Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 3)
Lagi, masalah poligami bisa jadi penyebab pertengkaran hebat antar pasangan, betapa tidak poligami terjadi seolah menzalimi sang istri.
Praktik poligami selalu menyisakan sisi gelap hubungan suami-istri.
Seorang pria yang beristri lebih dari satu adalah masalah tersendiri di beberapa tempat dengan tingkat budaya berbeda.
Namun pada sebagian tempat poligami adalah solusi. Di negara konflik misalnya, saat banyak anak-anak menjadi yatim maka untuk meringankan beban keluarga dikawinlah ibunya sehingga sang anak mendapat perlindungan dari ayah barunya.
Budaya orang-orang zaman dulu memang sangat kental dengan praktik poligami, bahkan tidak dibatasi seperti dalam ajaran Islam yang memperbolehkan empat istri.
Dalam Islam bolehnya suami berpoligami harus memenuhi persyaratan yang sangat ketat.
Bukan saja mampu memberi nafkah materi tapi juga harus mampu berbuat adil bagi semua istrinya.
Namun jangan coba-coba berpoligami bagi para suami yang tidak mampu berbuat adil, sebab bukannya maslahat yang akan tercapai tetapi kemadaratanlah yang akan dia terima.
Di antara banyak kemadaratan adalah pertengkaran yang tak kunjung usai dengan istri pertama.
Kehidupan rumah tangga dengan istri pertama yang dulu bahagia dan harmonis, sekarang hari-hari diisi dengan keributan. Tidak ada kehangatan dalam rumah tangga, jauh dengan anak-anak dan masih banyak lagi kemadaratan yang lainnya.
Keretakan rumah tangga bermula dari retaknya hati sang istri karena merasa terzalimi, diduakan dengan wanita lain .
Sebagai manusia biasa tentu wanita akan merasa sakit hati dan sakit hati inilah yang di kemudian hari akan menimbulkan percekcokan dengan suaminya. Sejak saat itu hilanglah keharmonisan dalam rumah tersebut.
Terbukanya pintu poligami bagi laki-laki bukan berarti seenaknya para suami melakukan tindakan tersebut, sebab jika kita mengingat persyaratan-persyaratannya yang begitu ketat, rasanya lebih baik ditinggalkan daripada akan menimbulkan kemadaratan yang lebih besar lagi.
Islam menghormati budaya atau adat di mana seseorang tinggal, seperti adat-istiadat atau budaya lokal yang tidak mengenal poligami dan hanya mengenal monogami. Maka justru Islam memperkuat adat kebiasaan tersebut agar orang-orang tidak melakukan sesuatu yang justru keluar dari adat kebiasaan tempat sendiri.
Islam sangat mendukung upaya untuk melestarikan budaya yang lebih maslahat oleh karenanya keterbukaan berpikir sangat diperlukan. Jangan sampai karena kita memahami satu dalil agama secara tekstual justru mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang jauh dari tujuan-tujuan kemaslahatan agama tersebut. Salah satunya adalah poligami ini jika hal tersebut memadharatkan bagi para pelakunya lebih baik ditinggalkan saja.
Jika dengan berpoligami suami-istri menjadi bertengkar maka hukum asal dalam agama Islam tidak membolehkannya.
Akhirnya menjadi pertanyaan yang sangat serius, apakah niat poligami itu memang benar-benar murni untuk membantu wanita tersebut atau hanya sekedar pelampiasan nafsu syahwat birahi saja.
Pertanggungjawabannya pun tergantung dengan apa yang dia niatkan. Pertengkaran bahkan berakhir dengan perceraian akibat sang istri merasa terzalimi mengetahui sang suami berpoligami itu satu hal yang sangat dibenci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H