Merespon Putusan Sidang Mahkamah Konsitusi dalam Bingkai Budaya Batak Toba
Â
Saya sangat terkesan dengan kutipan yang disampaikan oleh Profesor Eddy -- saksi ahli -- yang dihadirkan oleh pihak terkait dalam sidang perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi beberapa hari yang lalu. Beliau menjawab pernyataan salah seorang pengacara pemohon dengan mengutip dari pendapat Gus Dur,
"Jika ada perbedaan sampai kerongkongan, janganlah sampai ke hati".
Saya menangkap pesannya, bahwa perbedaan pendapat di antara yang berhak berpendapat di sidang itu adalah hal biasa, janganlah sampai merusak persaudaraan. Karena sebagaimana dalam pernyataan-pernyataan penutup di akhir sidang, semua pihak menyatakan bahwa niatnya adalah untuk mencapai suatu keadilan sesuai dengan konstitusi.
Kerja-kerja adat dalam masyarakat Batak Toba biasanya dimulai dengan tahapan musyawarah. Ada yang tahapannya panjang, ada juga yang relatif singkat. Masing-masing kerja adat memiliki hukum acaranya sendiri. Adat pernikahan, adat pemberian nama, adat pemberian marga, adat jual-beli, adat kematian, dan lain-lain memiliki hukum acaranya sendiri yang harus dipatuhi.
Dalam musyawarah itu sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Untuk memutuskan bentuk acara, memutuskan besarnya mas kawin, memutuskan parjambaran seringkali harus melewati perdebatan. Para tetua adat menyampaikan pendapatnya masing-masing. Perdebatan demikian, jika disaksikan oleh outsider, bisa saja dikira sedang terjadi pertengkaran. Bayangkan, suara orang Batak Toba itu sulit dikecilkan. Keras. Padahal mereka sedang menjalankan musyawarah, sedang mengeluarkan kemampuannya marpollung -- suatu keahlian berbicara dan negosiasi.
Insider Batak Toba tentu akan tenang-tenang saja menyaksikan pertentangan yang "keras" itu. Sebab sudah tahu bahwa mereka sedang mencari kesepakatan yang baik. Setiap perbedaan pendapat itu dimaknai sebagai usaha menghadirkan kesepakatan yang terbaik. Hal itu telah termuat dalam azas permusyawaratan Batak Toba:
"Purpar pe pande dorpi jumadihon tu rapotna"
(ahli kayu/tukang yang sedang bekerja menimbulkan hiruk pikuk suaranya untuk menyusun papan-papan dinding yang rapat)
Setelah tercapai kesepakatan, semua pihak yang terkait harus kembali kompak. Tidak ada sakit hati. Seperti yang dikutip Profesor Eddy tadi, perbedaan pendapat hanya sampai kerongkongan, tidak sampai ke hati. Setelah itu, hanya ada satu pendapat. Hanya ada satu keputusan. Semua bersatu untuk mewujudkan rencana bersama.
Semangat demikian dalam masyarakat Batak Toba kadang dikuatkan lagi dengan jamuan kue tradisional bernama pohulpohul -- kue berbahan tepung beras yang dibuat dengan cara meremas (mengepal) sehingga terbentuk bulatan dengan kontur luar relief kelima jari. Kue itu melambangkan kesatuan yang kuat di antara sesama saudara yang telah bersepakat. Bekas kelima jari di permukaan pohulpohul tersebut dalam pengetahuan Batak Toba menunjukkan angka sakti, merujuk hatiha silimalima (lima waktu dalam sehari): poltak ari (terbit matahari), pangului (jelang siang), hos ari (tengah hari), guling ari (jelang sore), dan bot ari (sore). Dalam konteks Indonesia, barangkali bisa juga kita maknai sebagai 5 sila dasar negara kita.
Seandainya kemarin setelah pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi diadakan jamuan kecil dengan hidangan pohulpohul, pesan persatuan kita akan lebih kuat terekspresikan. Apa yang sudah diperdebatkan oleh para pihak dalam sidang yang sesuai dengan konstitusi telah diputuskan dan mari kita semua menghormatinya.
Salam budaya...
Salam persatuan...
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H