Seorang yang berpikir bebas mengatakan manusia sudah “menciptakan” surga dan neraka dalam pesepsinya sebelum Tuhan menciptakannya. Ungkapan ini bersumber pada realitas sejarah bahwa sebelum masuknya agama yang membawa kitab suci dan di dalamnya menjelaskan adanya surga dan neraka maka surga dan neraka versi manusia sudah mendahuluinya. Bahkan masa pra aksara manusia primitif sudah “menjelaskan” adanya surga dan neraka dalam versi yang sederhana. Tradisi menhir, dolmen dan sesaji adalah sebuah proses rekontruksi dimensi surga dan neraka secara sederhana dalam persepsi manusia primitif.
Surga dan neraka terkadang menjadi “Tuhan” diatas Tuhan. Tuhan yang pengasih dan penyayang menjadi second spiritual dibanding surga dan neraka. Mungkin masih ada pribadi-pribadi beragama melakukan hal-hal positif atau berani menderita di dunia demi surga dan menghindari neraka kelak. Bisa jadi seseorang melakukan ritual keagamaan lebih konsen pada makhluk (surga dan neraka) dibanding dengan Tuhan-ya sendiri.
Ketika saya kecil sekitar kelas 1-2 SD saya membaca komik populer tentang Si Karma dan Si Soleh didalamnya menggambarkan bagaimana orang begitu bahagia di surga dan menderita di neraka. Komik “spiritual” ini sangat membekas sampai usia remaja, gambar-gambar “kekerasan” di neraka dan keistimewaan di surga cukup “efektif” mewarnai persepsi remaja. Kini di era IT tahun 2016 mungkin sudah agak lain. Ketika ilmu pengetahuan dan logika manusia begitu mengemuka dan dimensi tahayul serta penjelasan “masa lalu” seperti kisah bidadari, siksa neraka dll. yang digambarkan dalam pendekatan budaya nampaknya semakin kurang efektif.
Nampaknya harus ada da’wah bentuk baru dalam pendekatan yang lebih humanis dan menghargai nalar modern. Berbicara bidadri surga, sungai-sungai yang mengalir, susu-madu dan berbagai fasilitas “budaya” yang ada di surga nampaknya sudah mulai berkurang daya tariknya, ini mungkin lebih cocok untuk Arab barbar mindset abad ke 7. Sebaiknya para ahli da’wah memiliki daya stimulus baru bagi para penganut agama. Para penganut agama harus dirubah mindsetnya dari berharap surga menjadi tak berharap surga. Berbuat baik hendaknya bukan karena surga dan takut neraka melainkan karena etika kemanusiaan yang unggul sebagai produk terbaik Tuhan.
Bila semua manusia sudah berbuat baik bukan karena embel-embel sesuatu melainkan karena kesucian diri dan keunggulan keber-Tuhanan maka akan lebih baik. Pada dasarnya manusia hanya mengenal tiga dimensi yakni Dirinya, Tuhannya dana alam jagatrayanya. Bagaimana keungulan manusia sebaiknya tergantung pada tiga dimensi tadi yakni menjadi pribadi yang sangat baik, bertuhan dengan sangat baik dan menghargai/melestarikan jagat raya dengan sebaik-baiknya.
Bila semua manusia sudah berbuat baik karena rasa syukur yang tinggi terhadap Tuhannya maka ini sudah lebih baik. Sebaiknya manusia tidak “mengurus” surga dan neraka dalam persepsinya melainkan mengurus harmonitas, kesejahteraan dan tradisi saling memberi manfaat pada sesama. Sederhananya bila seseorang melakukan ritual atau sholat demi mendapatkan surga dan menghindari neraka maka sholatnya akan berbeda penjiwaannya dengan sholat sebagai bentuk syukur dan bentuk gerak kebahagiaan atas anugrah Tuhan.
Konsep surga dan neraka sebaiknya bukan apa yang harus didapatkan “disana” melainkan apa yang harus dibuatkan di sini. Membangun pemerintahan yang bersih, aman, tentram, adil dan sejahtera adalah salah satu bentuk membangun birokrasi yang melahirkan surge dunia. Surga sebaiknya bukan paradigma atau persepsi yang tersimpan dalam dimensi “khayal” melainkan realitas kehidupan yang dikelola dan dibuatkan secara nyata oleh seluruh umat manusia.
Allah berfirman: Aku sediakan untuk hambaKu yang shalih, (surga) yang tidak pernah terlihat mata, tidak pernah terdengar telinga, dan tidak pernah terbesit dalam hati seorang manusia. Nabi menyatakan: bacalah firman Allah : Maka tidak ada suatu jiwapun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka berupa penyejuk pandangan mata (Q.S as-Sajdah:17). Bila saya reflektif dimensi surga adalah dimensi dimana panca indera (mata, telinga, perasa, perasaan dll.) sudah taka da, maka penjelasan tentang surga secara tersirat menjelaskan tentang “sesuatu” yang sesuatu banget. Bukan kenikmatan yang berbentuk budaya yang dicecap oleh panca indera.
Kuat dalam persepsi dan keimanan saya bahwa di alam sana semua panca indera sudah tak terpakai lagi karena di alam ruh hanya nurullah yang menjadi cerita. Bukan body besar mansia yang kasar yang perlu otot, darah, tulang, syaraf dll. Intinya dimensi kesurgaan adalah dimensi ridha Illahi dan dimensi Illahi yang terbebas dari dimensi budaya berbau nafsu dan pemenuhan hasrat panca indera. Plus sesuatu yang berbau seks menurut saya tidak akan ada lagi. Mengapa demikian karena seks adalah kepentingan biologis, bermisi keturunan dan berdimensi hewani, sementara alam “sana” adalah dimensi ruhani.
Kebodohanku mengatakan pendekatan dalam berda’wah setiap zaman mesti berbeda, hal inipun terjadi dalam dunia pendidikan dengan adanya perubahan kurikulum dan pendekatan metode pembelajaran. Komunitas dan segmentasi memiliki daya nalarnya sendiri namun tentu saja sudah jauh melintasi abad ke 7. Manusia adalah makhluk dinamis yang nalarnya terus tumbuh tidak stag di abad ke 7, maka berbagai pendekatan abad ke 7 harus banyak yang ditanggalkan. Tidak sedikit hadits-hadits yang banyak dimulyakan tetapi dirasa sangat lebay dan tak efektif. Agama harus dikemas oleh para agamawan dengan tetap tidak merubah “SMS” atau pesan universal dari Tuhannya. Ibarat dalam dimensi pendidikan, kurikulum dan inovasi terus berubah tapi tujuan universal pendidikan untuk mendewasakan manusia dan memanusiakan manusia tetap terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H