[caption caption=".."][/caption]
Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
(Ketua PGRI Kota SUkabumi)
Sejumlah guru di beberapa daerah sangat bersyukur dengan sudah cairnya TPG diakhir bulan Oktober dan di awal Nopember ini. Sebaliknya sejumlah guru Honorer Kategori 2 (HK2) sangat kecewa dengan munculnya pernyataan Menpan-RB yang menyatakan belum teralokasikannya anggaran dalam APBN 2016 untuk pengangkatan honorer K2. Ini artinya pengangkatan HK2 tidak akan terjadi pada tahun 2016. Ini sangat menyakitkan para honorer K2 yang sebelumnya pasca demo nasional, dijanjikan akan diangkat secara bertahap dengan mekanisme yang sudah disiapkan mulai tahun 2016.
Dibulan Nopember sebagai bulan memulyakan guru karena 25 Nopember adalah bulan Hari Guru Nasional, komunitas HK2 malah mendapatkan informasi yang bukannya memulyakan malah memilukan. Penulis sebagai guru PNS-pun merasakan betapa “menyakitkan” informasi ini. Bahkan dalam tulisan sebelumnya penulis menjelaskan bahwa jasa guru-guru honorer di negeri ini sungguh luar biasa. Tanpa mereka pendidikan di Indonesia akan lumpuh. Hampir semua sekolah peranan guru-guru honorer sangat strategis dan diandalkan untuk keberlangsungan kondusifitas KBM. Bahkan berdasarkan pantauan penulis di sebuah kecamatan guru honorer mencapai 80 persen jumlahnya dibanding guru PNS. Jasa mereka sangat luar biasa dalam berjalannya prose pendidikan di negeri ini.
Bahkan, secara nominal sebenarnya pemerintah telah disumbang oleh komunitas guru-guru honorer sebesar Rp 750 milyar perbulan. Prediksi ini berdasarkan jumlah guru honorer se-Indonesia berjumlah sekitar 500 ribu guru kali Rp 1,5 juta perbulan. Mengapa 1,5 juta perbulan? Karena berdasarkan Undang-undang No 14 tahun 2005 pasal 14 guru berhak mendapatkan upah minimal di atas kebutuhan minimal, sekitar Rp 2 juta. Bila tiap bulan rata-rata guru honorer hanya mendapat Rp 500 ribu maka secara tidak langsung para guru honorer telah menyumbangkan haknya pada negara sebanyak Rp. 1,5 juta kali 500 ribu orang guru honorer se-Indonesia maka jumlahnya sekitar Rp. 750 milyar perbulan, fantastis.
Bila hari ini atas nama pemerintah Menpan-RB “menjerit” tidak ada anggaran, sebenarnya jeritan para guru HK2 sudah puluhan tahun. Bukankah mereka dengan gaji dibawah Rp 500 ribu harus membiayai kehidupan keluarganya? Bukankah gelar sarjana yang mereka sandang sebaiknya mendapatkan upah/gaji yang layak? Sungguh naif atau mungkin jahat bila birokrasi pendidikan di negeri ini tidak terlalu serius memikirkan nasib para guru honorer. Apakah ini sebuah kejahatan birokrasi pendidikan di negeri ini? Mungkin ini sebuah kejahatan mengingat sumbangsih guru honorer begitu strategis.
Mengingat proyek-proyek kontroversial semisal Hambalang, dana aspirasi DPR, fasilitas para pejabat yang mewah, raibnya anggaran negara karena maraknya korupsi dll, seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam memperhatikan nasib rakyat kecil (HK2). Mereka (baca: guru honorer) adalah komunitas yang cukup berjasa dalam membantu pemerintah dalam mencerdasakan anak bangsa. Sebaiknya jasa-jasa mereka dihargai dengan adanya seleksi dan apresiasi atas dedikasi bertahun-tahun mereka.
Seorang guru honorer bernama Imat Ruhimat di Kabupaten Ciamis karena kepentingan menyekolahkan anak dan kebutuhan biaya keluarga akhirnya keluar dari profesi guru karena upah/gaji yang diterima jauh dari cukup. Padahal sebelumnya sudah dibantu dengan sambilan mengojek. Kisah Imat Ruhimat ini adalah representasi dari ribuan guru honorer yang lainnya. Sayang sekali pengabdian mereka harus berhenti karena UURI No 14 Tahun 2015 tak dilaksanakan oleh pemerintah, tentang hak guru mendapatkan gaji sekitar 2 atau 3 juta per bulan.
Pembaca yang budiman mari kita doakan negeri ini agar tidak kewalat karena memperlakukan nasib guru honorer dengan baik. Sungguh kontras disaat negara-negara lain sudah “tak memikirkan” nasib para gurunya karena sudah sejahtera dan mereka lebih berkonsentrasi pada persiapan SDM sejak pendidikan dini sampai perguruan tinggi. Makin tertinggalah kita, sebab tidak mungkin akan lahir generasi masa depan yang baik dengan menyisakan nasib sebagian guru yang buruk.