Menjalin pernikahan di usia muda memang sangat rentan, kebanyakan orang menyebutnya dengan pernikahan dini.
Apa yang menyebabkan rentannya pernikahan tersebut? salah satunya adalah kemapanan dalam berpikir.
Sering kali orang bilang bahwa menjalani suatu proses pernikahan atau membangun sebuah rumah tangga haruslah dengan penuh kedewasaan, artinya pasangan tersebut -baik calon suami ataupun calon istri mempunyai kemampuan dalam berpikir.
Kemampuan atau kemapanan berpikir tidak dibatasi oleh jumlah usia seseorang.
Berapa pun usia mereka, jika di negeri kita batas minimal usia perkawinan dianggap sah itu adalah sekitar 17 sampai 18 tahun -normalnya seseorang yang sudah akil balig dan di situlah usia kematangan seseorang mulai terasa.
Karena beban tanggung jawab telah mereka terima dan akal mereka telah matang untuk memutuskan mana yang baik dan yang mana yang benar.
Di negeri kita hal tersebut ditandai dengan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP),
Artinya siapa pun dia yang mau menjalani proses pernikahan menuju rumah tangga, syaratnya mereka harus ber-KTP yakni mempunyai kartu tanda penduduk sebagai kartu pengenal identitas bahwa seseorang telah dewasa, dianggap mampu berpikir dewasa, mampu memutuskan segala sesuatu dengan pertimbangan akal bukan hanya dengan rasa.
Artinya usia dewasa sangat menentukan langgeng tidaknya, tenang tidaknya, nyaman tidaknya sebuah rumah tangga.
Lantas timbul pertanyaan lain, apakah dewasa itu ditunjukkan dengan hitungan usia yakni jumlah bilangan usia atau dewasa itu ditunjukkan dengan sikap walaupun usianya tidak melampaui batas seperti orang dewasa sekitar 15-16 tahun?
Seorang remaja sudah bisa bersikap dewasa, ada pula yang usianya sudah matang bagi seseorang yakni usia 30-40 tahun tapi kelakuan dan sikapnya masih kekanak-kanakan.
Dengan demikian kedewasaan itu bukan hanya ditunjukkan oleh batasan usia saja. Tetapi sikap yang ditunjukkan sehari-hari saat dia berinteraksi sosial dengan yang lain. Apakah menunjukkan sikap kedewasaan atau kekanak-kanakan.
Itu akan menjadi pertimbangan bahwa seseorang layak membina rumah tangga atau belum. Karena sejatinya rumah tangga itu bukan untuk permainan.
Akad dalam berumah tangga  adalah satu peristiwa yang sakral suatu keadaan yang serius, bahkan menurut dogma agama pemahaman terhadap pernikahan adalah setengah agama.
Memang benar setengah kehidupan seseorang itu habis di usia  pernikahan, mempunyai istri, mempunyai anak, membina istri juga membina anak.
Dari mulai mencukupi kebutuhan hidupnya, kebutuhan primernya, kebutuhan sekundernya sandang, papan dan pangan. Maka setengah hidup dari seorang habis untuk itu.
Secara komprehensif Islam telah mengatur bagaimana seorang Muslim pra nikah dan bagaimana seseorang Muslim pasca nikah bersikap.
 Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui."
(QS. An-Nur 24: Ayat 32).
Allah perintahkan kepada pemuda supaya cepat-cepat menikah jika kalian fakir maka Allah akan kayakan, jika kalian tidak mampu maka Allah akan mampukan.
Ketidakmapanan ekonomi bukanlah alasan untuk menunda pernikahan.
Ada orang yang telah dewasa di zaman rasulullah tapi dia belum beristri juga, belum memiliki pasangan.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pun bertanya, "Kenapa kamu belum menikah juga? Dia menjawab saya tidak punya apa-apa ya rasulullah. Rasulullah berkata  coba kamu cari besi kemudian kamu jadikan dia cincin itulah mahar kamu."
Jadi mahar atau mas kawin yang menjadi prasyarat daripada pernikahan seseorang itu menjadi legal.
Mahar itu bukan sesuatu yang harus diada-adakan, bukan sesuatu yang mewah, bukan sesuatu yang mahal tapi ketika pasangan kita menjadi ridha akan hal tersebut. Ya sudah jalani saja karena membina rumah tangga itu bukan untuk satu hari dua hari, sebulan-dua bulan tapi selamanya sepanjang hidup.
Dari itulah sebelum mengarungi samudra rumah tangga, maka proses pengenalan antara satu sama lain harus benar-benar serius jangan sampai menikah tapi tidak mengenal calon pasangan kita.
Sejatinya kawin muda itu bukanlah penyebab risiko perceraian, karena dalam kenyataannya kemapanan berpikirlah yang menjadi penyebab utama perkawinan tersebut menjadi hancur.
Oleh karenanya pengetahuan pranikah itu sangatlah penting bagi calon pengantin yang akan mengarungi samudra rumah tangga, tanpa kemapanan pengetahuan maka yang terjadi adalah kebingungan dalam mengarungi samudra rumah tangga.
Ketika kita masuk dalam dunia rumah tangga jelas-jelas itu adalah dunia baru, dunia kehidupan yang tidak kita kenal sebelumnya.
Pengetahuan kita tentang rumah tangga hanya kita dapatkan dari melihat orang lain saja, orang tua kita, saudara kita, tetangga kita yang menjalani rumah tangga.
Ada yang asyik, ada yang santai. Ada yang ribut, ada yang tiap hari kisruh dan sebagainya.
Dari pengalaman-pengalaman orang lain itu kita bisa melihat bagaimana seandainya kita berumah tangga.
Ditambah lagi dengan pengetahuan keilmuan kita dari bacaan, konsultasi dan lain sebagainya sehingga calon pasangan pengantin mempunyai kapasitas keilmuan atau pengetahuan tentang dunia rumah tangga sebelum mengarunginya.
Karena mengarungi rumah tangga itu membutuhkan peta jalan yang benar-benar komplit jangan sampai ragu.
Dari mana kita memulai berlayar dan bagaimana ketika kita menghadapi Karang yang Menghadang? Bagaimana kita menghadapi gelombang yang datang susul-menyusul? Bagaimana kita menghadapi riak air lautan yang mengganggu bahtera rumah tangga kita dan bagaimana kita harus sampai satu tujuan dengan aman menuju tujuan yang kita cita-citakan dalam rumah tangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H