Hari ini praktik kolusi dan nepotisme masih kental di berbagai level jabatan atau pekerjaan umum.
"cari uang harus dengan uang" slogan warung kopi ini banyak diamini kaum kecil. Saat persaingan begitu ketat, kompetensi hanya seadanya saja maka cuan-lah yang dirasa efektif untuk berbicara.
Kenaikan pangkat, jabatan atau apa pun hari ini tak lagi melihat kapabilitas dan kapasitas seseorang.
"Sogok" mungkin terdengar lebih kasar daripada "uang pelicin" walau hakikatnya sama juga.
Uang sogok menjadi legal saat semua struktur kerja menempatkannya sebagai salah satu prasyarat masuk atau tidaknya seseorang dalam satu pekerjaan.
Idealisme dipaksa menjadi luntur gegara mengikuti sistem yang sudah menjadi lingkaran setan. Tidak mudah untuk memutus mata rantainya karena semua sepakat itu legal.
Tampaknya mesti dikaji ulang tafsir dari hadis nabi yang mengatakan arrasyi wa almurtasyi fi annar (penyuap dan yang disuap keduanya masuk neraka).
Maka muncullah pertanyaan suap yang mana yang boleh dan suap yang mana yang berimbas neraka.
Jika ada seorang calo loker yang dia bersusah-payah mencarikan pekerjaan bagi para pelamar kerja kemudian di akhir kelulusan si pencari itu memberi jasa sebagai ucapan terima kasih, apakah itu termasuk suap yang berimbas neraka. Rasanya penilaian tersebut terlalu dini dan terlalu gegabah.
Perhatikan contoh lain, seorang pejabat yang meningkatkan jabatan tertentu atau kenaikan pangkat ke yang lebih tinggi dengan memberi sejumlah harta kepada oknum pejabat lain maka itu termasuk kolusi. Dia meraih jabatan tinggi hanya bermodalkan uang yang dia gunakan untuk menyuap oknum pejabat lainnya.
Samakah kasus pertama dengan kasus yang kedua, tentu secara prinsip sama tapi kaidah hukum itu elastis tergantung siapa objeknya.