Mohon tunggu...
DUDUNG NURULLAH KOSWARA
DUDUNG NURULLAH KOSWARA Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

History Teacher in SMANSA Sukabumi Leader PGRI Sukabumi City

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Hindari” Surga dan Neraka?

13 Januari 2016   12:41 Diperbarui: 13 Januari 2016   14:06 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang  yang berpikir bebas mengatakan  manusia sudah “menciptakan” surga dan neraka  dalam  pesepsinya sebelum Tuhan menciptakannya. Ungkapan ini bersumber pada realitas sejarah bahwa sebelum masuknya agama yang membawa kitab suci dan di dalamnya menjelaskan adanya surga dan neraka maka surga dan neraka versi manusia sudah mendahuluinya.  Bahkan masa pra aksara manusia primitif sudah  “menjelaskan”  adanya surga dan neraka dalam versi yang sederhana. Tradisi menhir, dolmen dan sesaji adalah sebuah proses rekontruksi dimensi surga dan neraka secara  sederhana dalam persepsi manusia primitif.

Surga dan neraka terkadang menjadi “Tuhan” diatas Tuhan. Tuhan yang pengasih dan penyayang menjadi second spiritual dibanding surga dan neraka. Mungkin masih ada pribadi-pribadi beragama melakukan hal-hal positif  atau berani menderita di dunia demi surga  dan menghindari neraka kelak.  Bisa jadi  seseorang melakukan ritual keagamaan lebih konsen pada makhluk (surga dan neraka) dibanding dengan Tuhan-ya sendiri.

Ketika saya kecil  sekitar kelas 1-2 SD  saya membaca komik populer tentang Si Karma dan Si Soleh didalamnya menggambarkan bagaimana orang begitu bahagia di surga dan menderita di neraka.  Komik “spiritual” ini sangat membekas sampai usia remaja, gambar-gambar “kekerasan” di neraka dan keistimewaan di surga cukup “efektif” mewarnai persepsi remaja. Kini di era IT  tahun 2016 mungkin sudah agak lain.  Ketika ilmu pengetahuan dan logika manusia begitu mengemuka dan dimensi tahayul serta penjelasan “masa lalu”  seperti kisah bidadari, siksa neraka dll. yang digambarkan dalam pendekatan budaya nampaknya semakin kurang efektif.

Nampaknya harus ada  da’wah bentuk baru dalam pendekatan yang lebih humanis dan menghargai nalar modern. Berbicara bidadri surga, sungai-sungai yang mengalir,  susu-madu dan berbagai fasilitas “budaya” yang ada di surga nampaknya sudah mulai berkurang daya tariknya, ini mungkin lebih cocok untuk Arab barbar  mindset abad ke 7.  Sebaiknya para ahli da’wah memiliki daya stimulus  baru bagi para penganut agama.  Para penganut agama harus dirubah mindsetnya dari berharap surga menjadi tak berharap surga. Berbuat baik hendaknya bukan karena surga dan takut neraka melainkan karena etika kemanusiaan yang unggul sebagai produk terbaik Tuhan.

Bila semua manusia sudah berbuat baik bukan karena embel-embel sesuatu melainkan karena kesucian diri dan keunggulan keber-Tuhanan maka akan lebih baik. Pada dasarnya  manusia hanya mengenal tiga dimensi yakni Dirinya, Tuhannya dana alam jagatrayanya.  Bagaimana keungulan manusia sebaiknya tergantung pada tiga dimensi tadi yakni menjadi pribadi yang sangat baik, bertuhan dengan sangat baik dan  menghargai/melestarikan jagat raya dengan sebaik-baiknya.

Bila  semua manusia sudah berbuat  baik karena rasa syukur yang tinggi terhadap Tuhannya maka ini sudah lebih baik. Sebaiknya manusia tidak “mengurus” surga dan neraka dalam persepsinya melainkan mengurus harmonitas, kesejahteraan dan tradisi saling memberi manfaat pada sesama.  Sederhananya bila seseorang melakukan ritual atau sholat demi  mendapatkan surga dan menghindari neraka maka sholatnya akan berbeda penjiwaannya dengan sholat  sebagai bentuk syukur dan bentuk gerak kebahagiaan atas anugrah Tuhan.

Konsep surga dan neraka sebaiknya bukan apa yang harus didapatkan  “disana” melainkan apa yang harus dibuatkan di sini.  Membangun pemerintahan yang bersih, aman, tentram, adil dan sejahtera adalah salah satu bentuk membangun birokrasi yang melahirkan surge dunia. Surga sebaiknya bukan paradigma atau persepsi yang tersimpan dalam dimensi “khayal”  melainkan realitas kehidupan yang dikelola  dan dibuatkan secara nyata oleh seluruh umat manusia.

Allah berfirman: Aku sediakan untuk hambaKu yang shalih, (surga) yang tidak pernah terlihat mata, tidak pernah terdengar telinga, dan tidak pernah terbesit dalam hati seorang manusia. Nabi menyatakan: bacalah firman Allah : Maka tidak ada suatu jiwapun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka berupa penyejuk pandangan mata (Q.S as-Sajdah:17). Bila  saya  reflektif dimensi surga adalah dimensi dimana panca indera (mata, telinga, perasa, perasaan dll.) sudah taka da, maka penjelasan tentang  surga secara tersirat menjelaskan tentang  “sesuatu” yang sesuatu banget. Bukan kenikmatan yang berbentuk budaya yang dicecap oleh panca indera.

Kuat dalam persepsi dan keimanan saya bahwa  di alam sana semua panca indera sudah tak terpakai lagi karena di alam ruh  hanya nurullah yang menjadi cerita. Bukan  body besar mansia yang kasar yang perlu otot,  darah, tulang, syaraf dll.  Intinya dimensi kesurgaan  adalah dimensi ridha Illahi dan dimensi Illahi yang terbebas dari dimensi budaya berbau nafsu dan pemenuhan hasrat panca indera. Plus sesuatu yang berbau seks menurut saya tidak akan ada lagi. Mengapa  demikian karena seks  adalah kepentingan biologis, bermisi keturunan dan berdimensi hewani, sementara alam “sana” adalah dimensi ruhani.

            Kebodohanku mengatakan pendekatan dalam berda’wah setiap zaman mesti berbeda, hal inipun terjadi dalam  dunia pendidikan dengan adanya perubahan kurikulum dan pendekatan metode pembelajaran. Komunitas dan segmentasi memiliki daya nalarnya sendiri namun tentu saja sudah jauh melintasi abad ke 7. Manusia adalah makhluk dinamis yang nalarnya terus tumbuh tidak stag  di abad ke 7, maka berbagai  pendekatan abad ke 7 harus banyak yang ditanggalkan. Tidak sedikit hadits-hadits yang banyak dimulyakan tetapi dirasa sangat lebay dan tak efektif. Agama harus dikemas oleh para agamawan dengan tetap tidak merubah “SMS”  atau pesan universal dari Tuhannya. Ibarat dalam dimensi pendidikan, kurikulum dan inovasi terus berubah tapi  tujuan universal pendidikan untuk  mendewasakan manusia dan memanusiakan manusia tetap terjaga.

             

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun