Jodoh tak ada yang tahu, itu hak prerogatif Tuhan. Orang kaya bisa mendapatkan orang miskin, usia tua bisa mendapatkan jodoh anak muda, pun begitu seorang berpendidikan tinggi (intelektual) bisa saja mendapatkan jodoh biasa-biasa saja.
Jika sudah suka sama suka apa mau dikata, nasihat orang bak angin lalu hampir tak didengar.
Pada akhirnya, suatu saat nanti jika terjadi percekcokan baru keduanya merasa bahwa mereka memang berbeda.
Perbedaan intelektual yang dimaksud adalah jika suami berpendidikan tinggi sementara sang istri di bawahnya atau sebaliknya.
Perbedaan semacam ini seharusnya tidak menjadi masalah. Karena sebelum membina rumah tangga keduanya saling memahami perbedaan masing-masing.
Namun saat hati terpicu oleh amarah, hal sepele seperti itu pun tak luput jadi masalah.
Perkataan suami terhadap istri dengan menyebut "dasar intelektual rendah," saat istri tak mampu memahami keinginan suami, mengakibatkan rasa sakit hati yang mendalam.
Inilah awal dari pertengkaran rumah tangga.
Selalu perbedaan pendidikan akan memicu pertengkaran jika ada pemantiknya.
Bagi seorang perempuan sekolah tinggi nampaknya bukan prioritas. Toh akhirnya kembali ke fungsi perempuan yang hanya berkutat sebagai teman di kasur, dapur dan sumur. Setidaknya itu yang lumrah terdengar di kebanyakan awam kita.
Sejatinya tidaklah begitu, semua gender berhak mendapatkan semua akses asasi termasuk akses pendidikan tinggi.
Seorang perempuan calon ibu yang memiliki wawasan tinggi tentu akan melahirkan generasi berkualitas juga sebab latar belakang pendidikannya.
Dia akan mengerti bagaimana cara mendidik anak agar lebih pintar dan cerdas.
Lain hal jika memiliki keterbatasan intelektual, mungkin saja berbeda dalam cara mendidik anak dan mengurus rumah tangga.
Idealnya memang demikian, setiap pasangan satu level dalam semua hal agar bisa saling mengimbangi termasuk level pendidikan.
Namun kualitas rumah tangga tidak selalu ditentukan oleh pasangan berintelektual tinggi.
Bahkan kebanyakan mereka saling tidak mau mengalah, akibat merasa setara dalam titel kesarjanaan.
Rumah tangga sering diisi dengan perdebatan kusir saling mau menang sendiri.
Kesetaraan yang dibutuhkan dalam lingkup rumah tangga adalah saling mendengar dan memahami bukan menghakimi.
Perdebatan tanpa jelas pangkal-ujungnya akan berakhir dengan keributan yang justru menegasikan nilai-nilai intelektual yang dimiliki.
Karakteristik intelektual tinggi adalah saat konten pembicaraan berkesesuaian dengan perilaku keseharian.
Saat dia berkata A, maka perilakunya pun tercermin seperti apa yang dia katakan.
Selain itu orang yang memiliki ilmu akan bersikap lebih dewasa saat menghadapi setiap permasalahan keluarga.
Tidak selamanya perbedaan intelektual akan membawa rumah tangga ke jurang ke hancuran.
Tak sedikit rumah tangga yang dibina atas dasar perbedaan intelektual mereka sukses mengarungi samudra bersama.
Karena kesamaan intelektual tidak menjamin keutuhan keluarga.