Ibrahim kecil lahir di tengah lingkungan masyarakat yang berperilaku sesat.
Kesesatan itu tampak sekali di mana masyarakat waktu itu sudah jauh sekali dari penghambaan diri kepada Tuhan.
Penyembahan terhadap berhala sudah menjadi adat kebiasaan sedari Ibrahim belum lahir.
Sehingga tidak mengherankan jika Ibrahim pun lahir dari keluarga penyembahan berhala. Bahkan lebih dari itu sang ayah merupakan pengrajin patung.
Sebagai anak seorang pengrajin patung tentu dia selalu bersinggungan dengan aktivitas bapaknya.
Dari mulai mencari bahan baku sampai memasarkan hasil produknya.
Setelah Ibrahim dewasa dan memiliki nalar untuk berpikir, pikiran-pikiran kritisnya mulai tampak mengganggu akal sehatnya.
Dalam masa pencariannya itu dia selalu berpikir mungkinkah semesta ini terlahir dengan sendirinya.
Di suatu malam dia menyendiri melihat bintang yang sangat banyak bertebaran di angkasa, dia yakin bintang-bintang itu adalah penguasa alam. Namun ketika bintang-bintang itu pudar warnanya karena terbit sang mentari. Maka Ibrahim pun berkata Tuhan tidak akan pernah pudar.
Ketika melihat rembulan di malam hari, hatinya berkata "apakah ini sang pencipta alam, dia terang menyinari malam." Namun ketika dia tenggelam maka dengan sangat yakin Ibrahim berkata "Tuhan tidak akan tenggelam."