Mohon tunggu...
DUDUNG NURULLAH KOSWARA
DUDUNG NURULLAH KOSWARA Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

History Teacher in SMANSA Sukabumi Leader PGRI Sukabumi City

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bergerak dari Desa Menuju Senayan

16 Oktober 2016   08:55 Diperbarui: 16 Oktober 2016   09:08 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Realitas politik sebagai panglima tak dapat dibantah terjadi di negeri ini bahkan Prof. Dr  Haruln Al Rasyid mengatakan tidak sedikit politisi yang menjadikan partai politik sebagai wahana mencari nafkah. Realitas politik terkadang menjadi biang kegaduhan, kebijakan yang kontraproduktif dan tak mendidik diantaranya karena politik dijadikan mata pencaharian, segala cara “boleh” dilakukan asal bermuara pada profit. Tidak sedikit pengurus partai politik  dan anggota legislatif hanya berijazah SMA  bahkan berijazah SMA sederajat yang bodong. Sejatinya dinamika politik harus  aspiratif, penuh etika dan berorientasi pada kejayaan masa depan bangsa dan tentu saja hal ini akan terlahir dari kader-kader berpendidikan yang baik.

 Untuk merombak negeri ini terutama dalam dimensi politik  nampaknya perlu keterlibatan para guru melalui tugas profesi dan organiasi. Melalui tugas profesi dengan gerakan dini jangka panjang melalui mendidik dan mengajar dengan penguatan pendidikan karakter, agar kelak lahir insan-insan politik yang cinta kebangsaan. 

Seorang guru yang cerdas dapat  sedikit memberi edukasi politik dasar dengan menterjemahkan realitas politik kekinian diruang kelas sesuai jenjang.  Realitas politik  yang terjadi dapat menjadi bahan diskusi di ruang-ruang kelas dikaitkan dengan mata pelajaran yang diampu Sang Guru. Tugas mendidik dan mengajar secara profesional dengan pemberatan pendidikan karakter adalah tugas konsisten jangka panjang.  Sebuah proses yang berupaya “mengukir”  calon-calon penghuni masa depan agar kelak terlahir politisi berkarakter yang cinta bangsa berorientasi kejayaan masa depan bukan kejayaan partai politik semata.

Selanjutnya harus ada langkah jangka pendek lima tahunan yang agak pragmatis startegis adalah  melalui tugas organisasi profesi guru. Organisasi profesi guru (PGRI) harus berkontribusi terhadap hadirnya para politisi berkarakter yang  tidak menjadikan politik sebagai mata pencaharian melainkan sebagai seni edukasi  membangun negeri melalui politik beretika yang berlandaskan karakter keindonesiaan.  Kekuatan anggota PGRI yang ada disemua desa dan dapil dapat menjadi kekuatan produktif dalam mengusung calon-calon legislatif di tingkat daerah. Mengusung politis yang akan duduk di kursi  legislatif secara berjenjang dari mulai DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Provinsi, DPD dan DPR dapat dilakukan dengan cantik oleh organisasi PGRI.

Anggota PGRI mayoritas sarjana dan menyebar diseluruh pelosok negeri bahkan tidak sedikit yang magister dan doktor. Potensi ini sangat mungkin berkontribusi pada pembangunan politik dan pendidikan negeri ini. Satu komunitas yang berpeluang dan sangat mungkin mengubah arah negeri ini menuju dinamika politik yang lebih kondusif diantaranya  melalui  kekuatan komunitas pendidik yang tergabung dalam organisasi profesi PGRI. Sangatlah mungkin bila  orang luar PGRI yang berpihak pada pendidikan dan orang dalam PGRI yang punya kapasitas untuk dipromosikan menjadi politisi-politisi edukatif di setiap jenjang legislasi.  Siapa yang berkomitemen pada pendidikan, pada nasib guru dan kemajuan bangsa maka layak didukung  oleh semuan anggota PGRI yang memiliki hak suara.

PGRI adalah non partisan, independen dan  unitaristik. PGRI tidak partisan tapi partisan pada pendidikan begitupun pada tokoh-tokoh yang mengutamakan pentingnya pendidikan dan nasib para pendidik. PGRI independen namun akan memiliki keberpihakan yang kuat pada siapa saja yang mengusung pentingnya pendidikan dan nasib guru. PGRI unitaristik namun lebih mengutamakan golongan yang memahami pendidikan dan menjungjung tinggi pentingnya pendidikan dan nasib guru. Realitas subjektif ini sangatlah  wajar dan normal dapat terjadi pada PGRI karena memang  “jenis kelamin” PGRI adalah dimensi pendidikan dan nasib para guru. Kolaborasi guru dengan politisi-politisi kependidikan yang  mengutamakan pendidikan masa depan bangsa dan nasib para guru adalah hal yang semestinya segera dilakukan.

Urgensitas munculnya para “pemain politik” yang pro pendidikan dan berpihak pada guru  adalah sebuah kebutuhan. Bukankah  negara-negara maju sudah mendekati pendidikan sebagai panglima bukan hanya politik sebagai panglima. Bukankah pendidikan adalah hal mendasar untuk membangun kejayaan bangsa pada masa yang akan datang dengan proses panjang melalui pendidikan di ruang-ruang kelas? Bukankah  kesehatan, kesejahteraan dan lahirnya bangsa yang berkarakter hanya bisa dibangun dengan  proses pendidikan. Betapa baiknya bila para politisi, birokrat dan bahkan pengusaha di negeri ini berkolaborasi dengan para pendidik.

PGRI baru adalah PGRI yang mampu bergerak dari desa mengusung semua kader potensial bangsa yang akan mengubah wajah Indonesia pada masa yang akan datang  dari berbagai lini.  Kader terbaik dari eksekutif dan legislatif yang akan mengubah wajah Indonesia yang lebih edukatif, menghargai guru dengan segala keterbatasannya serta beroreintasi masa depan harus didukung para guru. Mulai dari anggota DPRD tingkat I, DPRD tingkat II, DPD, DPR RI,  Bupati, Walikot, Gubernur dan Presiden  wajib kita bentuk melalui mekanisme organisasi profesi. Ini salah satu ikhtiar dan kontribusi PGRI pada perbaikan bangsa agar lebih edukatif, berkarakter dan memahami strategisnya peran guru dalam membenahi bangsa.

Kalau seandainya ada profesi lain yang dapat mendidik bangsa lebih baik selain guru, maka langkah-langkah di atas tak terlalu penting. Namun bila ternyata hanya guru sebagai pilar terakhir dalam membangun SDM bangsa maka hal di atas perlu dipertimbangkan matang dan direalisasikan dengan penuh kesantunan dan kemuliaan. PGRI yang bergerak secara masif, proaktif dan kolaboratif  mulai dari pinggiran desa sampai pusat ibu kota  bersama kader-kader bangsa yang potensial setidaknya mampu mempercepat perbaikan bangsa.  PGRI sebaiknya bermutualisma dengan pihak  eksternal secara konsisten dalam menciptakan pendidikan dan kesejahteraan bangsa yang lebih baik.

Sudah bukan saatnya guru dipolitisir dijadikan korban politik melainkan sudah saatnya para guru begerak dari pinggiran desa ikut memperbaiki wajah politik bangsa yang tak lekas membaik dengan bekerja profesional di ruang-ruang kelas mencetak generasi emas, mencetak kader politik dan birokrat terbaik sejak dini. Sudah saatnya  para guru bekerja secara kontributif di ruang-ruang publik dan di ruang organisasi profesi untuk ikut terlibat membenahi bangsa melalui pendidikan, melalui gerakan organiasi yang kolaboratif dengan kader-kader terbaik bangsa yang berpihak pada pendidikan dan pada nasib  guru.

           

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun