Mohon tunggu...
DUDUNG NURULLAH KOSWARA
DUDUNG NURULLAH KOSWARA Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

History Teacher in SMANSA Sukabumi Leader PGRI Sukabumi City

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Asap Tak Pergi, Hujan Tak Datang

22 Maret 2016   09:34 Diperbarui: 22 Maret 2016   10:25 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Negeri ini cukup unik, warganya terkadang “tampil beda” dibanding warga negara lain. Bedanya adalalah  senang membakar hutan tatkala negara-negara lain begitu masif memelihara hutan, bahkan tak sedikit manusiapun dibakar bila perlu.  Senang buang sampah di sungai tatkala negara lain begitu menghargai sungai sebagai  sumber air dan keindahan alam, bahkan bila perlu sungai dijadikan pembuangan limbah berbahaya  dari proses industri. Mayoritas suka merokok tatkala bangsa lain mulai menghargai kesehatan tubuh dan kesehatan  bahkan bila perlu merokoknya ditempat ibadah/masjid. Senang bertengkar memperebutkan hal yang pragmatis ketika bangsa lain membangun harmonitas  sosial dan mengusung etika masa depan bahkan bila perlu bertengkar karena beda keyakinan yang merupakan hak  asasi individu.

Banyak hal lain yang beda di negeri ini termasuk budaya korupsi dikalang pejabat eksekutif, legislatif bahkan yudikatif.  Sungguh tak heran bila alampun ikut-ikutan protes terhadap bangsa kita ini. Seolah asap yang tak kunjung pergi dari Sumatra dan Kalimantan  serta  hujan yang tak mau datang menjelaskan bahwa Sang Hujan dan Sang Asap protes terhadap sebagian  ulah bangsa kita yang jauh dari sosok manusia yang mulia.

Bangsa ini harus introspeksi secara radikal dan secara budaya. Introspeksi radikal bisa dimulai dari pembenahan birokrasi dengan   mengutamakan peningkatan pelayanan kepada kemasalahatan publik, bukan mengutamakan kelompok tertentu yang terlahir dari kalkulasi material dan kesepakatan partai. Introsfeksi budaya dengan proses pembenahan dimensi pendidikan melalui kebijakan-kebijakan  pendidikan yang tidak beraroma proyek melainkan didorong oleh spirit idealisme etika masa depan.  Idealisme untuk memenangkan persaingan pada masa depan agar bangsa ini tidak menjadi bangsa jongos di negeri sendiri.

Asap yang tak kunjung pergi dan hujan yang tak kunjung datang seolah menjelaskan pula bahwa ini mirip dengan mentalitas korup yang tak kunjung pergi dan kebijaksanaan yang tak kunjung datang dari  sebagian penguasa, pengusaha dan politikus di negeri ini.  Terutama para abdi negara yang masih centil bermain curang pada negeri ini. Dedi Mulyadi budayawan Sunda yang Bupati Purwakarta mengatakan bahwa abdi negara itu pada hakekatnya adalah budak. Mereka adalah abdi/budak yang harus melayani kepentingan tuannya yakni rakyat, bukan sebaliknya rakyat menjadi budak.  Rakyat menjadi budak korban dari asap beracun yang dilahirkan dari kongkalingkong antara penguasa dan pengusaha dalam merampok lahan rakyat demi bisnis sawit dan sejenisnya. Kehidupan berlimpah uang untuk penguasa dan pengusaha, kematian dan kesengsaraan untuk rakyat yang nota bene mereka adalah pemiliknya.

Revolusi mental negeri ini harus dibangun  secara kolektif dengan dua arus sistemik yang konsisten. Pertama arus atas dari para penguasa dan kedua arus bawah melaui pendidikan kolektif sejak usia dini dalam dimensi pendidikan. Birokrasi atau kekuasaan dan pendidikan  idealnya bersinergi atas dan bawah dalam “mempresure” potensi masyarakat yang ada ditengah agar tercipta masyarakat yang berbudaya dan dewasa  secara kolektif.  SDM dan mentalitas masyarakat adalah modal utama dalam membangun negeri ini agar tidak tampil beda dalam konotasi negatif.

Setidaknya politik bijak menjadi raja dan pendidikan menjadi panglima.  Politik bijak menjangkarkan pengabdian pada kepentingan dan kemaslahatan publik dan pendidikan sebagai panglima mengusung idealisme terciptanya SDM yang moralis idealis.  Endingnya akan terlahir masyarakat yang religius, cerdas, terampil dan inovatif (RCTI)  sehingga bangsa yang bernama Indonesia ini bisa terus  eksis bahkan “narcis” dalam percaturan masa depan dunia, amin.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun