Dulu sebelum masuk agama dari luar ke Tanah Batak, pernikahan orang Batak Toba dilakukan secara adat. Pengantin perempuan dijemput ke kampung orang tuanya oleh pengantin laki-laki bersama keluarganya.
Adat penjemputan itu dilangsungkan dalam satu acara marunjuk. Pada acara ini pihak pengantin laki-laki resmi menyerahkan mas kawin sinamot (boli, niunjuk).
Mereka juga membawa daging masak dan nasi ke kampung pihak perempuan. Persembahan itu dijunjung dalam wadah bernama ampang / jual.
Setelah segala sesuatunya dijalankan sesuai adatnya, maka seorang anak laki-laki dan anak perempan tadi sudah resmi menjadi suami dan isteri.
Adat marunjuk ini sendiri punya tata aturan yang rumit dan melibatkan banyak pihak baik dari keluarga perempuan maupun dari keluarga laki-laki. Di sana mereka memberi/menerima kewajiban/hak adat (parjambaran)Â sesuai kedudukannya masing-masing dalam bingkai Dalihan Na Tolu.
Di beberapa daerah, setelah selesai marunjuk, perempuan yang dinikahkan langsung dibawa serta ke kampung suaminya. Si perempuan yang sudah dinikahkan itu (dipamuli) berjalan di belakang bakul (mangihut di ampang) tempat daging dan nasi yang dibawa sebagai persembahan kepada keluarga si perempuan tadi dalam acara marunjuk. Mereka kemudian akan langsung tinggal di kampung pihak laki-laki (patrilokal).
Tetapi di beberapa daerah memperlakukan lain. Si perempuan dan suaminya tinggal dulu di kampung ayahnya (matrilokal) selama tujuh hari. Selama tujuh hari itu, si perempuan akan tinggal bersama teman-temannya yang masih gadis. Dia tidak diperkenankan tinggal bersama suaminya tadi. Larangan yang berlaku selama tujuh hari itu disebut roburobuan.
Lalu pada hari ketujuh, keluarga laki-laki akan datang ke kampung keluarga perempuan. Di sore hari mereka mengadakan jamuan makan. Diundang juga kerabat-kerabat dekat dan tetua kampung turut serta dalam jamuan. Di hadapan kedua pengantin diletakkan piring besar berisikan setumpuk nasi berbentuk kubah (nidimpu)Â dengan seekor ikan utuh di atasnya.
Mereka kemudian makan bersama. Makanan itu disebut indahan sampur, maksudnya ialah makanan pemersatu. Kini kedua pengantin sudah dipersatukan dan bisa tinggal bersama sebagai satu keluarga baru.
Upacara tersebut disebut pasampurhon. Selanjutnya keluarga baru akan tinggal di kampung laki-laki dan menjadi bagian dari marga suaminya.
Sekarang ini, roburobuan - larangan tujuh hari bagi pengantin baru Batak Toba sudah tidak ditemukan lagi. Setelah acara pernikahan dilangsungkan, baik secara agama dan adat, kedua pengantin sudah bisa hidup bersama.
Walaupun kadang pengantin harus menunggu sampai larut malam dalam lelah dan bosan (hehehe), karena setelah acara marunjuk selesai masih ada acara  mamodai (memberikan nasehat) di rumah. Upacara pasampurhon pun kini sudah tidak ditemukan lagi. Jadi sekarang tidak perlu menunggu tujuh hari berpantang sudah bisa langsung bulan madu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H