Negeri ini cukup unik, warganya terkadang “tampil beda” dibanding warga negara lain. Bedanya adalalah senang membakar hutan tatkala negara-negara lain begitu masif memelihara hutan, bahkan tak sedikit manusiapun dibakar bila perlu. Senang buang sampah di sungai tatkala negara lain begitu menghargai sungai sebagai sumber air dan keindahan alam, bahkan bila perlu sungai dijadikan pembuangan limbah berbahaya dari proses industri. Mayoritas suka merokok tatkala bangsa lain mulai menghargai kesehatan tubuh dan kesehatan bahkan bila perlu merokoknya ditempat ibadah/masjid. Senang bertengkar memperebutkan hal yang pragmatis ketika bangsa lain membangun harmonitas sosial dan mengusung etika masa depan bahkan bila perlu bertengkar karena beda keyakinan yang merupakan hak asasi individu.
Banyak hal lain yang beda di negeri ini termasuk budaya korupsi dikalang pejabat eksekutif, legislatif bahkan yudikatif. Sungguh tak heran bila alampun ikut-ikutan protes terhadap bangsa kita ini. Seolah asap yang tak kunjung pergi dari Sumatra dan Kalimantan serta hujan yang tak mau datang menjelaskan bahwa Sang Hujan dan Sang Asap protes terhadap sebagian ulah bangsa kita yang jauh dari sosok manusia yang mulia.
Bangsa ini harus introspeksi secara radikal dan secara budaya. Introspeksi radikal bisa dimulai dari pembenahan birokrasi dengan mengutamakan peningkatan pelayanan kepada kemasalahatan publik, bukan mengutamakan kelompok tertentu yang terlahir dari kalkulasi material dan kesepakatan partai. Introsfeksi budaya dengan proses pembenahan dimensi pendidikan melalui kebijakan-kebijakan pendidikan yang tidak beraroma proyek melainkan didorong oleh spirit idealisme etika masa depan. Idealisme untuk memenangkan persaingan pada masa depan agar bangsa ini tidak menjadi bangsa jongos di negeri sendiri.
Asap yang tak kunjung pergi dan hujan yang tak kunjung datang seolah menjelaskan pula bahwa ini mirip dengan mentalitas korup yang tak kunjung pergi dan kebijaksanaan yang tak kunjung datang dari sebagian penguasa, pengusaha dan politikus di negeri ini. Terutama para abdi negara yang masih centil bermain curang pada negeri ini. Dedi Mulyadi budayawan Sunda yang Bupati Purwakarta mengatakan bahwa abdi negara itu pada hakekatnya adalah budak. Mereka adalah abdi/budak yang harus melayani kepentingan tuannya yakni rakyat, bukan sebaliknya rakyat menjadi budak. Rakyat menjadi budak korban dari asap beracun yang dilahirkan dari kongkalingkong antara penguasa dan pengusaha dalam merampok lahan rakyat demi bisnis sawit dan sejenisnya. Kehidupan berlimpah uang untuk penguasa dan pengusaha, kematian dan kesengsaraan untuk rakyat yang nota bene mereka adalah pemiliknya.
Revolusi mental negeri ini harus dibangun secara kolektif dengan dua arus sistemik yang konsisten. Pertama arus atas dari para penguasa dan kedua arus bawah melaui pendidikan kolektif sejak usia dini dalam dimensi pendidikan. Birokrasi atau kekuasaan dan pendidikan idealnya bersinergi atas dan bawah dalam “mempresure” potensi masyarakat yang ada ditengah agar tercipta masyarakat yang berbudaya dan dewasa secara kolektif. SDM dan mentalitas masyarakat adalah modal utama dalam membangun negeri ini agar tidak tampil beda dalam konotasi negatif.
Setidaknya politik bijak menjadi raja dan pendidikan menjadi panglima. Politik bijak menjangkarkan pengabdian pada kepentingan dan kemaslahatan publik dan pendidikan sebagai panglima mengusung idealisme terciptanya SDM yang moralis idealis. Endingnya akan terlahir masyarakat yang religius, cerdas, terampil dan inovatif (RCTI) sehingga bangsa yang bernama Indonesia ini bisa terus eksis bahkan “narcis” dalam percaturan masa depan dunia, amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H