Apalagi aku mantan napi yang baru insaf. Bagaikan pungguk merindukan bulan. Kasihku tak akan pernah terwujud. Ibarat hati ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Akhirnya aku membiarkan cintaku bertebaran bagaikan kunang-kunang.

Suatu ketika aku menyampaikan gagasan membangun mesjid di lingkungan pesantren itu. Ayahmu menyetujui, juga orang-orang sekitar. Sebagai pemuda, aku ditugaskan untuk menghimpun dana. Cukup berat, tapi berkat nama besarku saat menjadi orang jahat yang kini dikenal sudah insaf, maka aku menuai simpati yang berujung pada mengalirnya bantuan.

Tahukah kamu? Aku sangat tersiksa dengan semua ini, Aisah. Bukan karena harus pontang panting mencari donatur. Tapi kehadiranmu disetiap bilik hatiku membuatku takut menyentuh rasa cintaku. Ah, ia begitu perkasa menindasku, bahkan hampir menenggelamkanku dalam kepasrahan pada nasib. Tapi aku harus tegak dengan gagasan yang sudah berjalan, mesjid harus berdiri, kalau aku tinggalkan, maka niat baikku hanya sebatas keinginan memilikimu.

Suatu ketika aku menyadari bahwa benih-benih cinta itu juga tumbuh di ladang hatimu. Yang mengangkat tubuh ini dari lumpur kenistaan. Namun yang kutakutkan benar adanya. Ayahmu seperti mengetahui anyaman cinta kita. Ia mulai masuk dengan sulaman benang kusut. Yang memporakporandakan mahligai nirwana yang telah menjulang.

Pak Haji Husin mengambil langkah bijak. Ia menjodohkanmu dengan Arman, santri muda yang dididik ayahmu sejak mula hingga menjadi harapan penerus cita-citanya. Aku tahu kamu menderita, bahkan dengan hancur kamu berkata : ”lebih baik aku mati saja, daripada menikah dengan orang yang tak kucinta”.

Kamu salah Aisah. Wanita tak perlu menikah dengan orang yang dicintainya. Cukuplah mendapatkan cinta dari lelaki saja. karena jika sudah dalam ikatan rumah tangga, maka perlahan cinta itu akan datang dengan sendirinya. Pengertian, kasih sayang dan cinta yang diberikan secara tulus oleh suamimu, pasti akan menimbulkan butir-butir asmara yang menerbangkanmu pada cita rasa dari cinta yang sarat makna.

Tak usah kamu memikirkan aku. Aku akan tegar. Aku akan berjiwa besar. Karena aku sadar bahwa aku masih berdiri pada raga yang kasar.

”Bang, minum obatnya” pinta Vera isteriku.

”Oh, iya hampir lupa” aku segera menyambut obat yang ia berikan padaku.

Aku tersenyum memandang wajah isteriku. Ia sudah merawatku sejak aku menikahi dirinya. Sebetulnya aku tak ingin menikahi siapapun setelah Aisah dijodohkan. Tapi aku tak mau Aisah berharap terus dengan kesendirianku. Oleh sebab itulah aku meminta Pak Haji Husin menikahkan aku dengan Vera.

Diakhir bulan April, bumi sudah mulai diguyur hujan. Daun-daun gugur berganti dengan pucuk hijau yang menawan. Aku meminang Vera, teman yang aku kenal di pesantren belum lama ini. Pernikahan sangat sederhana, tidak ada pesta, hanya kendurian kecil-kecilan yang dilakukan di pesantren. Pak Haji Husin sangat gembira dengan pernikahanku, bahkan ia hendak membuat pesta yang besar, tapi aku menolaknya. Bagiku cukuplah diketahui oleh orang-orang di sekitar pesantren saja.

Satu tahun bersama Vera, kami belum dikaruniai anak. Aku tak mau menjalankan tugasku. Penyakit yang kuderita semenjak jadi narapidana dulu belum sembuh-sembuh juga. Ditahanan, kami sering tidak tahan, tak bisa membedakan perempuan dan pejantan. Kuatnya iman tak mampu menundukkan hebatnya syetan. Akhirnya penyakit kelamin ini menjalar satu persatu ditubuh kami. Yang mengiris kepiluan dan berkabung dengan penderitaan. ”Maafkan aku Ver, aku tak mau menularimu dengan segala laknat ini” lirih bathinku bergumam.

”Vera ke pasar dulu ya Bang.” Ucap Vera memandangku tanpa kedip.

”Iya Ver, hati-hati ya. Ntar digodain cowok.” ledekku seolah ingin menunjukkan bahwa aku sehat dan tetap bergembira seperti yang sudah-sudah.

”Ah Abang, kalau Vera mau, sudah dari dulu, ngapain Vera menikah sama Abang.” Ia bersungut manja.

”Iya dech, Abang percaya 1000%.” Kataku sambil mengacungkan sepuluh jari.

Lalu aku mendekatinya, sambil mengelus pipinya dengan mesrah.

”Maafin Abang kalau selama ini banyak salah dan menyusahkan Vera.” kataku.

”Ah Abang, koq ngomongnya begitu?” Vera heran melihat genangan di bendungan mataku.

”Nggak apa-apa Ver, Abang hanya merasa selama ini banyak dosa pada Vera.” ungkapku

”Sebetulnya Veralah yang harus minta maaf, karena selama menjadi isteri Abang, Vera merasa belum melayani Abang layaknya isteri yang berbakti.”Ia menitikkan air mata.

”Tidak Ver. Kamu sudah sempurna. Tapi Abanglah yang banyak salah. Kelak, kalau Abang tiada, Abang ingin Vera menikah lagi, dengan laki-laki yang dapat menjadi imam yang baik bagi Vera.” Aku berkatadengan suara tercekat.

”Abang jangan berkata begitu.” Isak Vera tak tertahankan.

”Iya, Abang bercanda koq, udah ke pasar sana.” Aku kembali tertawa dan mengedipkan mata. Vera jadi semakin bersungut. Wajah cantiknya sudah mulai kehilangan cahaya. Tidak seperti saat pertama kusunting dia.

Setelah Vera berangkat, aku merasakan tubuhku menggigil. Keringat bercucuran bagaikan butiran jagung. Kepalaku terasa ditusuk-tusuk. Rasa takut menghinggapi pikiranku. Naluriku berkata, akankah tiba masaku? Bathinku menjerit. Aku harus melawan semua itu. Aku harus kuat. Aku harus menjaga Vera yang akan hidup sebatang kara. Aku bergegas merebahkan diri di kursi tamu. Semua kurasakan gelap, hingga tak melihat apa-apa lagi.

”Bang, sadarlah Bang.” terdengar suara halus memanggilku. Suara itu begitu lirih. Diiringi sedu sedan tangis. Aku berusaha untuk bangun. Kucoba membuka mata, tapi ia begitu berat. Namun aku memaksakan diri, sedikit demi sedikit cahaya menerpa mataku. Samar-samar kulihat wajah Vera dengan mata sembab dan sayu.

”Abang sudah siuman.” Ia tersenyum bahagia.

”Iya, maaf Abang ketiduran tadi.” jawabku membalas senyumnya

”Apa? Ketiduran sampai dua hari satu malam?” Vera menyadarkan kebohonganku. ”Abang pingsan, sekarang Abang ada di Rumah Sakit, lihat tangan Abang ada infusnya”. Lanjut Vera lagi.

Aku menyadari kondisiku. Lalu terkekeh untuk menyenangkan Vera.

”Wuiihh. Abang sudah sehat. Sekarang sudah boleh pulang dong.” ujarku penuh harap.

”Nanti dulu, sampai sehat benaran.” Kata Vera.

Setelah itu hari-hariku tak pernah lepas dari obat. Vera selalu mengingatkanku untuk meminumnya. Namun kesibukkan juga tidak berkurang. Pagi bekerja membersihkan setiap ruangan di pesantren itu, sore belajar mengaji dan malam menemui tokoh-tokoh penting untuk membantu pendanaan pembangunan mesjid.

Suatu ketika aku bertemu dengan Aisah. Ternyata ia setiap hari menjengukku di rumah sakit. Hari terakhir ia pun datang, tapi terlambat, karena aku sudah pulang duluan. Ia tak berani datang ke rumah. Tak elok katanya. Ia pun bercerita betapa bahagianya aku mempunyai isteri setia. Yang selalu menjagaku siang malam tanpa kenal lelah.Tapi aku tak mau berlama-lama mengobrol dengan Aisah. Tanpa basa basi aku pun segera meninggalkannya. Maafkan aku Aisah. Itulah cara agar kamu tidak menghidupkan kenangan lama. Aku sudah punya Vera. Dan sejak itu kamu seperti menghilang ditelan masa. Timbul rasa rindu yang menggebu. Menusuk ke relung kalbu yang terdalam. Menyesak di dada dengan gejolak tak menentu. Namun semua itu tak menggodaku untuk menemuimu. Biarlah. Aku telah memilih setiaku. Jalan hidupku. Tak perlu engkau tahu.

Gedung mesjid yang dibangun sudah mulai kelihatan bentuknya. Tinggal finishing. Aku terharu melihat hasil jerih payah itu. Sambil berdiri melihat bangunan itu tubuhku terasa gemetar. Perjuangan kami tidak sia-sia. Tak lama lagi sebuah mesjid akan berdiri megah. Santri-santri di pesantren bersama orang-orang sekitarnya siap meramaikannya. Dikejauhan, Pak Haji Husin tampak tersenyum gembira. Masyarakat pun bersuka cita. Tampak pula dari sebuah rumah kulihat Aisah keluar membawa makanan untuk para pekerja. Ia melintasiku tanpa pernah bersapa apalagi sekedar melirikkan mata. Ah, tak mengapa. Ini memang yang aku inginkan.

Tiba-tiba rasa pening menghantam lagi. Kepalaku seperti pecah dan ditusuk-tusuk. Tubuhku bersimbah peluh. Ragaku sempoyongan. Aku segera beringsut menuju rumah. Untungnya Vera sedang duduk di teras memandangiku sejak tadi. Ia segera memapahku ke pembaringan.

”Mataku ngantuk Ver. Sebelum tertidur aku mau shalat dulu.” Kataku

”Bentar Bang, Vera ambilin air pakai ember ya.” Ia segera bergegas ke kamar mandi. Aku hanya mengangguk.

Setelah shalat, aku menuju pembaringan. Vera menghampiriku. Ia kelihatan khawatir dan seorang lelaki tua berpakaian putih datang menghampiriku. Ia berkata : ”Sudah waktunya.”

========##========

Aku Vera.

Aku dilahirkan dari keluarga berada. Dulu ayahku seorang pengusaha dan ibuku seorang ibu rumah tangga biasa yang hidup bahagia bersama suami dan anak-anaknya. Tiba-tiba kebahagiaan itu hancur. Sekawanan perampok memporakporandakan hidupku. Tepat didepan mataku sebuah belati menikam dada ayahku. Lalu sayatan pisau tajam telah memutuskan urat leher ibuku. Penderitaanku tidak hanya sampai disitu. Kegadisanku pun terengut dengan paksa.

Aku sangat mengenali wajah itu. Tak akan pernah kulupakan. Aku ingin membalas dendam. Tapi semua seperti api yang disulut di dalam sekam. Membara, menjalar namun tak mencekam. Sangat berbeda dengan rumahku yang dibakar habis oleh para perampok itu. Untung aku masih bisa diselamatkan. Pekikkan kengerian dan tangis piluku membangunkan orang-orang di perkampungan.

Setelah aku dirawat, mereka menitipkanku di sebuah pesantren. Disitu aku berkenalan dengan Aisah, anak Pak Haji Husin.

Suatu ketika aku melihat seorang pemuda tampan yang baru datang. Ia belajar mengaji. Namun aku merasakan sesuatu yang sangat hebat. Tubuhku bergetar, bayang-bayang menakutkan selalu hadir disaat melihat wajah itu. Wajah itu menakutkan, tapi juga menggetarkan, hingga mengisi hari-hariku. Namun dendam harus terbalaskan.

Aku begitu geram saat mengetahui Aisah begitu mencintainya. Bahkan hampir bunuh diri ketika dijodohkan Ayahnya. Aku pun berusaha membujuk Aisah untuk menerima perjodohan itu. Hingga suatu saat Pak Haji Husin datang memintaku menjadi isteri Faisal.

Saat pertama menjadi isteri kamu Bang. Aku sudah berniat ingin membunuhmu. Tapi aku takut dihukum. Takut dipenjara. Untungnya diawal pernikahan kamu jatuh sakit. Dan aku tahu penyakitmu sangat mematikan. Itulah sebabnya, aku tak jadi membunuhmu. Karena aku yakin usiamu tak akan lama lagi.

Aku menyimpan rahasia ini begitu dalam Bang Faisal. Aku berusaha menjadi isteri yang baik hanya karena ingin berada didekatmu saat kamu mengerang nyawa. Aku ingin melihatmu merasakan sakitnya menemui kematian. Setelah itu aku akan kembali kepelukan lelaki yang kucintai, Arman. Yang saat ini sudah menjadi suami Aisah.

Tapi kamu semakin lama semakin membuatku jatuh hati. Perhatianmu, perilakumu jauh dari kesan seorang perampok. Kamu begitu bersahaja dan memiliki rasa humor yang mampu melindasi penyakit yang menghinggapi. Aku menginginkanmu hidup Bang Faisal. Kasih sayangmu mampu melupakan trauma masa laluku. Dan celakanya, rasa itu datang disaat kamu sudah mulai menghitung hari-harimu.

Bang Faisal. Maafkan aku yang tak tulus mencintaimu. Tapi percayalah pada akhirnya kamulah cinta sejatiku. Kamulah yang mengisi hari-hariku. Kini aku tak tahu harus berpijak kemana lagi. Arman sudah bahagia bersama Aisah. Aku tak mau tetap hidup di tanah pesantren ini Bang. Aku akan pergi jauh. Meninggalkan semua kenangan luka ini.

========##========

Aku Aisah.

Setelah kematian Faisal, aku tak bisa menahan pedih. Dia telah menikah dengan Vera, sahabat karibku dan menganggapku tak lebih dari sampah. Tapi rasa cinta yang pernah ada mengajakku untuk merasakan perih atas kematiannnya. Aku tak percaya ia sudah meninggal.

Aku benci. Aku benci dengan keadaan ini. Aku benci dengan perjodohan oleh ayahku. Aku benci dengan Arman yang menjadi suamiku. Aku tahu ia mencintai Vera. Aku tahu setiap malam ia bergumam menyebut nama wanita itu. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Baktiku pada orang tua memaksaku menerima pernikahan ini. Aku merenung diri di kamar sepi. Air mataku tak tertahankan lagi. Tiba-tiba suara Arman dari belakang mengangetkanku.

”Aisah, buka pintu, ada tamu.”

”Iya Bang.” jawabku singkat

Segera kuusap air mataku dengan handuk kecil. Mataku masih sembab. Setelah mencoba sebuah senyum aku bergegas ke pintu depan. Saat kubuka ternyata Vera yang berdiri di sana. Ia tertunduk, tanpa berucap sepatah kata sebuah kotak kecil ia sodorkan padaku.

”Apa ini?” Tanyaku penuh selidik

”Ini dititipkan Bang Faisal sebelum ia meninggal. Sebetulnya setelah kematiannya aku ingin langsung memberikannya padamu, tapi kamu tak pernah muncul.” Jawab Vera

Aku segera mengambil kotak itu tanpa pernah mempersilahkan Vera masuk. Bahkan saat Vera meninggalkan rumahku tanpa pamit pun aku tak peduli. Lalu kubuka kotak itu dan kudapatkan selembar kertas merah jambu yang dilipat rapi. Lalu kotak kecil yang berisi cincin emas. Tak sabar kubuka lembaran itu dan kubaca.

Untuk Aisah bidadariku.

Maafkan sikapku yang telah menyakiti hatimu. Aku tahu kamu sangat membenciku. Aku telah memilih menikahi Vera karena tak ingin kamu menolak perjodohan dengan Arman. Aku tahu kamu sangat mencintaku, sama seperti aku yang sangat mencintaimu. Dan saat kamu mengetahui semua ini, pastinya aku sudah tidak berada lagi di dunia ini.

Aku ingin menjelaskan segalanya dalam surat ini. Sebenarnya aku ingin sekali menjadi suamimu. Tapi kamu harus tahu Aisah, bahwa aku bukanlah dari golongan orang baik-baik. Aku mantan penjahat, mantan napi yang mencoba untuk bertobat. Itulah sebabnya aku mati-matian ingin membantu ayahmu berdakwah di kampung ini dengan mendirikan sebuah mesjid. Aku ingin menebus semua dosa dan kenangan kelam masa laluku.

Aku sangat menderita dengan perjodohanmu Aisah. Aku hampir meninggalkan pembangunan mesjid itu untuk mencari jalan hidupku yang lain. Namun keinginan kuat untuk bertobat mengalahkan semua itu. Aku tetap bertahan untuk menunjukkan bahwa aku ikhlas membantu pembangunan mesjid itu. Sakit dari penyakit yang kurasakan, lebih sakit lagi saat melihat kamu bersanding dengan Arman. Sakit sekali, sedih dan terluka. Semua itu menyatu dalam deritaku.

Aku sadar, ayahmu menginginkan jodoh yang terbaik buat kamu. Suamimu haruslah mampu menggantikan ayahmu berdakwah. Dan aku tidak memenuhi itu. Masa laluku yang kelam tak akan bisa memancarkan sinar keimanan. Dosa-dosaku terlalu besar. Pembunuhan, perkosaan dan perampasan hak orang lain sudah menjadi bagian hidupku. Jika aku tahu akan kenal dengan kamu, aku tak mau melakukan semua itu.Itulah kenapa aku tak mau bertahan memilihmu jadi isteriku. Aku nol besar. Tak layak menjadi ustadz, kyai ataupun da’i. Aku tak kan mampu memikul amanah itu. Tak seorang pun yang akan mengagungkanku, memujiku, atau memuliakan aku. Apalagi semua itu melebihi keinginanku.

Aku menyadari tentang perjodohanmu. Aku memilih Vera karena ia kekasih Arman. Dengan begitu Arman pun akan dengan rela menikahi kamu. Dan aku yakin, Arman pasti mampu menggantikan peran ayahmu. Dan apalah artinya hati yang terluka jika dibandingkan dengan kebahagiaan yang akan kamu gapai. Demi majunya dakwah di pesantren kita, demi hidupnya mesjid kita dan demi dirimu, Aisah.

Jika kamu masih mencintaiku. Tersenyumlah, dan maafkanlah aku. Agar aku tenang di akhirat. Bangkitlah dari kenangan pahit ini. Berjanjilah Aisah.

Cincin yang aku sertakan dalam surat ini, tadinya untuk meminangmu, tapi sekarang tolong jadikan kenang-kenangan saja. bahwa aku pernah ada di hatimu.

Terakhir, aku mohon. Jika kamu berkenan. Tolong jaga Vera. Ia wanita sholeha. Sama seperti dirimu. Bila kau bersedia, jadikan ia isteri kedua dari Arman. Karena aku tahu, Vera masih mencinta Arman, dan Arman pun masih sayang sama Vera. Aku tak bermaksud menghasudmu, tapi aku yakin, kamu pasti faham akan semua itu. Ketulusanmu akan membuat kehidupan masa depanmu jauh lebih bahagia.

Mungkin saat ini, kata-kataku akan menyakitimu. Tapi inilah permintaan dariku. Aku tak mau Vera menjadi wanita yang sia-sia. Maafkan aku Aisah, aku juga sangat mencintai Vera, sama seperti aku mencintaimu. Tahukah kamu, sedihmu, adalah sedihku, sakitmu juga sakitku, dan bahagiamu adalah bahagiaku. Tersenyumlah Aisah, karena Aku Sangat Mencintaimu Sampai Akhir Hayatku.

Yang selalu mencintaimu,

Faisal

========##========

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun