Mohon tunggu...
DUDUNG NURULLAH KOSWARA
DUDUNG NURULLAH KOSWARA Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

History Teacher in SMANSA Sukabumi Leader PGRI Sukabumi City

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jokowi “Blusukan” Di Ruang UN

18 April 2014   23:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:30 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Oleh : Dudung Koswara, M.Pd

Jokowi efek nampaknya tidak hanya sebuah ungkapan politik yang bombastis propokatif. Jokowi efek telah membuattim pembuat soal Ujian Nasional (UN) SMA Bahasa Indonesia no 13 dan 14, Bahasa Ingris no 16 dan 17 mencatut namanya. Sebuah soal UN yang kontektualitusangat baik tetapi jangan menggiring peserta didik pada persepsi politik praktis yang subjektif.

Walaupun pembuatan soal UN Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggrisdibuatpada bulan Juni jauh hari sebelum penunjukan Jokowi sebagai capres tetapi nama politisi dalam sebuah soal UN sangatlah tidak etis. Apapun alasannya ini adalah sebuah keteledoranyang dapat dipersepsi publik sebagai modus.

Membuat soal yang menyentuh unsur politik praktis,sara, pelecehan dan berbau propokasi tidaklah baik bagi peserta didik. Peserta didik dimensinya adalah akademik yang objektif tentang pengetahuan umum yang berkesinambungan dari setiap level. Sajian soal UN yang menyentuh tokoh politik yang kebetulan sedang disuksesi sebagai calon presiden oleh salah satu partai pemenang pileg adalah sebuah keteledoran.

Padahal menurut Kabalitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Khairil Anwar, setidaknya adabeberapa tahapan proses pembuatan soal-soal UN. Pertama berupa pembuatan kisi-kisi soal UN. Kedua,menyesuaikan kisi-kisi dengan kurikulum yang ada.

Ketiga, adalah pembuatan soal. Bahkan selanjutnya Khairil Anwar mengatakan "Kami mengarantina para pembuat soal dalam sebuah ruangan. Kami jaga agar tidak ada selembar kertaspun ke luar dari ruangan karantina tersebut." Tahapan selanjutnya adalah pendistribusian soal UN ke daerah-daerah yang merupakan tanggung jawab percetakan. Namun, Kemendikbud tidak melepas begitu saja proses distribusi soal tersebut.

Menurut Wamendikbud, Musliar Kasim "Pembuatan soal sudah sesuai dengan standar dan prosedur yang berlaku. Soal dibuat 6 bulan yang lalu, jadi kami memang tidak ada unsur kesengajaan atas masuknya nama Jokowi.Rupanya wamendikbud kurang menyadari bahwamenuliskan tokoh publik yang berlatar belakan partai politik tertentu sangatlah tidak tepat. Persepsi Wamendikbud ini agak berbahaya jika demikian. Karena apapun alasannya pencantuman nama tokoh politik yang berlatar belakang partai tertentu tidaklah etis.

Tidak salah bila publik menduga, jangan-jangan jajaranpejabat di pendidikan pusat cenderung pada partai atau tokoh tertentu? Ini sebuah kesalahan yang cukup patal. Sekalipun Jokowi, misalnya tidak dicalonkan sebagai capres 2014 oleh Megawati sebelumnya, menurut saya tetaplahtidak baik. Karena Jokowi adalah tokoh partai. Urusan partai dan politikbukan area peserta didik.

Peserta didik sebaiknya dijauhkan dahulu dari kontaminasi partai politik dalam wajah tokoh yang lagi beken, siapapun tokohnya. Mengapa yang dibuat itu bukan Een Sukaesih, Muslimah Hafsari, bukankah mereka juga tokoh yang masih hidup (kontektual). Bukankah mencantumkah tokoh pendidik akan lebih etis dan seirama dengan dimensi pendidikan/akademik?

Pada hakekatnya para pengambil kebijakan di pusat pendidikan harus lebih cerdas dan unggul dibanding para politisi. Mengapa demikian? Karenadimensi pendidikan adalah dimensi modal bangsa yang akan melahirkan SDM di semua bidang kehidupan.Bila para pendidik dan pekerja pendidikan lebih cerdas dari para politisi maka pendidikan tidak akan menjadi korban politik.“Politik” pendidikan lebih penting dari pendidikan politik karena pendidikan adalah dasar dari peradaban manusia. Kebijakan-kebijakan politik akan menjadi baik(bermanfaat) bila masyaraktnya berpendidikan.

Pepatah bijak mengatakan, “Bila ingin melihatmasa depan sebuah bangsa, lihat apa yang terjadi di ruang kelas” Jadi bila kita ingin membangun sebuah bangsa yang besar yang pertama adalah benahi pendidikan dahulu bukan serba politik minded. Politik tanpa pendidikan yang baik akan menjadi ganas dan pendidikan tanpa politik tetap bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun