Tahun 2014 saya menulis satu-satunya kepala daerah yang gajinya tidak diambil bahkan diberikan pada rakyat hanyalah Jokowi. Satu-satunya kepala daerah yang menolak ketidakjujuran UN dan lebih mengutamakan kejujuran dibanding kelulusan hanyalah Jokowi. Satu-satunya kepala daerah yang melawan birokrasi diatasnya (gubernur) demi membela rakyatnya adalah Jokowi.
Sejumlah langkah dan kebijakan prorakyat yang dilakukan Jokowi saat menjadi kepala daerah sungguh berkarakter dan menjelaskan sosok pemimpin tak punya kepentingan. Namun, saat menjadi Presiden langkah-langkah Jokowi benar-benar mendapat hujatan dan cacian yang luar biasa. Apakah hujatan dan cacian ini adalah fakta objektif atau sejenis character asassination?
Saya menduga berbagai hujatan kepada Jokowi lebih banyak subjektifnya dibanding objektifitasnya. Jokowi adalah sosok yang terbentuk karena karakter bawaannya. Ia satu-satunya “manusia biasa” yang jadi presiden. Sosok Jokowi adalah identikasi dari wong cilik jadi raja. Belum pernah ada sebelumnya seorang walikota menjadi gubernur dan kemudian begitu cepat menjadi presiden.
Jokowi adalah pribadi biasa yang menjadi luar biasa karena Ia muncul disaat semua calon pemimpin tersandera masa lalu dan habit korupsi. Hampir semua calon pemimpin punya dosa masa lalu yang kemudian menjadi komoditas politik untuk menjatuhkan citranya. Keunggulan Jokowi berada diatas semua calon pemimpin karena kesederhanaan, kejujuran dan memiliki ikatan emosional dengan rakyat melalui sentuhan pendekatan blusukan.
Blusukan identik dengan Jokowi. Blusukan menjadi branding Jokowi. Ia masuk got, terjun ke sawah, manemui para gelandangan dll. Ia tidak merasakan rigid melakukan blusukan karena memang Ia adalah wong cilik berdarah rakyat bukan berdarah biru yang alergi masuk jalan becek penuh lumpur. Ia adalah manusia biasa yang menurut dirinya sendiri tak pantas menjadi seorang gubernur apalagi seorang presiden.
Ungkapan Jokowi yang mengatakan dirinya tak ada potongan menjadi gubernur atau presiden justru membuat sebagian besar masyarakat Indonesia mendukung dan menjadikannya sebagai seorang gubernur dan presiden dalam kompetisi Pilgub dan Pilpres. Ungkapan Jokowi bila dilihat dalam kacamata politik adalah sebuah pencitraan yang cerdik. Namun, bila dilihat dari perspektif karakter, memang Ia adalah sosok sederhana yang tidak suka dengan hal-hal bombastis ambisius.
Jokowi cenderung apa adanya. Karakter yang apa adanya menggambarkan objektifitas dan simbol kejujuran. Karakter yang dibuat buat, diada-adakan bukan apa adanya sudah lama dirasakan rakyat di negeri ini. Pencitraan, konspirasi dan berbagai manuver politik biasanya dilakukan oleh tokoh-tokoh lain sebelum era Jokowi. Jokowi hadir memberi jawaban atas kesederhanaaan dan anti menipu rakyat.
Karena kesederhanaan Jokowi protokoler kepresidenan dan patwalpres menjadi kalang kabut. Jokowi butuh menyesuaikan diri dengan protokoler resmi kepresidenan yang baku dan harus dipatuhi. Jokowi adalah seorang presiden Ia harus mengikuti prosedural kepresidenan yang menempatkan seorang presiden sebagai sosok dan pribadi istimewa. Ia adalah simbol negara. Ia adalah harga diri bangsa. Ia adalah muka wajah rakyat Indonesia.
Seorang petugas keamanan mengungkapkan pada penulis bahwa sebenarnya Jokowi lebih suka menggunakan kendaraan sederhana sejenis innova dibanding kendaraan mewah kepresidenan. Namun, Jokowi harus mengikuti prosedural protokoler kepresidenan. Apa kata dunia bila Presiden Indonesia menggunakan kendaraan kepresidenanya sekelas innova. Tidak wajar dan terlalu merakyat. Masa Raja Salman memakai merci termahal sementara Jokowi menggunakan innova? Dalam hal ini Jokowi “menyerah” pada prosedural protokorel kepresidenan.
Namun dibalik kesederhanaan dan sosok minimize Jokowi dari mental korup, tidak sedikit atau begitu banyak kelompok penghujat yang menstigma Jokowi dalam berbagai hal. Mulai dari komunisasi, kristenisasi, asengisasi, Chinaisasi bahkan sampai bonekaisasi Megawati. Ini sebuah stigma yang terus dihembuskan untuk merusak citra Jokowi. Menurut penulis berbagai bentuk stigmatisasi terhadap Jokowi adalah lebih kepada emosi kolektif atas kekalahan cagub dan capres yang diidolakan para “musuh” Jokowi.