Bisakah raga yang di dalamnya mengalir darah jihad hanya diam menanti waktu yang menjawab.
Jangan pernah bertanya sesuatu kepada waktu karena waktu akan menggilasmu apakah kamu diam ataukah kamu bergerak.
Diam berarti tertinggalnya pekerjaan rumahmu. Kau terlahir untuk dakwah, setiap jengkal langkah kakimu adalah nafas bagi kehidupan umat.
Pelita itu adalah dirimu wahai para pendakwah, menyusuri lembah yang terjal menyisir pantai lautan.
Jangan sampai ada seorang pun yang terlewat mendapat kabar gembira ini. Kalau perlu kau harus menembus rimbunnya hutan rimba raya. Barangkali di sana ada umat yang terlewat.
Jangan terlalu banyak tidur agar kau selalu waspada, jangan terlalu banyak makan agar senantiasa firasatmu menjadi nyata.
Bertemanlah dengan para cendekiawan sayangilah kawan karena mereka teman yang selalu siap diajak berjuang.
Jangan terlalu banyak lawan karena satu lawan terlalu banyak daripada seribu kawan.
Duhai Dikau yang terlahir sebagai para pendakwah sebarkanlah kebaikan kendati dirimu belum baik.
Jangan menunggu menjadi baik, bisa jadi kebaikan itu akan datang dari orang yang kau dakwahi agar pahalanya senantiasa mengalir deras walau jasadmu telah dimakan masa.
Cemoohan, cacian, bulian itu adalah makanan sehari-harimu, justru itulah nutrisi terbaik bagi rohanimu.
Semua bahan itu bersenyawa sehingga menjadi unsur baru yang akan menguatkan jiwamu, apa unsur baru itu? Itulah sabar.
Sabarmu akan mengantarkan dirimu ke tempat yang paling tinggi di Jannah Firdaus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H