Mohon tunggu...
Dudi safari
Dudi safari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Literasi

Aktif di Organisasi Kepemudaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Diam atau Bertindak adalah Suatu Pilihan

24 Desember 2021   11:40 Diperbarui: 24 Desember 2021   15:28 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilutrasi gambar dari tempo.co

Dalam menegakkan apa yang dirasa sebagai suatu kebenaran tidaklah mudah, karena apa yang akan kita sampaikan kadang kala membuat diri kita sendiri terancam.

Banyak kejadian-kejadian di hadapan mata kita menuntut untuk intervensi, namun hati kebanyakan menolak sebab khawatir ketika kita intervensi malah jadi berbalik kita yang mendapat masalah.

Perlu latihan yang ekstra untuk menguatkan mental agar senantiasa apa yang dilakukan itu tidak lagi menimbulkan kekhawatiran dalam diri kita.

Kadang orang cenderung diam melihat kejahatan di hadapannya, sebab tadi khawatir menimbulkan epek bumerang.

Kecenderungan memilih diam ini adalah gejala normal yang terjadi di masyarakat umum, kesadaran untuk ikut campur meluruskan masalah atau mengurai benang kusut ini seperti terabaikan.

Jika gejala ini dibiarkan terus menerus akan berakibat tatanan masyarakat yang individualistis, hanya berpikir untuk kepentingan diri sendiri, bodo amat terhadap lingkungan sekitar, rasa memiliki menjadi hilang, solidaritas tumpul dan peduli lingkungan menjadi hilang.

Itu semua imbas dari rasa khawatir jika terlibat dalam urusan-urusan orang lain, maka akhirnya akan menyulitkan dirinya.

Ini penyakit! Jika kepedulian sudah hilang di kalangan masyarakat, supremasi hukum sulit ditegakkan akar masalah tidak ditemukan berlarut-larut menumpuk masalah, akhirnya akan terjadi ledakan sosial dan ini sekali lagi hanya berawal dari hal yang sepele yaitu hilangnya rasa kepedulian.

Tahapan-tahapan menuju kepedulian sosial

Beberapa hal agar kepedulian itu kembali bangkit:

Pertama, meyakinkan diri sendiri bahwa setiap kejahatan apa pun bentuknya perlu dikritisi.

keyakinan dalam hati bahwa kita muak dengan segala bentuk perilaku buruk itu sudah cukup menjadi awal bahwa kita masih memiliki rasa kepedulian, tidak larut mengikuti praktik-praktik penyakit sosial seperti prostitusi, pemabuk, pembuat onar dan praktik buruk lainnya yang saat ini begitu kasat mata dan menjadi konsumsi berita sehari-hari di media massa.

Apakah itu bapak memperkosa anak kandungnya, remaja tawuran setelah meneguk miras, konsumsi obat-obatan terlarang dan sebagainya.

Keyakinan dalam hati ini kemudian kita tindak lanjuti kerjasama dengan aparat yang berwenang apakah itu dengan RT/RW setempat, keamanan setempat, tokoh setempat dan lain-lain.

Ketidaksukaan kita terhadap perilaku buruk itu kita wakilkan kepada para aparat tersebut.

Kedua, kepedulian itu bisa kita suarakan sendiri.

Rasa muak terhadap perilaku sosial yang menyimpang, mendorong kita untuk bersuara lantang menolak segala penyakit sosial tersebut.

Keberanian bersuara ini adalah satu level lebih tinggi dari hanya diam mengutuk dalam hati, karena konsekuensi bagi para penentang adalah ancaman keselamatan yang langsung di alamatkan pada dirinya.

Namun nampaknya para penentang dengan suara lantang ini kebanyakan masih setengah hati, yakni dia bisa menyuarakan penolakan namun tidak bisa memberi solusi terhadap permasalahan.

Dan ketika diajak untuk mendudukkan perkara dia cenderung menghindar inilah minusnya, tapi tentu tidak semua seperti begitu karena ada yang lantang juga berani beradu argumen dan mampu mematahkan argumen lawan.

Ketiga, penegakan aturan.

Disiplin dalam menegakkan aturan itulah kunci dari keamanan, kenyamanan suatu komunitas. Baik komunitas kecil selevel RT/RW atau komunitas besar sebagai sebuah negara.

Dengan penegakan aturan tanpa tebang pilih akan membuahkan lingkungan yang aman dan nyaman.

Tanpa itu semua aturan yang sudah ditetapkan hanyalah deretan tulisan-tulisan tanpa makna, karena makna dari sebuah aturan adalah penegakannya di lapangan.

Orang-orang yang telah diamanati tanggung jawab untuk menegakan aturan itu, harus punya rasa kepedulian yang lebih tinggi dari orang lain. Sebab dia merupakan tumpuan bagi masyarakat untuk memberi rasa nyaman dan aman warganya.

Sense of social concern atau rasa kepedulian sosial itu harus tumbuh pada diri kita dan sesuai levelnya masing-masing.

Kita dipersilahkan untuk mengambil pilihan sesuai dengan kemampuan kita, apakah kepedulian hati, lisan, atau penegakan hukum.

Sebagai insan sosial kita terlarang untuk tidak memilih ketiga hal tadi, guna mencegah keburukan global yang disebabkan hilangnya rasa peduli terhadap sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun