Berdasar riset yang dicatat oleh Now dots. Dari 10 negara dengan gaya hidup tinggi, Indonesia menempati urutan ke-9 negara dengan gaya hidup tinggi.
Now dots mencatat bahwa Swiss merupakan negara yang memiliki masyarakat dengan gaya hidup tertinggi. Peringkat pertama dari 10 negara tersebut.
Masyarakat Swiss yang rata-rata berpenghasilan 92 juta/bulan, memiliki pengeluaran bulanan sekitar 36.5 juta/bulan.
Sementara masyarakat Indonesia yang rata-rata berpenghasilan 5.1 juta/bulan, bergaya hidup 7 juta/bulan.
Warga Swiss masih memiliki kelebihan uang sekitar 60% dari penghasilannya, sedangkan orang Indonesia minus hampir 40% dari penghasilannya.
Kebanyakan kebutuhan yang dikeluarkan oleh orang Indonesia adalah sektor sekunder. Seperti membeli gadget baru, mobil baru atau motor baru.
Keperluan yang sebenarnya masih bisa ditunda dan tidak terlalu mendesak ini menjadi gaya hidup yang menular terutama di kalangan anak muda yang baru masuk kerja.
Fenomena gaya hidup elit, ekonomi sulit ini tak pelak merambah ke semua kalangan warga +62, tak terkecuali sektor rumah tangga.
Dengan berbagai metode pembelanjaan yang mudah sekaligus memanjakan pembeli, ibu-ibu atau bapak-bapak begitu asyik berbelanja online.
Kemudahan fasilitas pembayaran seperti pay later, merupakan jebakan yang memabukkan.
Sistem bayar nanti akan menjadi bumerang bagi penggunanya jika tidak bijak dalam bertransaksi.
Saat jatuh tempo inilah awal dari petaka bagi konsumen yang tidak mampu menunaikannya.
Jika hal tersebut terjadi dalam sebuah rumah tangga maka inilah awal cekcok antara suami-istri.
Alangkah baiknya jika sebuah rumah tangga dibangun atas kesederhanaan anggotanya.
Kesederhanaan bukan berarti segala serba kurang tapi kesederhanaan adalah gaya hidup yang sesuai dengan pendapatan.
Jika berpenghasilan 5 juta per bulan maka pengeluaran harus di bawah itu, dengan harapan mendapat ketenangan pikiran.
Atau mungkin sama ukurannya, jika pendapatan 5 juta per bulan maka pengeluaran pun 5 juta pula.
Jangan sampai pengeluaran melebihi pemasukan, keuangan rumah tangga akan mengalami defisit anggaran.
Dan jika itu terjadi maka rumah tangga akan menuai badai pertengkaran.
Gaya hidup hedon tidak akan membawa kebahagiaan bagi para pelakunya, malah dia akan menyengsarakan hidup.
Gaya hidup hedon lahir dari ketidakpuasan dengan apa yang ada di tangan.
Atau mungkin dia lahir dari rasa persaingan dengan orang lain dan mencoba selalu mengungguli milik orang lain.
Merasa cukup dengan apa yang ada adalah obat mujarab agar terhindar dari rasa selalu kurang dalam hidup.
Suami-istri harus memahami perilaku tersebut, jangan malah keduanya sama dalam mengejar ketidakpuasan dunia.
Hidup dengan style hedon akan memantik kekecewaan dan berujung pertengkaran.
Hedonisme bagaikan lautan tak bertepi, semakin meminum airnya malah semakin haus yang terasa.
Sudah sangat banyak cerita tentang bagaimana orang yang hancur kehidupannya sebab ikut gaya hidup elitis ini.
Banyak publik figur terjebak dengan hutang dan depresi yang mendalam.
Para pejabat terpaksa berakhir kariernya di balik jeruji besi sebab korupsi dana operasional untuk memenuhi gaya hidup keluarganya.
Hindari gaya hidup hedon dan mulailah hidup dengan apa adanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H