Mohon tunggu...
Dudi safari
Dudi safari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Literasi

Aktif di Organisasi Kepemudaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tahun Baru Budaya Siapa

1 Januari 2023   09:10 Diperbarui: 1 Januari 2023   09:31 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari Republika

Malam tahun baru adalah malam yang paling mendebarkan bagi sebagian remaja, kenapa bisa begitu karena dalam benak mereka ada segudang acara.

Pesta tahunan ini barangkali sudah menjadi tradisi yang bercampur aduk, akulturasi budaya sedemikian dahsyat menyerang semua ranah tak terkecuali pesta malam tahun baru. Serangan budaya ini bak tsunami 9 SR saking dahsyatnya seolah budaya asli sendiri terlupakan begitu saja.

Asal Usul Perayaan Malam Tahun Baru

Perayaan Tahun Baru pertama kali tercatat di Mesopotamia sekitar empat milenium lalu atau 2000 SM. Mereka merayakan pesta tahunan setiap tanggal 20 Maret.

Selain Mesopotamia ada beberapa negara lain yang juga mempunyai budaya perayaan di tanggal yang berbeda, seperti Mesir, Persia, namun mereka memperingatinya pada tanggal 20 September. Orang-orang Yunani kuno memperingati awal Tahun Baru mereka pada tanggal 20 Desember.

Maka untuk mengakhiri semua perbedaan perayaan dan kebingungan ini Julius Caesar mengakhirinya dengan membuat kalender baku yang mengikuti tahun matahari.

Pada tahun 46 SM ia memperkenalkan kalender Julian. Dalam kalender ini Tahun Baru resmi ditentukan pada tanggal 1 Januari, tanggal ini bertepatan dengan waktu tahun bahwa bumi paling dekat dengan matahari.

Selain itu penamaan Januari nama awal bulan sebagai bentuk penghormatan terhadap dewa Janus. Pada tahun 1582, Paus Gregorius XIII mengubah kalender Julian dan menciptakan kalender Gregorian. Hingga hari ini sebagian besar dunia menetapkan tanggal 1 Januari sebagai awal tahun baru. Di AS tahun baru dirayakan dengan pesta dengan meniup trompet juga pesta kembang api.

Generasi Latah

Sampailah budaya ini di negeri kita, ditelan bulat-bulat oleh generasi latah, generasi yang terbawa arus globalisasi budaya tanpa tahu makna dibalik semua ritual tahun baru.

Anak-anak muda mulai turun ke jalan-jalan dan berkumpul di spot yang sudah di tentukan sebagai penanda awal tahun. Bahkan panggung-panggung hiburan berjejer di sepanjang jalan. Tukang trompet laku keras, satu hari itu saja dia bisa membawa pulang laba untuk anak istrinya bisa sampai jutaan rupiah.

Mirisnya generasi latah mereka hanya ingin menyalurkan hasrat saja. Mereka hanya menjadi objek budaya. Hingar bingar suara petasan sudah terdengar diawal malam. Entah berapa milyar rupiah yang terbakar dalam satu malam itu saja hanya untuk membeli kesenangan setahun sekali.

Jati diri bangsa menjadi hambar -kalau tidak menyebut hilang,- budaya asing menyerang anak bangsa secara sengaja ataupun tak sengaja. Padahal kita tahu trompet itu budaya siapa, kembang api itu budaya siapa, dan yang paling prinsipiil adalah kita semua tahu bahwa pemborosan itu budaya siapa.

Akan tetapi di dua tahun terakhir ini kebiasaan itu mulai terlihat mereda. Mungkin karena pandemi covid -19 ada larangan berkerumun dari pemerintah, atau kondisi ekonomi yang serba susah sehingga berpikir seribu kali untuk menghamburkannya di perayaan Tahun Baru.

Membendung Budaya Asing dengan Memperkokoh Budaya Lokal

Tentu tidak mudah menghambat informasi di era digital hari ini, bagaimana mungkin air bah informasi dapat dibendung hanya dengan kerja biasa-biasa saja, perlu adanya formula khusus untuk menyalurkan anak bangsa ini agar tidak tergerus terbawa hanyut oleh budaya yang sama sekali akan merabut akar budayanya sendiri.

Pendalaman moral pendidikankah, atau pembatasan informasi oleh pemerintah yang berwenang atau usaha apa pun agar bangsa yang besar ini suatu saat tidak hilang ditelan zaman. Tapi mampu tetap hidup di atas budayanya sendiri. Tidak menjadi generasi ikut-ikutan yang membebek membabi buta. Tapi generasi yang mampu memfilter setiap pengaruh luar yang akan merusak identitas bangsanya sendiri.

Kerjasama di semua ranah, seperti peran serta pemerintah, para guru agama, tokoh masyarakat dan sebagainya. Untuk memastikan bahwa bangsa ini tetap ada di jalur yang benar. Jangan sampai generasi mendatang terasing di negeri sendiri. Semoga menjadi generasi yang bangga dengan tradisi sendiri bukan menjadi generasi latah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun